Ketika Bagir Tolak Panggilan KPK

UPAYA Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan untuk membongkar kasus suap yang terjadi dalam permohonan kasasi dugaan korupsi yang melibatkan Probosutedjo terancam mengalami antiklimaks.

Keadaan itu muncul setelah Bagir Manan menolak memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyak kalangan menilai, keputusan Bagir Manan untuk tidak memenuhi panggilan KPK merupakan bukti bahwa beberapa langkah progresif yang diambil sebelumnya tidak dalam kerangka untuk membersihkan pengadilan.

Sebagaimana diketahui sebelumnya, ketika KPK menggeledah Gedung MA dan menangkap mantan hakim tinggi Harini Wijoso dan lima pegawai MA, Bagir Manan berjanji akan membantu dan memberi akses seluas-luasnya bagi KPK mengungkap secara tuntas kasus indikasi suap yang melibatkan pegawai MA. Lebih dari itu, Bagir Manan tidak pernah menyatakan keberatan ketika KPK menggeledah ruang kerjanya di Gedung MA.

Tidak cukup sampai di situ, desakan agar Ketua MA mengganti semua hakim agung yang menangani perkara kasasi Probosutedjo juga dilakukan. Karena keberanian mengambil langkah tersebut, publik memberikan apresiasi yang cukup terhadap Bagir Manan. Misalnya, Editorial Media Indonesia (5/11) menilai langkah berani tersebut merupakan bukti bahwa Bagir Manan memang berkomitmen menegakkan peradilan yang jujur, adil, dan bersih.

Sayang, semua langkah positif yang telah dilakukan Bagir Manan buyar seketika. Ibarat menulis di atas pasir pantai. Ia hanya dapat bertahan sesaat sebelum dengan segera tersapu air. Bahkan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (seperti ICW, LBH, dan KRHN) mengecam penolakan Bagir Manan memenuhi panggilan KPK.

Mereka menilai, tindakan tersebut merupakan preseden buruk dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Selain dikatakan tidak konsisten, Bagir Manan dinilai tidak memberikan contoh dalam menghormati aturan hukum.

Pertanyaannya, adakah ini merupakan bukti resistensi terhadap upaya membongkar praktik mafia peradilan di lingkungan MA? Bahkan, ada yang menilai bahwa tindakan KPK mengancam kekuasaan kehakiman yang mandiri. Lalu, benarkah argumentasi tersebut?

Resistensi
Beberapa saat setelah penggeledahan ruang kerja MA oleh KPK, para hakim yang tergabung dalam Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) menilai langkah KPK itu melecehkan lembaga yudikatif. Penilaian tersebut disampaikan dalam acara tatap muka antara Pengurus Pusat Ikahi dan pengurus Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang juga anggota Komisi III DPR.

Dalam kesempatan itu, Ikahi menyerahkan pernyataan sikap kepada pengurus F-PDIP. Intinya, menyesalkan penggeledahan ruang kerja Ketua MA karena akan mengakibatkan legitimasi dan kepercayaan publik terhadap institusi MA semakin merosot.

Banyak kalangan menilai, tindakan Ikahi merupakan bukti resistensi korps hakim terhadap langkah KPK. Semestinya, tindakan KPK dilihat dalam konteks melengkapi dan menuntaskan temuan hasil penggeledahan yang dilakukan sebelumnya. Karena Bagir Manan tidak keberatan dengan tindakan KPK, argumentasi Ikahi menjadi mentah dengan tindakan penggeledahan yang dilakukan KPK.

Barangkali, untuk melengkapi dan menuntaskan temuan yang didapatkan dalam penggeledahan sebelumnya pula KPK memanggil Bagir Manan. Secara hukum, tindakan KPK punya dasar pijakan yang kuat. Pasal 38 Ayat (1) Undang-Undang No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No 30/2002) menyatakan, segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Undang-Undang No 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada KPK.

Terkait dengan pemanggilan tersangka dan/atau saksi, Pasal 112 Ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memerhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.

Sebetulnya, agar tidak terkesan ada resistensi terhadap langkah yang dilakukan KPK, Bagir Manan masih punya kesempatan untuk memenuhi panggilan KPK. Pasal 112 Ayat (2) KUHAP menentukan, orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.

Bagaimanapun, sekalipun penyidik punya upaya untuk mendatangkan tersangka dan/atau saksi, tindakan itu tidak harus terjadi terhadap Bagir Manan.

Kemandirian MA
Bagaimanapun, kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip penting dalam negara demokrasi. Shimon Shetreet dalam Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges membagi independence of the judiciary menjadi empat hal yaitu substantive independence (independensi dalam memutus perkara).

Selain itu, personal independence misalnya adanya jaminan masa kerja dan jabatan (term of office and tenure), internal independence (misalnya independensi dari atasan dan rekan kerja) dan collective independence (misalnya adanya partisipasi pengadilan dalam administrasi pengadilan, termasuk dalam penentuan bujet pengadilan).

Prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka menghendaki agar hakim terbebas dari campur tangan, tekanan atau paksaan, baik langsung maupun tidak langsung dari kekuasaan lembaga lain, teman sejawat, atasan, serta pihak-pihak lain di luar peradilan.

Sehingga hakim dalam memutus perkara hanya demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Bahkan dalam pandangan hakim agung Artidjo Alkostar (2005), tidak ada bangsa yang beradab tanpa adanya pengadilan yang merdeka dan bermartabat. Fungsi pengadilan merupakan salah satu tiang tegaknya negara yang berdaulat. Salah satu elemen pengadilan adalah menyangkut faktor adanya pengadilan yang merdeka.

Berdasarkan gambaran di atas, prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak menghalangi proses hukum terhadap hakim atau pejabat pengadilan lainnya untuk menjadi saksi dan/atau tersangka. Dengan demikian, kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa tindakan KPK memanggil Bagir Manan mencederai kekuasaan kehakiman yang mandiri, maka pandangan demikian amat berlebihan dan mengada-ada.

Langkah awal
Terlepas dari pro-kontra terhadap langkah yang dilakukan oleh KPK, sikap Bagir Manan akan membantu dan memberi akses seluas-luasnya kepada KPK dan tidak keberatan terhadap penggeledahan KPK terhadap ruang telah memberikan harapan untuk memulai membersihkan dan memulihkan citra pengadilan. Sebagai sebuah langkah awal, peran Bagir Manan masih amat diperlukan untuk membongkar kasus suap dalam permohonan kasasi dugaan korupsi yang melibatkan Probosutedjo.

Bagaimanapun, publik tidak ingin langkah Bagir Manan menjadi antiklimaks. Kalau semua ini berhenti sampai pada penolakan Bagir Manan memenuhi panggilan KPK, praktik mafia peradilan tidak mungkin dihentikan. Itu berarti, upaya memperjuangkan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan akan tetap kehilangan makna yang sesungguhnya.***

Saldi Isra, Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang.

Tulisan ini disalin dari Media Indonesia, 17 November 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan