Keterbukaan Informasi dan Ironi Demokrasi

TULISAN singkat ini hendak menyoroti pentingnya keterbukaan informasi terkait dengan calon pejabat. Sebab, penciptaan pemerintahan terbuka dan transparan (open and transparence government) sebagai target ditetapkannya UU Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) mustahil berhasil jika para calon pejabat tidak terbuka dan tidak bersih.

Hemat penulis, keterbukaan informasi tentang para kandidat justru jauh lebih penting dengan tiga alasan terkait. Pertama, cita-cita pembentukan pemerintahan yang bersih itu dapat kita lakukan sejak awal pemilihan para pejabat, baik di lingkungan eksekutif (presiden, gubernur, bupati, wali kota) maupun lingkungan legislatif (DPR, DPD, DPRD I, dan DPRD II).

Kedua, dengan mengetahui kandidat yang bersih atau kotor sejak awal, lebih mudah bagi kita untuk memproyeksikan bentuk pemerintahan yang akan dicapai melalui pemilu, pilpres, maupun pilkada. Kalau yang terpilih rata-rata politisi bermoral, bolehlah kita berharap pemerintahan yang terwujud adalah pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean government). Sebaliknya, jika yang terpilih umumnya politisi busuk, yang terjadi niscaya adalah pemerintahan yang jelek dan kotor (bad and dirty government).

Ketiga, pengetahuan yang cukup mengenai kandidat seharusnya mendorong pemilih untuk ikut bertanggung atas pilihannya. Jika ada pilihan kandidat yang bersih dan bermoral di antara sejumlah kandidat lainnya, tapi yang menang justru kandidat yang kotor dan bermasalah, selaku pemilih, semestinya kita bertanya, mengapa hal itu bisa terjadi?

Tapi, inilah faktanya. Akibat ketidakterbukaan informasi yang terkait dengan para kandidat, sejumlah caleg tetap terpilih menjadi anggota DPR/DPRD. Beberapa cagub, cabup, cawalkot yang diindikasikan tidak bersih dan melanggar moral terpilih, bahkan ada yang memperoleh suara lebih dari 60 persen.

Menjelang Pemilu 2009, caleg bermasalah bertebaran di daerah. Untuk DPR pusat, 21 Oktober 2008, anggota KPU Endang mengungkapkan kepada publik mengenai adanya 253 caleg bermasalah. Sesuai masukan masyarakat, di antaranya ada yang diduga terlibat kasus hukum (13 calon), menggunakan ijazah palsu (13 calon), dan diduga melakukan korupsi (45 calon). Toh demikian, beberapa di antara yang bermasalah itu tetap terpilih.

Ironi Demokrasi
Banyak yang bilang, itulah ironi demokrasi di negara kita. Yang banyak uang -meski banyak masalah- sanggup menyingkirkan yang benar. Yang lebih ironis, dari pemilu/pilkada ke pemilu/pilkada berikutnya, kejadiannya selalu berulang. Coba kita tengok ke Pemilu 2004.

Dari hasil Pemilu 5 April 2004, Ratusan Wakil Rakyat Terpilih Bermasalah (Tempo Interaktif, 5/8/2004). Panwaslu mengungkapkan, di luar Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Irian Jaya Barat yang laporannya belum masuk saat itu, ada 257 legislator terpilih bermasalah.

Ketua Panwaslu Didik Supriyanto menjelaskan, masalah-masalah itu terkait dengan persyaratan pendidikan; ketentuan harus mengundurkan diri dari pegawai negeri, TNI, atau Polri; terlibat kasus pidana; serta persyaratan kesehatan.

Sekarang, kita lihat hasil Pemilu 9 April 2009. Selain menemukan caleg bermasalah yang kembali terpilih, kita juga mendapati ''masalah yang tidak disebut masalah''. Itulah dia caleg dinasti, yakni para caleg yang berasal dari satu keluarga. Fenomena ini sesungguhnya sama buruknya dengan caleg bermasalah karena berpotensi melakukan pembusukan demokrasi.

Sebagaimana dicatat Adkhilni M. Sidqi (Harian Radar Banten, 20 Mei 2009), politik dinasti, antara lain, terjadi di Tanah Banten. Beberapa nama terpilih sebagai anggota legislatif (anleg), baik tingkat daerah hingga pusat, masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan para pejabat di Banten. Dan keluarga Gubernur Rt Atut Chosiyah paling banyak terpilih sebagai anleg.

Yakni, Hikmat Tomet (suami, DPR, Golkar); Andika Hazrumy (putra, DPD); Ade Rossi Khaerunisa (menantu, DPRD Kota Serang, Golkar); Ratna Komalasari (ibu tiri, DPRD Kota Serang, Golkar); Heryani (ibu tiri, DPRD Pandeglang, Golkar); Rt Tatu Chasanah (adik, DPRD Provinsi Banten, Golkar); serta Aden Abdul Cholik (adik ipar, DPRD Provinsi Banten, Golkar).

Selain dari keluarga gubernur, anleg terpilih memiliki hubungan kekeluargaan dengan para kepala daerah di Banten. Di antaranya, Tb Iman Aryadi (putra wali kota Cilegon, DPR, Golkar); Ahmed Zeki (putra bupati Tangerang, DPR, Golkar); Iti Octavia Jayabaya (putri bupati Lebak, DPR, Partai Demokrat); Diana Jayabaya (anak bupati Lebak, DPRD Prov Banten, PDIP); Mulyanah (adik bupati Lebak, DPRD Lebak, PDIP); Agus R. Wisas (adik ipar bupati Lebak, DPRD Banten, PDIP); dan Irna Narulita (istri bupati Pandeglang, DPR, PPP).

Tentu saja kita patut bertanya, mengapa para caleg dinasti bisa menang? Apakah karena teknik kampanye dan strategi pemasaran politiknya sangat canggih? Atau karena kepiawaiannya bermain politik? Seandainya kita selaku pemilih memiliki informasi yang cukup mengenai para caleg atau pejabat publik itu, tentulah kita tidak akan memilih dengan sekenanya. Itulah salah satu pentingnya keterbukaan informasi.

Apalagi, menjelang pelaksanaan pemilihan presiden, keterbukaan informasi tentang rekam jejak calon presiden menjadi sangat penting. Publik harus tahu siapa dan bagaimana calon pemimpin yang harus mereka pilih. Jika tidak, pemilu di Indonesia hanya akan menghasilkan ironi demokrasi.

Ibnu Hamad , dosen Ilmu Komunikasi FISIP UI, Depok

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 24 Juni 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan