Keterbukaan Informasi BUMN

Rancangan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (RUU KIP) masih menghadapi persoalan tentang ketidaksepakatan antara DPR dan pemerintah, menyangkut berbagai persoalan mendasar. Materi RUU KIP yang alot diperdebatkan adalah, informasi yang dikecualikan, karena jika dibuka dapat menghambat proses penegakan hukum, mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual, dan berbagai ketentuan lain, yang prinsipnya mem- batasi kebebasan informasi demi keamanan nasional, menjaga aset negara, maupun perlindungan terhadap privasi individual.

Namun, permasalahan yang semula dikhawatirkan akan membelenggu kebebasan informasi publik tersebut sepertinya dapat diatasi dengan menetapkan batasan informasi yang dikecualikan. Walaupun, masih perlu perumusan yang lebih tepat, agar tidak multitafsir atau diselewengkan oleh para pemegang otiritas informasi di lembaga pemerintah atau badan-badan publik. Esensinya, hampir ada titik temu yang signifikan antara DPR, pemerintah, dan berbagai kelompok masyarakat yang memperjuangkan kebebasan informasi.

Meski demikian, RUU KIP ternyata tidak kehabisan masalah yang kontroversial dan memancing perdebatan di DPR maupun di lingkungan masyarakat yang peduli terhadap kebebasan informasi.

Ketika pasal krusial tentang informasi yang dikecualikan mendekati titik temu antara kemauan pemerintah dan pihak legislatif, muncul masalah lain, menyangkut pendefinisian badan publik yang wajib memberikan informasi kepada masyarakat. Dalam konteks ini, pemerintah menghendaki bahwa BUMN tidak bisa digolongkan sebagai badan publik. Sedangkan sejumlah anggota DPR berprinsip BUMN sebagai badan publik.

Pelembagaan Ketertutupan

Sesungguhnya semua entitas penyelenggara negara yang memperoleh anggaran dari pemerintah, merupakan badan publik. Sebab itu, ketika pemerintah bersikukuh mengecualikan badan usaha milik negara (BUMN) sebagai institusi yang tidak memiliki kewajiban membuka informasi kepada publik, jelas menuai kritik masyarakat dan komunitas yang memperjuangkan kebebasan informasi.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003, BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara dan berasal dari kekayaan negara. BUMN sebagai salah satu pelaku perekonomian nasional yang berdasarkan demokrasi ekonomi, diharapkan berperan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Dalam posisi milik negara, tentunya rakyat berhak mengetahui kondisi BUMN. Di sisi lain, transparansi dalam tubuh BUMN bukanlah sesuatu yang harus dijauhi, sebab dalam undang-undang yang dikeluarkan semasa Presiden Megawati Soekarnoputri berkuasa tersebut, di dalamnya mengandung semangat demokratisasi dan keterbukaan informasi. Misalnya, pimpinan BUMN wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran.

Sebuah ketentuan ideal yang mengarah kepada penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Memang semangat dari UU No 19 Tahun 2003, adalah keterbukaan. Asumsinya, menjalankan manajemen perusahaan pelat merah secara tertutup, tanpa memberikan kesempatan masyarakat untuk berpendapat, mengkritik ataupun melakukan pengawasan, mustahil sebuah institusi publik bisa memaksimalkan kinerja dan mendistribusikan keuntungan untuk kesejahteraan rakyat.

Dengan pelembagaan ketertutupan yang didukung pemerintah maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan, maka dari waktu ke waktu, BUMN bisa dimanfaatkan secara terselubung atau diam-diam oleh sejumlah entitas yang menguasai atau memiliki dominasi dalam kekuasaan negara, tanpa perlu khawatir terhadap kontrol masyarakat.

Tranparansi BUMN

Sebab itu, dengan memanfaatkan momentum keterbukaan informasi, selayaknya budaya tertutup BUMN harus segera dibuka, demi memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengetahui kinerja BUMN secara komprehensif. Intinya, BUMN sebagai badan publik yang sepenuhnya dibiayai oleh negara wajib membuka informasi kepada masyarakat, yang secara politis berhak mengetahui atas kekayaan yang dimiliki negara.

Sedangkan BUMN yang sebagian modalnya dikuasai oleh pihak lain di luar pemerintah, bisa saja diberlakukan peraturan khusus yang melindungi kepentingan swasta. Dalam arti, BUMN yang bersangkutan, tetap mempunyai kewajiban untuk membuka informasi yang terkait dengan kepemilikan modal pemerintah. Menyangkut modal pihak swasta, masyarakat harus tunduk terhadap ketentuan informasi yang dikecualikan, karena berkaitan dengan rahasia perdagangan atau menjaga privasi individual.

Namun demikian, sepertinya ketentuan semacam itu terlampau rumit dan berpotensi disalahartikan. Oleh karena itu, yang lebih ideal adalah, menempatkan BUMN yang kepemilikan modalnya seratus persen dikuasai pemerintah, maupun yang sebagian dimiliki oleh pihak swasta, tanpa terkecuali, wajib membuka informasi kepada publik. Dengan asumsi, pihak swasta yang menanamkan modal di BUMN, mestinya sudah siap mengikuti aturan tentang keterbukaan informasi yang diberlakukan pada badan publik.

Penulis lulus S3 Ilmu Komunikasi Unpad Bandung 2004; dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara; fasiltator komunikasi publik

Tulisan ini disalin dari Suara Pembaruan, 9 Oktober 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan