Ketertutupan, Antiklimaks Lembaga Perwakilan

Hari Hak untuk Tahu (Right to Know Day) internasional, yang ditetapkan pada 2002 di Sofia-Bulgaria, oleh berbagai organisasi sipil bidang hak asasi manusia, pembangunan, dan media di dunia, jatuh pada setiap 28 September. Penetapan hari itu dimaksudkan untuk menyadarkan semua kalangan bahwa informasi yang menyangkut kepentingan masyarakat dan penyelenggaraan pemerintahan adalah hak dan milik publik. Di Indonesia, DPR dan pemerintah memang telah melahirkan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), yang efektif berlaku sejak 30 April 2010. Meskipun ada toleransi waktu dua tahun kepada lembaga-lembaga publik untuk mempersiapkan diri, toh mayoritas mereka tak juga siap, termasuk DPR sendiri.

Lihat saja, bagaimana undang-undang di atas menyebutkan bahwa setiap badan publik wajib mengumumkan informasi secara berkala (paling singkat enam bulan sekali), meliputi: a. informasi yang berkaitan dengan badan publik; b. informasi mengenai kegiatan dan kinerja badan publik terkait; c. informasi mengenai laporan keuangan; dan/atau d. informasi lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 9). Sementara itu, disebutkan dalam Pasal 11 ayat (1), badan publik wajib menyediakan informasi publik setiap saat, yang meliputi: a. daftar seluruh informasi publik yang berada di bawah penguasaannya, tidak termasuk informasi yang dikecualikan; b. hasil keputusan badan publik dan pertimbangannya; c. seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya; d. rencana kerja proyek, termasuk di dalamnya perkiraan pengeluaran tahunan badan publik; e. perjanjian badan publik dengan pihak ketiga; dan seterusnya.

Tetapi, di DPR, tidak semua jenis informasi dimaksud tersedia dan dapat diakses publik. Bukan hanya karena faktor teknis, tapi juga mentalitas, seperti minimnya komitmen, ketidakberanian untuk jujur, dan adanya berbagai kekhawatiran. Cobalah ke DPR, minta daftar penggunaan anggaran studi banding anggota DPR beberapa waktu lalu, atau biaya pembelian makanan pada rapat-rapat DPR. Kemungkinan besar permintaan tersebut ditolak.

Menyangkut hal ini, ada contoh menarik. Seorang jurnalis di Selandia Baru mengajukan permintaan informasi transaksi kartu kredit seorang menteri dari tahun 2003 sampai 2010. Pada 1 Juni 2010, Departemen Dalam Negeri akhirnya mengeluarkan informasi tersebut. Setelah dianalisis, diketahui banyak pemborosan uang negara. Misalnya, biaya tidak wajar (jas seharga $ 1.000, sebotol anggur seharga $ 200), pengeluaran besar dalam waktu singkat (biaya makan-makan di restoran sebesar $ 1.000 untuk sehari), tagihan tanpa perincian, hal-hal yang tidak layak dibiayai oleh dana publik (tiket bioskop, mobil baru, biaya tagihan listrik rumah), dan alasan-alasan aneh dalam sejumlah tagihan yang besar, seperti kehilangan bagasi dalam setiap perjalanan ke luar negeri. Kasus ini menyebabkan menteri bersangkutan kehilangan jabatannya.

Peran DPR
Sadarkah pimpinan DPR bahwa DPR sendiri adalah badan publik yang wajib tunduk kepada UU KIP, di mana dalam Pasal 52 dijelaskan bahwa badan publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan informasi publik berupa informasi publik secara berkala, informasi publik yang wajib diumumkan secara serta-merta, informasi publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau informasi publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan UU ini, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain, dikenai pidana kurungan paling lama satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak 5 juta rupiah?

DPR seharusnya menjadi contoh implementasi UU KIP. Akan jauh lebih baik jika permintaan DPR agar lembaga publik dapat terbuka dibarengi dengan upaya lembaga ini untuk keluar dari kubangan ketertutupan. Pimpinan DPR perlu sesegera mungkin mempersiapkan kondisi agar undang-undang tersebut diimplementasikan secara total. Setjen DPR harus dirombak dan didesain menjadi institusi yang profesional mengelola informasi, terbuka, dan melayani hak untuk tahu rakyat. Keterbukaan memang membuat DPR menuai kritik, apalagi jika masyarakat melihat besarnya alokasi untuk fasilitas anggota DPR yang dinilai sebagai bentuk moral insensitivity dan anggaran kegiatan yang akuntabilitasnya dipertanyakan. Tapi, dengan transparansi, DPR akan dipaksa membenahi ini, sebab masyarakat dan media tidak akan diam dengan data-data yang ada. Yah, setidaknya program-program kontroversial yang selama ini dirumuskan melalui rapat tertutup dapat diminimalkan. Sebut saja, dana percepatan pembangunan daerah (dana aspirasi), dana rumah aspirasi, dan rencana pembangunan gedung baru.

Begitu pula dengan proses pembahasan APBN. Alasan sedang “dalam proses” sehingga harus tertutup justru bertentangan dengan logika partisipasi. Publik perlu tahu banyaknya persoalan dalam APBN kita, mulai ketimpangan pembagian pusat-daerah, alokasi pegawai-rakyat, praktek percaloan, dugaan kebocoran, hingga akuntabilitas angka-angka statistik resmi pemerintah. Sebagaimana pengakuan John Perkins, konsultan MAIN, yang pernah bekerja di Indonesia untuk World Bank dan IMF, bahwa statistik resmi seperti data inflasi, total cadangan devisa asing, surplus perdagangan, dan sektor perbankan yang mantap, dari 1970-an hingga setidaknya 1997, hanya omong kosong (laporan fiktif/rekayasa) agar World Bank dan IMF (yang sebenarnya tahu) mengucurkan utang, lalu membangkrutkan negara penerima sehingga dapat ditekan mengikuti kepentingan mereka. Biarlah rapat dan dokumen-dokumen APBN ini terbuka untuk publik. Keterbukaan akan melahirkan kesadaran kolektif yang mengantar pada perubahan.

Bersamaan dengan itu, DPR perlu mengevaluasi pelaksanaan undang-undang ini. Satu hal yang patut dicermati, setelah berlakunya UU KIP, permintaan informasi tetap saja cenderung ditolak jika berkaitan, secara langsung maupun tidak, dengan anggaran. Misalnya, permintaan informasi dana pengembangan institusi oleh mahasiswa Universitas Andalas yang justru berbuah sanksi kepada mahasiswa bersangkutan; permintaan informasi laporan pertanggungjawaban penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) periode 2007-2009 di lima SMP negeri di Jakarta oleh Indonesia Corruption Watch; permintaan dokumen perjanjian pengelolaan saham Blok Cepu antara PT Blora Patragas Hulu dan PT Anugerah Bangun Sarana Jaya oleh Lembaga Penelitian Aplikasi Wacana Blora; dan berbagai kasus lain.

Sebenarnya, sejumlah kasus sengketa informasi menunjukkan bagaimana kualitas komitmen dan integritas pejabat negeri ini. Puluhan tahun dalam ketertutupan tentu membentuk sistem yang korup di hampir semua lembaga publik. Ketika undang-undang datang untuk merombak, sering kali muncul resistensi, dengan dalih tidak tahu, tidak paham, tidak jelas, menafsirkan lain atau mencari-cari celah undang-undang. Mentalitas seperti ini juga ada pada kebanyakan birokrasi pemerintah daerah, sehingga mereka tidak bersedia memberikan dokumen APBD kepada masyarakat.

Pada tahap awal seperti sekarang, proses keterbukaan sangat memerlukan dukungan DPR. Antara lain dengan memanggil lembaga publik yang menolak permintaan informasi, untuk menjelaskan kepada mereka bagaimana maksud undang-undang ini. Bahkan, jika DPR serius pada terciptanya pemerintahan yang bersih, ketertutupan pejabat publik seperti di atas menunjukkan indikasi perlunya penyelidikan dan pengawasan lebih lanjut pada instansi bersangkutan.

Terakhir, belajar dari banyaknya perda transparansi yang berdampak bagi masyarakat, ini karena pemda setempat sekadar memenuhi target program Bank Dunia atau cuma untuk memikat investor-investor asing. Kita tentu tidak ingin UU KIP bernasib demikian. Harapan besarnya, keterbukaan terhadap semua lembaga publik--yang semestinya gencar dituntut oleh DPR--menjadi gerbang kesadaran bagi rakyat Indonesia akan hak-hak lain, seperti partisipasi dalam perumusan kebijakan, akses terhadap pemanfaatan sumber daya alam yang adil dan merata, dan sebagainya. Demikian penting keterbukaan, demikian jelas dan tegas undang-undang mengatur, kini tinggal komitmen DPR (bersama pemerintah), juga tekanan publik, karena ketertutupan sering menjadi zona nyaman yang menyebabkan orang malas memperbaiki keadaan. Jika dibiarkan, inilah antiklimaks lembaga perwakilan.
Mufid A. Busyairi, Anggota DPR RI 2004-2009
Tulisan ini disalin dari koran Tempo, 13 Oktober 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan