Kesangsian terhadap Mahkamah Agung

Meskipun darah segar bakal disuntikkan ke tubuh Mahkamah Agung, kesangsian publik terhadap lembaga pengadilan tertinggi ini tak juga menurun. Pekatnya pendekatan politis, kekecewaan terhadap kinerja para hakim, serta kompleksnya permasalahan reformasi hakim agung, membuat upaya perbaikan di tubuh MA disikapi dengan gamang.

Putus saja satu generasi! merupakan jargon yang kerap disuarakan kalangan yang sudah frustrasi dengan perbaikan hukum di lembaga pengadilan negeri ini. Penggantian satu generasi hakim dengan generasi yang lebih bersih, atau setidaknya dengan penyeleksian menyeluruh yang menghasilkan hakim baru, dianggap merupakan langkah mujarab mengobati penyakit mafia peradilan dan berbagai penyakit birokratik kehakiman lainnya. Dalam kaitan itu, penggantian atau seleksi hakim di tingkatan tertinggi, Mahkamah Agung, diharapkan akan menurunkan efek baik yang menetes ke bawah yang pada gilirannya memperbaiki situasi peradilan di bawahnya.

Namun, dalam sejarah dunia peradilan dan dunia hukum Indonesia, semangat penggantian atau penyeleksian semacam itu hanya menjadi retorika semata. Pada kenyataannya, dukungan sistem demokrasi dan kondisi politik negara yang belum mapan kerap menjadikan kekuasaan lembaga yudikatif tidak mampu berperan sebagai panglima di wilayahnya sendiri. Sebaliknya, wilayah hukum dalam kelembagaan MA dan berbagai keputusannya masih sangat terkait dengan pemerintah yang berkuasa dan hitam putihnya situasi politik kenegaraan.

Kinerja hakim-hakim agung di MA secara umum dalam memutuskan perkara-perkara yang terkait dengan soal KKN, politik, dan mafia peradilan, jangankan membaik, justru selalu disorot publik sebagai kinerja aparat kenegaraan yang paling buruk.

Mendalamnya kesangsian publik itu tercermin dari besarnya proporsi responden yang menyatakan ketidakpuasannya (81,0 sampai 84,1 persen) atas kinerja hakim agung MA dalam menangani kasasi kasus-kasus yang menyangkut korupsi, mafia peradilan, dan pejabat pemerintah.

Terombang-ambingnya perekrutan hakim dalam situasi politik, ditambah merajalelanya mentalitas mafia peradilan, menyebabkan wajah dunia hukum, terutama MA, tak kunjung membaik. Sepak terjang MA sebagai garda terakhir keadilan kian tidak populer, tercermin dari citra MA di mata publik setahun ini yang cenderung dinilai kian buruk. Putusan terbaru MA yang membebaskan Polycarpus dalam kasus terbunuhnya aktivis HAM Munir, misalnya, kembali menempatkan MA menjadi sosok benteng keadilan yang kontroversial di mata keadilan publik.

Citra kelembagaan MA yang buram akhirnya merembet pada soal integritas MA yang dinilai memang belum berpihak kepada rasa kebutuhan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sebagian besar responden (82,1 persen) masih menyatakan belum tercerminnya rasa keadilan masyarakat dalam berbagai putusan hakim agung MA. Parahnya, gambaran itu tampaknya relatif tak membaik dilihat dari berbagai jajak pendapat sebelumnya.

Seleksi sembilan hakim agung oleh Komisi Yudisial (KY) menjadi salah satu bukti sulitnya mengubah tatanan yang sudah ada di dalam bidang hukum. Proses seleksi hakim agung berjalan riuh dengan berbagai kritikan, baik dari anggota DPR maupun kalangan hakim karier. Dikedepankannya faktor integritas dan moralitas calon demi mengejar hakim agung yang bersih, ternyata membentur berbagai tembok kepentingan.

Aroma persaingan antara KY dan MA maupun dengan DPR dalam menentukan hakim agung membuat proses seleksi menjadi lebih bersuasana politis. Terbukti dari pernyataan Ketua Komisi III DPR yang menyatakan bisa saja hasil seleksi KY semuanya ditolak ataupun diloloskan (Kompas, 28 Oktober 2006).

Terlepas dari kungkungan kepentingan politik berbagai pihak, optimisme responden sebenarnya sedikit beranjak dengan keterlibatan Komisi Yudisial. Lebih banyak responden yang merasa optimistis dengan keterlibatan KY menyeleksi hakim agung daripada yang masih pesimistis.

Sebanyak 49,3 persen responden menyatakan keyakinannya bahwa keterlibatan Komisi Yudisial akan mampu meningkatkan kualitas independensi hakim agung. Namun, masih cukup banyak pula yang pesimistis, sebagaimana ungkapan ketidakpercayaan 41,4 persen responden.

Komisi Yudisial
Diakui publik bahwa keterlibatan Komisi Yudisial yang baru pertama kalinya dalam proses seleksi hakim agung merupakan cerminan beranjaknya proses perekrutan hakim menjadi lebih akuntabel dan transparan.

Jelas dari hitungan logis, kondisi tersebut merupakan kemajuan setelah sebelumnya, pada tahun 2000, seleksi 17 hakim agung masih dilakukan oleh DPR. Fit and proper test yang dilakukan DPR saat itu pun ditengarai memiliki banyak kekurangan, mulai dari kapabilitas penguji dari anggota DPR hingga munculnya kepentingan partisan parpol dalam upaya merebut pucuk pimpinan MA.

Namun, perkembangan tahun 2000 itu masih lebih baik jika dibandingkan dengan situasi sebelum tahun 1998, di mana proses perekrutan praktis didominasi pemerintah dan MA. Khusus untuk Ketua dan Wakil Ketua MA, peran sentral bahkan hanya ada di tangan Presiden (Sebastian Pompe, The Indonesia Supreme Court: Fifty Years of Judicial Development, 1996).

Optimisme ini tampaknya terkait dengan sosok KY yang sejauh ini masih lebih diapresiasi oleh publik ketimbang MA. Jajak pendapat bulan Agustus 2006 mencatat citra MA diapresiasi 26,8 persen, sedangkan citra KY 37 persen. Meski dinilai kerap melakukan langkah yang menabrak kultur kawasan kekuasaan tertentu, sulit dimungkiri bahwa keberadaan KY, seperti halnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), banyak diharapkan masyarakat.

Citra sebagai lembaga baru yang independen dan relatif masih bersih agaknya lebih melekat pada kelembagaan KY.

Di sisi lain, tak dimungkiri bahwa mekanisme yang dipakai KY juga membangkitkan pula kekhawatiran publik. Lolosnya 6 dari 9 bakal calon hakim dari latar belakang bukan hakim membangkitkan pula kesangsian publik terhadap kapabilitas dan pemahaman mereka terhadap tugas yang diemban seorang hakim agung.

Kekhawatiran bakal terjadinya kelambatan penanganan perkara yang sudah menumpuk disuarakan oleh publik. Separuh responden (51,5 persen) menyatakan kekhawatiran itu meski 41,4 persen lainnya merasa tidak khawatir.

Gambaran kekhawatiran lebih besar bahkan dinyatakan 54,6 persen responden terhadap bakal mandulnya hakim agung yang berlatar belakang nonhakim karena tak mampu menahan gelombang persoalan dalam tubuh MA. Pergantian hakim agung di Mahkamah Agung tentu sulit diharapkan menjadi pembalikan wajah sebuah institusi tinggi negara. Masih terbayang dalam benak masyarakat ketika hakim agung yang diangkat pada tahun 2000 merupakan sosok baru yang berasal dari akademisi dan praktisi hukum. Nama-nama Benjamin Mangkoedilaga, Artidjo Alkostar, Valerine JL Kriekhoff, maupun Muladi, menjadi secercah harapan di tengah muramnya sepak terjang MA saat itu.

Penilaian responden pada saat itu antara berharap dan pesimistis terhadap pengangkatan hakim agung yang baru. Jajak pendapat September 2000 mencatat, separuh responden saat itu tidak yakin pendekar-pendekar hukum yang baru itu akan mampu memberantas KKN di lingkungan pengadilan.(Litbang Kompas-Toto Suryaningtyas)

Sumber: Kompas, 6 November 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan