Ketertutupan Kenaikan Tarif Tol; Potret Krisis Informasi Publik

Seandainya pemerintah transparan soal alasan perubahan tarif jalan tol, reaksi kemarahan dan keputusasaan masyarakat pasti tidak akan sedramatis sebagaimana yang telah terjadi.

Seandainya instansi-instansi terkait secara sistematis melakukan komunikasi publik terkait dengan keputusan tersebut, kontroversi bisa direduksi dan para petugas tol tidak perlu menjadi sasaran segala rupa caci maki serta luapan kemarahan pengguna jalan tol.

Namun, justru di sini letak persoalannya, keterbukaan informasi sangat dinafikan dalam manajemen transportasi kita. Krisis yang mengikuti perubahan tarif tol tidak hanya cermin buruknya manajemen transportasi publik, tetapi juga indikasi buruknya manajemen informasi publik secara lebih luas.

Sejauh ini belum tersedia mekanisme yang secara efektif memfasilitasi masyarakat mendapatkan informasi-informasi tentang sarana transportasi publik serta yang bisa memaksa pejabat dan instansi terkait menyediakan informasi tersebut secara berkala dan lengkap. Kewajiban memberikan layanan informasi belum menjadi bagian integral dari sistem kerja institusi-institusi transportasi publik.

***

Yang terjadi kemudian, lahir kebijakan yang semena-mena dan diputuskan secara sepihak. Masyarakat yang selama ini terpaksa menggunakan sarana jalan tol yang jauh dari memuaskan (kondisi jalan rusak, rambu lalu lintas tidak memadahi, pelayanan buruk, kemacetan yang membuatnya tidak layak disebut jalan bebas hambatan, dan lain-lain) tiba-tiba harus menerima kenyataan kenaikan tarif tol. Kebijakan itu diputuskan tanpa penjelasan dan sosialisasi yang memadahi.

Publik mengetahui kenaikan tarif tol persis ketika mau memasuki pintu tol. Masyarakat semakin kecewa ketika menyaksikan kekisruhan yang terjadi, pejabat publik terkait dengan jumawa berkata melalui media massa: Yang protes hanya sebagian kecil masyarakat, Jika tidak setuju kenaikan tarif, jangan menggunakan jalan tol, Tarif tol harus dinaikkan menyesuaikan dengan inflasi, dan sebagainya. Respons itu semakin memperdalam kekecewaan dan kegeraman masyarakat.

Di sini terlihat pula betapa buruk komunikasi politik pemerintah. Sama ironisnya dengan reaksi tidak simpatik pejabat publik itu, reaksi penolakan terhadap perubahan tarif tol tidak hanya datang dari masyarakat, namun juga kalangan DPR.

Bagaimana koordinasi antara pemerintah dan DPR tentang masalah itu? Apakah benar kebijakan yang begitu strategis tak dikonsultasikan terlebih dahulu oleh pemerintah kepada DPR ?

***

Masyarakat membutuhkan penjelasan mengapa tarif tol harus dinaikkan, apa dampak buruknya jika tarif tol tidak dinaikkan, dan seterusnya. Sebelum tarif benar-benar dinaikkan, masyarakat perlu diberi jaminan bahwa kenaikan tarif tol akan diikuti dengan peningkatan kualitas jalan tol. Karena secara langsung menentukan kepentingan banyak orang, keterbukaan informasi menjadi sangat signifikan di sini.

Demikian juga, medium yang digunakan untuk menyebarluaskan informasi itu, harus memadahi dan tidak hanya terfokus pada media massa yang terbatas jangkauannya.

Prinsip keterbukaan informasi, sebagai bagian penting dari prinsip pemerintahan yang demokratis, menegaskan publik berhak tahu atas kinerja badan-badan publik dalam menjalankan fungsi pelayanan.

Persoalannya ialah prinsip keterbukaan informasi itu sejauh ini sulit ditegakkan karena kita belum memiliki undang-undang yang benar-benar mewajibkan badan-badan publik menyediakan informasi untuk masyarakat.

Meski krisis transportasi publik dalam berbagai bentuk terus terjadi, tetap saja tidak ada kekuatan efektif untuk memaksa instansi dan perusahaan transportasi agar secara transparans memberikan akses informasi bagi publik.

Problem ketertutupan informasi tidak hanya terjadi dalam keputusan pemerintah menaikkan tarif jalan tol saja. Berkaitan dengan kecelakaan pesawat komersial, pemerintah mengabaikan hak publik untuk tahu bagaimana standar pengawasan yang diterapkan instansi terkait.

Berkaitan dengan problem banjir di DKI Jakarta, publik tidak benar-benar diberi informasi dan penjelasan mengapa pembangunan Banjir Kanal Timur tak kunjung selesai, mengapa masih diizinkan pengerukan lokasi resapan air untuk pembangunan mal, perkantoran, dan semacamnya?

Mengenai kemacetan di Jakarta, pemerintah juga tidak menjelaskan mengapa proyek pembangunan jalan umum tersendat-sendat, sementara pembangunan mal-mal begitu bebas hambatan?

Namun, keterbukaan informasi mungkin justru tak dikehendaki beberapa pihak. Jika keterbukaan informasi secara konsekuen dijalankan, akan terungkap sekian ruas jalan tol berkualitas buruk sehingga kenaikan tarif tol menjadi tidak masuk akal. Keterbukaan informasi menuntut perbaikan kualitas jalan tol yang tentu saja tidak murah. Pendek kata, keterbukaan informasi menimbulkan konsekuensi yang serius bagi bisnis transportasi.

Sebaliknya, ketertutupan justru kondisi semua bisa diatur. Sarana transportasi yang tidak layak bisa saja secara patgulipat dinyatakan layak. Tarif jalan tol yang sesungguhnya tidak layak dinaikkan bisa saja tiba-tiba dinaikkan berkat deal-deal tertentu di bawah meja.

Ketertutupan informasi adalah kondisi yang favorable bagi pihak-pihak yang terbiasa memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi, suka mengambil jalan pintas demi efisiensi dengan menomorduakan kepentingan publik.

Agus Sudibyo, deputi direktur Yayasan SET Jakarta, koordinator Lobi Koalisi untuk Kebebasan Informasi

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 21 September 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan