Keseriusan Penuntasan Kasus BLBI
Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang telah bergulir sejak 1998 hingga kini masih menjadi perdebatan yang tidak pernah ada henti-hentinya. Tarik-menarik perdebatan hukum dan kini melebar menjadi perdebatan politik terkait dengan kasus ini semakin menghangatkan suasana politik menjelang Pemilihan Umum 2009. Seakan kasus ini hanya menarik untuk diperdebatkan secara politik, tidak untuk ditangani secara serius dan dituntaskan.
Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang telah bergulir sejak 1998 hingga kini masih menjadi perdebatan yang tidak pernah ada henti-hentinya. Tarik-menarik perdebatan hukum dan kini melebar menjadi perdebatan politik terkait dengan kasus ini semakin menghangatkan suasana politik menjelang Pemilihan Umum 2009. Seakan kasus ini hanya menarik untuk diperdebatkan secara politik, tidak untuk ditangani secara serius dan dituntaskan.
Setelah melewati beberapa presiden, penanganan kasus ini tetap saja tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan, dan selalu kilahnya adalah ini bagian dari kasus masa lalu, sehingga pemerintahan sekarang merasa tidak tepat dibebani untuk menyelesaikan kasus ini. Atau istilah yang sering kita dengar bahwa pemerintahan sekarang ini tinggal terbebani mencuci piringnya saja dari pesta besar pemerintahan sebelumnya, dan bla-bla-bla. Bahkan, dalam menyikapi kasus ini, ada kesan ketakutan atau fobia yang luar biasa, seperti yang pernah dikatakan oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji, bahwa masuk ke dalam kasus BLBI ibarat masuk ke dalam hutan yang penuh memedi (hantu). Karena itu, jaksa yang akan masuk ke dalamnya harus disiapkan agar tidak larut.
Ternyata kini telah menjadi kenyataan, paling tidak salah seorang anggota tim dari Kejaksaan Agung yang dibentuk oleh Jaksa Agung Hendarman, bernama Urip Tri Gunawan, beberapa waktu lalu ditangkap basah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di depan sebuah rumah hantu pada saat menerima uang suap dari seseorang hantu senilai US$ 600 ribu lebih. Kasus itu diduga kuat berkaitan dengan keputusan penghentian pemeriksaan kasus BLBI untuk Bank Dagang Nasional Indonesia milik Sjamsul Nursalim beberapa waktu sebelumnya.
Dengan demikian, maka terbuktilah sudah apa yang dikhawatirkan oleh Jaksa Agung terhadap hantu-hantu itu. Jadi kesimpulannya, rasanya sangat tipis harapan bahwa kasus ini dapat dituntaskan oleh Kejaksaan Agung, yang sejak semula telah merasa tidak bernyali menghadapi para hantu. Apalagi Presiden Yudhoyono sepertinya lebih banyak menunjukkan ketidakseriusannya dalam penuntasan kasus ini. Hal itu terbukti, misalnya, dengan ketidakhadirannya dalam Sidang Paripurna Interpelasi BLBI di Dewan Perwakilan Rakyat beberapa waktu lalu, dan menganggap kasus ini sebagai kasus perdata yang harus diselesaikan secara perdata pula. Itu pun baru menyentuh delapan pengutang yang telah menandatangani akta pengakuan utang tapi belum menyelesaikan utang mereka. Sedangkan yang lainnya sama sekali belum tersentuh dan mungkin dianggap hantu-hantu oleh Jaksa Agung.
Jika demikian, mestinya KPK, berdasarkan kewenangannya, segera mengambil alih penanganan kasus hantu itu. Karena bukan rahasia umum lagi bahwa kasus ini telah lama menjadi perhatian luas dan membuat resah masyarakat serta telah merusak citra penegakan hukum, pemerintahan, dan citra keterpurukan kita berbangsa dan bernegara.
Megakorupsi BLBI yang kini telah membangkrutkan negara ratusan hingga ribuan triliun rupiah itu harus segera dapat menyeret para pelaku utamanya serta pihak-pihak yang bersekongkol dengan para pelaku itu, apakah dia sebagai mantan pejabat pada waktu itu atau kroni-kroninya, termasuk para pengacara yang sesungguhnya dibayar dengan uang hasil rampokan BLBI tersebut, ke pengadilan korupsi.
Presiden Yudhoyono, sebagai pemimpin yang pernah berjanji akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi, dalam menghadapi kasus ini seharusnya lebih mempertegas sikap dan tekadnya untuk menuntaskan megakorupsi BLBI. Perlu disadari, di mana pun di dunia ini, yang dinamakan pemerintah suatu negara itu selalu menjadi rangkaian yang tak terpisahkan dari pemerintah sebelumnya. Kecuali pemerintahan negara itu bubar dan terbentuk pemerintahan negara yang baru. Sehingga, dengan demikian, bisa diklaim bahwa pemerintah sekarang telah terputus hubungannya dengan pemerintahan sebelumnya. Karena itu, pemerintah sekarang tidak bertanggung jawab lagi terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya.
Jadi tidak ada rumusnya sama sekali bahwa pemerintah di bawah Presiden Yudhoyono sekarang ini begitu saja dapat menolak bertanggung jawab menuntaskan kasus BLBI yang terjadi pada masa presiden sebelumnya, yaitu Presiden Megawati Soekarnoputri, khususnya dalam penerbitan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge, yaitu pemberian maaf bersyarat bagi obligor BLBI tersebut. Justru sebaliknya, sebagai presiden yang bertanggung jawab menuntaskan kasus itu, dia harus berani tegas meminta pertanggungjawaban hukum kepada mantan presiden Megawati, yang jelas-jelas melakukan intervensi penegakan hukum ketika itu dengan mengeluarkan Inpres Nomor 8 Tahun 2002.
Pertaruhan
Kasus BLBI, juga Kredit Likuiditas BI di dalamnya, bagi bangsa dan rakyat ini sangat serius untuk segera dituntaskan. Sebab, tidak hanya nilai uang dan asetnya yang sangat besar yang harus dikembalikan kepada negara, tapi juga yang sangat penting adalah nilai kepercayaan rakyat bagi keseriusan pemerintahan Presiden Yudhoyono.
Kecaman banyak pihak yang ditujukan kepada Presiden Yudhoyono berkaitan dengan kasus ini semakin mengemuka belakangan ini, termasuk beberapa anggota DPR yang menyatakan kegagalan Presiden Yudhoyono menuntaskan kasus ini selama pemerintahannya berarti menunjukkan kegagalannya sebagai presiden. Karena itu, sebagai konsekuensinya, dia tidak perlu lagi dicalonkan dan dipilih kembali menjadi presiden pada pemilihan presiden 2009 mendatang.
Kendati kecaman ini terlalu tendensius dan bernuansa politis, sebagai suatu pesan dan tuntutan yang mengingatkan kewajibannya sebagai presiden sekarang ini, tidak ada alasan baginya untuk tidak serius menuntaskan kasus BLBI, juga KLBI secara hukum, baik hukum pidana (korupsi) maupun hukum perdata.
Penuntasan dengan cara-cara politik atau kompromi-kompromi di luar hukum yang sering disalahgunakan harus dihindari. Kompromi-kompromi seperti yang telah dilakukan oleh pemerintah sekarang, khususnya terhadap para obligor yang tidak kooperatif, yang justru diberi deadline waktu penyelesaian sampai akhir 2008 sebenarnya tidak perlu terjadi. Penyelesaian bagi mereka itu sesungguhnya telah lama jatuh tempo atau kedaluwarsa, dan kesannya hanya untuk mencari-cari peluang dan mempermainkan hukum belaka. Apalagi kompromi penyelesaiannya itu telah dilakukan di suatu tempat yang tidak sepantasnya, di Istana Negara, dan diperlakukan sebagaimana tamu kehormatan presiden yang sangat khusus. Apakah ini bukan pelecehan kepada negara hukum dan rakyat Indonesia? Jadi apa kata dunia?
Fathullah, Peneliti CIDES
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 19 Maret 2008