Kesejahteraan Prajurit dan Transparansi

Tahun 2010, wacana tentang Tentara Nasional Indonesia dan pertahanan nasional secara intensif berputar di antara alat utama sistem persenjataan dan kesejahteraan prajurit. Apakah wacana ini menuju kenyataan untuk menjadikan pertahanan negara lebih kuat dan TNI lebih profesional?

Kita mulai dari alat utama sistem persenjataan (alutsista). Dari segi kebijakan negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa kali mewacanakan peningkatan anggaran untuk pembangunan kekuatan pertahanan dan modernisasi alutsista. Dalam pidato di Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada hari ulang tahun TNI, 5 Oktober lalu, misalnya, ia menyatakan, pemerintah sepakat mengalokasikan anggaran yang lebih besar di sektor pertahanan untuk modernisasi alutsista.

Pemerintah dan DPR sepakat membentuk postur kekuatan pokok minimum untuk pertahanan. Minimum karena postur ini dibuat dengan mempertimbangkan keuangan negara yang masih minim. Namun, postur itu didesain bisa melaksanakan fungsi pertahanan, mulai dari mempertahankan sumber daya alam hingga kemampuan memiliki efek getar di kawasan.

Dalam buku putih Postur Pertahanan dari Kementerian Pertahanan, dibuat rencana jangka panjang hingga 2029. Perencanaan meliputi pertahanan militer, pertahanan nirmiliter, dan kesejahteraan prajurit. Pembangunan postur pertahanan untuk tahap I (2010-2014), membutuhkan Rp 471,28 triliun yang dipecah setiap tahun. Untuk tahun 2011, kebutuhan mencapai Rp 150 triliun yang sebagian besar akan dialokasikan untuk revitalisasi industri pertahanan.

Untuk memenuhi kebutuhan itu, ada tiga sumber daya, yaitu pinjaman luar negeri/kredit ekspor, pinjaman dalam negeri, dan APBN. Untuk tahun 2011, ada kekurangan Rp 11 triliun yang diharapkan bisa ditutup dari APBN. Namun, Kementerian Keuangan menyatakan, negara hanya bisa menganggarkan Rp 2 triliun. Ini berarti, kebutuhan pokok yang minimum saja mungkin tidak terpenuhi.

Padahal, menurut Military Balance 2010, jurnal militer tentang kekuatan militer, Panglima TNI (saat itu) Jenderal Djoko Santoso menyampaikan, alutsista yang siap dari TNI Angkatan Darat hanya 62 persen, TNI Angkatan Udara (31 persen), dan TNI Angkatan Laut (17 persen). Kalau begini, konflik di perbatasan menjadi sebuah hal yang laten.

Transparansi
Terkait transparansi, masalahnya tak sederhana. Bahkan, Presiden Yudhoyono meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memantau proses pengadaan barang dan jasa, yang tergolong rawan korupsi, termasuk di tubuh TNI (Kompas, 1/12). Pengadaan barang dan jasa, terutama alutsista, tertutup karena alasan rahasia negara.

Namun, Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menandaskan, pengadaan barang dan jasa di Kementerian Pertahanan dan TNI melewati proses yang transparan, tak melalui rekanan lagi.

Namun, kenyataannya lain. Secara kasatmata, kehadiran rekanan masih terlihat, baik di Mabes TNI maupun Mabes TNI AD, AL, dan AU. Bahkan, pada acara serah terima jabatan, karangan bunga dari berbagai perusahaan rekanan selalu dominan. Penyediaan barang dan jasa yang melibatkan rekanan adalah regulasi saat ini, demikian disampaikan Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono.

Berbagai pihak dalam TNI secara informal mengakui, banyak pembelian yang dilakukan bersifat vendor-driven alias karena pendekatan penjual bersama rekanan. Tidak heran, sulit mengintegrasikan alutsista yang sistemnya berbeda-beda. Akibatnya, ada pembelian alutsista jadi tak pada tempatnya dan terjadi ekonomi biaya tinggi. Ada barang yang dibeli, tak berfungsi, tetapi mau diadakan lagi.

Sementara industri pertahanan, misalnya PT PAL dan PT Dirgantara Indonesia, seperti mati suri. Alutsista yang seharusnya bisa dibuat di dalam negeri masih dibeli dari luar negeri juga. Bahkan, pada salah satu industri strategis, pemesanan malah dibatasi. Adanya fasilitas kredit juga tidak bisa dicairkan karena uang muka yang dianggarkan tidak kunjung diberikan. Konon, alat yang sudah tidak berfungsi pun, sebagaimana dipaparkan Military Balance, ada yang masih dimasukkan anggaran pemeliharaannya.

”Harus ada audit total alutsista TNI. Tidak hanya uangnya, tetapi juga harus ada tim dari KPK yang mengerti soal teknis,” kata anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Effendy Choirie.

Kesejahteraan prajurit sempat diwacanakan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro dan menjadi penekanan tahun 2010. DPR pun menyuarakan kepeduliannya, antara lain dengan membuat tim khusus untuk membahas rumah dinas prajurit TNI dan pemberian tunjangan perbatasan.

Mana hasilnya? Hingga tulisan ini dibuat, Rabu (15/12), beberapa prajurit yang dikonfirmasi mengatakan belum mendapat tunjangan perbatasan itu. Mereka berada di Merauke, Pulau Nipah, Ambalat, Sanggata, dan Berau. Padahal, merekalah ujung tombak di perbatasan. Di Enggano, sebelah selatan Mentawai, Sumatera Barat, sebuah perahu karet menjadi sarana utama mempertahankan kedaulatan negara. Jika ombak tinggi, lebih dari 1 meter, aparat tak berani ke laut. Belum lagi bensin terbatas dan pasokan bahan baku bergantung pada kiriman feri dari Bengkulu.

Kondisi serupa terlihat saat Kompas bepergian bersama Peleton Pengamanan TNI AD di perbatasan Kalimantan Timur di Kepulauan Derawan. Perwira dari Batalyon Raja Alam mengakui, di pos bersama Simanggaris, ia mengandalkan pasokan yang dikirim dengan perahu ketinting. Pasukan Malaysia yang tinggal di pos yang sama mendapat pasokan dari helikopter militer.

Saat mengevakuasi belasan warga Filipina yang terdampar di Kepulauan Derawan, prajurit TNI harus meminta warga agar meminjamkan perahu, untuk mengantarkan warga negara tetangga yang terdampar itu.

Masalah rumah dinas prajurit juga belum selesai. Awal tahun 2010 disebutkan ada kekurangan 159.704 unit atau 44,63 persen. Soal perumahan pun menimbulkan konflik antara purnawirawan dan prajurit aktif. [Edna C Pattisina dan Iwan Santosa]
Sumber: Kompas, 22 Desember 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan