Ketidakpastian Hukum PP No. 6/2007 jo. PP NO. 3/2008 Mengantar Indonesia Menjadi Negara Deforestasi Tertingggi

Ketidakpastian Hukum PP No. 6/2007 jo. PP NO. 3/2008 Mengantar Indonesia Menjadi Negara Deforestasi Tertingggi

Dalam laporan Food and Agricultural Organization (FAO) pada 25 Maret 2010 menyebutkan 233 negara, Brasil dan Indonesia tercatat sebagai negara dengan deforestasi tertinggi sejak 1990-an. Dan lebih memalukan pada 2008 Guiness Book Of World Records bahkan pernah menempatkan Indonesia sebagai negara penghancur hutan tercepat.

Selama ini deforestasi di Indonesia disebabkan karena beberapa faktor, dari faktor langusung deforentasi disebabkan karena maraknya industri kayu yang memenuhi kebutuhan kayu di pasar global. Selain itu, faktor pembalakan liar (ilegal logging), alih fungsi lahan dari hutan, baik karena faktor alam atau karena kesengajaan yang dilakukan oleh perusahaan untuk membuka lahan.

Meningkatnya deforestasi juga disebabkan karena praktek kehutanan. Akibat korupsi, maka pengawasan terhadap hutan tidak efektif. Praktek ilegal logging yang marak pada akhirnya mempercepat deforestasi. KPK sendiri pada 2014 pernah melakukan studi kerentanan korupsi dalam perizinan di sektor Sumber Daya Alam.

ICW pun mencermati dan menemukan salah satu penyebabnya karena adanya kebijakan atau regulasi disektor kehutanan yang membuka peluang terjadinya korupsi. Dalam kajian KPK 2014, menyebutkan salah satu regulasi yang membuka peluang terjadinya korupsi adalah Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007, Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008 tentang tata hutan dan penyusunan pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan.

Dalam ketidakpastian hukum bukan hanya memberikan peluang bagi pelaku untuk berkelit dari hukum, tetapi juga memberikan peluang bagi pelaku untuk berkelit dari hukum. Tetapi dalam satu sisi juga memberikan peluang untuk berbagai perilaku koruptif seperti pemerasan dan penjualan.

Meskipun belum terlihat secara langsung, dalam PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008 salah satu pertentangan ini dapat ditemukan dari pertentangan lingkup pengelolaan hutan antara PP No.  6/2007 jo. PP 3/2008 dengn UU NO. 41/1999 tentang kehutanan, membagi pengurusan (bestuuren) sektor kehutanan ke dalam empat bagan besar penyelenggaraan pemerintah yaitu perencanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, serta pengawasan.

Namun, PP 6/2007 jo. PP 3/2008 justru memberikan peluang pelaksanaan pemanfaatan hutan pada kawasan hutan yang belum selesai di kukuhkan. Pasal 71 huruf c. PP 6/2007 jo. PP 3/2008 memberikan kewajiban kepada pemegang izin pemanfaatan hutna untuk melaksanakan penataan batas yang merupakan salah satu tahap dalam pengukuhan kawasan hutan

“Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan, wajib melaksanakan penataan batas areal kerja paling lambat satu tahun sejak diberikan IUPHHK dalam hutan alam maupun hutan tanaman,”

Secara a fortiori, pasal ini menegaskan adanya pertentangan antara Pasal 71 tersebut dengan berbagai pasal yang ada dalam UU 41/1999. Tumpang tindih ini terlihat lebih tegas terutama dengan melihat pengukuhan kawasan hutan sebagai kewenangan pemerintah. PP No. 6/2007 jo. PP 3/2008 justru membebaskan kegiatan penataan batas, yang merupakan salah satu tahapan dalam pengukuhan kawasan hutan kepada pemegang izin. Mengingat kegiatan penataan batas itu sendiri akhirnya akan menentukan batas-batas pengelolaan definitif. Dalam hal ini pelaksanaan kegiatan penataan batas oleh pemegang izin pemanfaatan hutan jelas akan menimbulkan benturan kepentingan sendiri.

Dalam hal ini, kebijakan pemerintah dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan hanya melahirkan ruang diskresi yang luas, terlebih diskresi terpusat ditangan Menteri Kehutanan sebagai leading actor. Terkait perizinan yang diatur dalam UU No 41/1999 untuk hutan produksi dipisahkan berdasrkan beberapa klarifikasi seperti pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan izin pemungutan hutan bukan kayu.

Namun, pada prakteknya akibat pemanfaatan hasil hutan kayu lebih mendominasi pemanfaatan lainya menjadi terhambat. Akibatnya, kecendrungan homogenitas pelaku atau pemegang izin yaitu perusahaan besar.

·       Kedudukan Hukum PP No. 6/2007

Dalam PP tersebut mengakui bahwa PP No. 34/2002 belum mendorong bertumbuhya investasi, percepatan pembangunan hutan tanaman, pengendalian degradasi hutan, dan peningkatan perekonomian nasional termasuk perekonomian masyarakat di dalam dan sekitar hutan melalui deregulasi dan debirokratisasi yang dilandasi prinsip good governance dan pegelolaan hutan lestari.

·       Kekuasaan Berlebihan Menteri

Dalam pendelegasain kewenangan mengatur dalam peraturan menteri terkait dengan proses pembentukanya. Semakin jauh jarak antara peraturan delegasian tersebut dengan undang-undang (produk delegasi yang nyata) maka semakin minim potensi keterlibatan/partisipasi masyarakat. Perbandingan pengembentukan undang-undang peraturan pemerintah dengan peraturan menteri, hal yang dimaksud undang-undang dibahas  secara kolektif (musyawarah) dan prosesnya lebih terbuka karena ada pertanggungjawaban terhadap fungsi representasi. Sedangkan dalam pembentukan peraturan menteri, kekuasaan pembentukanya hanya dilakukan satu subyek yaitu oleh menteri. Minimnya kontrol membuka potensi yang sangat besar bagi penyimpangan pembentukan maupun kualitas materi yang di hasilkan. Selain itu, kepentingan tertentu sangat mudah mengintervensi ketentuan yang akan dihasilakan. Karenanya pemberian batasan yang jelas bagi materi yang didelegasikan sangat diperlukan.

Maka dapat disimpulkan dalam konteks PP No. 6/2007 kewenangan yang diberikan menteri sangatlah luas. Kedudukanya sebagai aktor utama dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Selain mengatur banyak hal, meteri juga berkuasa untuk mengelola soal perjanjian.

Hal ini dapat menjadi persoalan baru, ketika tidak ada kontrol atas kewenangan yang diemban menteri. Menteri dapat menjadi ‘penguasa’ hutan, bukan lagi DPR melalui kuasa legislasinya maupun Presiden dengan kuasa eksekutifnya,

*Sumber : Buku Regulasi Membawa Korupsi yang ditulis oleh Emerson Yuntho, Lalola Easter, Aradila Caesar Ifmaini Idris (Indonsia Corruption Watch)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan