Ketertutupan Informasi Susu Formula

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya mengabulkan permohonan David M.L. Tobing yang menggugat Institut Pertanian Bogor, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), dan Menteri Kesehatan untuk mengumumkan penelitian yang menyatakan produk susu formula dan makanan bayi terkontaminasi bakteri Enterobacter sakazakii (Tempo Interaktif, 20 Agustus).

Dalam amar putusannya, majelis menyatakan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian, menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, menghukum para tergugat secara bersama-sama untuk mempublikasikan nama dan jenis produk yang terkontaminasi di media massa baik cetak maupun elektronik.

Di tengah gelombang keterbukaan informasi, putusan majelis tersebut jelas mencerminkan rasa keadilan masyarakat yang terkena dampak psikologis dari ketertutupan informasi. Ini sekaligus menjadi yurisprudensi bahwa praktek ketertutupan merupakan pelanggaran hukum yang nyata.

Sejak awal, pemerintah memang terkesan defensif menyikapi hasil riset para peneliti IPB yang menemukan adanya kontaminasi Enterobacter sakazakii sebesar 22,73 persen dari 22 sampel susu formula yang beredar selama 2003-2006. Padahal, dampak kontaminasi Enterobacter sakazakii secara medis diindikasikan dapat mengakibatkan peradangan saluran pencernaan, infeksi peredaran darah, serta infeksi pada lapisan urat saraf tulang belakang dan otak bayi.

Sikap pemerintah tersebut sangat disesalkan karena kecenderungannya lebih mempertimbangkan dimensi ekonomis, khususnya menyangkut kredibilitas produsen susu formula, serta implikasinya pada perkembangan investasi. Selain itu, ada kepentingan menjaga citra BPOM sebagai representasi pemerintah yang memiliki otoritas dalam memberikan izin peredaran serta pengawasan sebuah produk. Menyokong temuan peneliti IPB berarti sama saja membeberkan keteledoran BPOM sendiri.

Celakanya, para peneliti IPB terbentur pada etika akademis yang menjunjung kerahasiaan data/obyek penelitian. Akibatnya, perdebatan independensi dan metodologi justru lebih mengemuka ketimbang menjawab persoalan tidak terlindunginya hak masyarakat sebagai konsumen dalam mendapatkan informasi atas sebuah produk makanan dan minuman yang layak dan sehat untuk dikonsumsi.

BPOM, belakangan, telah melakukan pengujian ulang dan menyatakan bahwa 96 produk susu yang beredar telah terbebas dari pencemaran bakteri. Namun, tetap saja ini tidak menjawab persoalan besarnya animo masyarakat untuk mengetahui nama produk susu formula yang terkontaminasi menurut temuan peneliti IPB.

Keterbukaan Informasi

Polemik susu formula yang terkontaminasi Enterobacter sakazakii mengalami babak baru. Perlawanan hukum yang dilakukan masyarakat menunjukkan betapa informasi sudah menjadi kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Karena itu, pemerintah termasuk pelaku usaha tidak boleh semena-mena, apalagi memanipulasi informasi, karena masyarakat telah memiliki kesadaran hukum yang tinggi untuk melakukan gugatan pidana maupun perdata.

UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen Pasal 4(c) secara tegas menjamin hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Sedangkan Pasal 8 ayat 4 mengatur kewajiban para pelaku usaha untuk menarik peredaran barang yang salah satunya terbukti tercemar.

Begitu pula dengan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik yang baru saja disahkan oleh DPR pada 3 April lalu. Selain menjamin hak masyarakat dan kewajiban badan publik, UU ini juga mengadopsi standar kebebasan informasi internasional (articles 19) tentang kerahasiaan sebuah informasi yang harus diatur secara ketat dan limitatif (maximum access limited exemption). Artinya, kerahasiaan masih dimungkinkan, namun bukan berarti selamanya tidak bisa dibuka. Jika berdasarkan pengujian tertentu pembukaan informasi ternyata lebih menguntungkan kepentingan publik yang lebih besar, maka informasi apa pun wajib diketahui publik.

Tentunya, putusan PN Jakarta Pusat harus dipahami sebagai hasil pengujian atas sengketa informasi yang mengikat semua pihak yang bersengketa. Dengan demikian, prosedur tetap BPOM untuk merahasiakan hasil pemeriksaan termasuk kepatuhan peneliti IPB terhadap etika akademis harus gugur demi hukum.

Saat ini dibutuhkan respons cepat pemerintah, khususnya Menteri Kesehatan, untuk menyelesaikan kebuntuan informasi. Sejatinya, BPOM pun tidak kesulitan untuk melaksanakan putusan pengadilan jika lembaga ini melaksanakan fungsi sertifikasi dan pengawasan (regular inspection) dengan baik. BPOM cukup membuka kembali data/dokumen hasil pengawasan selama 2003-2006, kemudian diinformasikan secara obyektif.

Pada prinsipnya, masyarakat tetap harus terlindung dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi standar dan persyaratan kesehatan. Apalagi kebijakan kesehatan nasional telah memberi mandat kepada pemerintah sebagai pemegang otoritas berkewajiban untuk menarik, menyita, memusnahkan produk yang tercemar sebagai wujud pengemban konstitusi dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Peluang banding dan kasasi di Mahkamah Agung memang masih terbuka lebar, tetapi tentu akan membuat berlarut-larutnya polemik ketertutupan soal susu formula. Kondisi ini akan meresahkan masyarakat, juga akan menimbulkan benih ketidakpercayaan publik kepada pemerintah, karena tak mencerminkan perlindungan terhadap hak publik atas informasi dan kesehatan yang bermutu.

Akses warga negara terhadap informasi merupakan hal penting untuk mengembangkan masyarakat demokratis. Karena itu, perjuangan David M.L. Tobing harus dijadikan tonggak bersejarah dalam mewujudkan kebebasan memperoleh informasi di Indonesia.

Agus Sunaryanto,  Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch dan Anggota Koalisi Kebebasan Memperoleh Informasi

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan