Kesaksian Tertulis Sebagai Alternatif

Dalam sebuah seminar tentang Undang-Undang Perlindungan Saksi, Ketua Badan Legislasi DPR A.S. Hikam merasa tersodok dengan pernyataan salah seorang pembicara. Dugaan bahwa RUU Perlindungan Saksi belum menjadi prioritas pembahasan segera dibantahnya. Tahun ini dibahas 55 RUU dan salah satunya tentang perlindungan saksi, kata politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini. Desakan tentang perlunya undang-undang ini tidak hanya datang dari para pakar hukum, tapi juga dari puluhan lembaga swadaya masyarakat.

Desakan ini makin kuat setelah teror, intimidasi, dan ancaman menimpa para saksi dan pelapor. Bahkan sebagian pelapor balik dijerat sebagai terdakwa. Tentu saja para saksi dan pelapor enggan menyampaikan kesaksian di depan persidangan. Mereka merasa tak dilindungi saat memberikan kesaksian dan memilih bungkam. Jika UU Perlindungan Saksi ini disahkan, keamanan mereka bisa dijamin. Perlindungan ini memang tak hanya ditujukan bagi pelapor, tapi juga bagi korban tindak kejahatan, kata mantan Menteri Kehakiman Muladi.

Untuk menjamin keselamatan saksi atau pelapor, mestinya mereka tidak diwajibkan berhadapan dengan terdakwa dalam persidangan. Bisa dengan kesaksian tertulis di bawah sumpah, kata pengamat hukum Rudi Satryo. Tujuannya agar saksi dan pelapor bebas menyampaikan kesaksian tanpa dihinggapi perasaan takut dan terancam. Karena itu, tak ada salahnya Indonesia melongok model kesaksian di negara lain untuk sebuah persidangan.

Di Amerika, misalnya, ada lembaga khusus yang melindungi para saksi. Berdasarkan UU Reformasi Keamanan Saksi Tahun 1984, Unit Perlindungan Saksi berada di bawah Departemen Kehakiman dalam Divisi Kriminal. Lembaga ini menjalin hubungan kerja dengan lembaga lain seperti jaksa penuntut umum, kejaksaan agung, dan kantor imigrasi di setiap negara federal.

Begitu pula dengan Afrika Selatan. Perlindungan terhadap saksi dilakukan oleh Jawatan Perlindungan Saksi yang bernaung di bawah Departemen Kehakiman. Pola perlindungan ini berdasarkan UU Perlindungan Saksi Tahun 1998. Undang-undang ini juga mengatur hubungan kerja Jawatan Perlindungan Saksi dengan lembaga lain seperti badan intelijen, kepolisian, dan kejaksaan.

Kehadiran lembaga khusus yang menangani perlindungan saksi ini menjadi acuan para saksi dan pelapor suatu perkara. Biasanya perlindungan diberikan untuk saksi kasus pelanggaran hak asasi manusia berat atau korupsi. Pasalnya, saksi dan pelapor kasus ini sering mendapat ancaman kekerasan sampai pembunuhan. Ancaman mencabut nyawa ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Amerika dan Afrika Selatan. Di Indonesia, ancaman seperti itu sudah sering terdengar. Tak aneh jika ada saksi dan pelapor yang memilih mencabut kesaksiannya.

Menurut Romli Atmasasmita, guru besar hukum Universitas Padjadjaran, jika kerahasiaan dan keselamatan saksi bisa dijamin, itu akan membantu lembaga peradilan mendapatkan kesaksian yang sebenarnya. Bagaimana mau bersaksi kalau keselamatannya terancam? katanya. Karena itu, dia mendorong agar saksi tidak perlu berhadapan dengan terdakwa dalam persidangan. Apalagi kesaksian seorang saksi adalah hak dan bukan kewajiban. istiqomatul hayati/arif

Sumber: Koran Tempo, 14 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan