Kesaksian Bagir Manan
Publik kembali dikejutkan dengan kejadian di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yaitu saat para anggota majelis hakim perkara tindak pidana korupsi dengan terdakwa Harini Wijoso walk out meninggalkan persidangan karena memprotes keputusan Ketua Majelis Kresna Menon, yang menolak memanggil dan memeriksa Bagir Manan sebagai saksi sesuai dengan permintaan jaksa penuntut umum.
Kejadian ini menarik karena jarang terjadi. Kejadian tersebut jelas diyakini sebagai imbas dari ketidaksepakatan para anggota hakim terhadap penolakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebelumnya terhadap pemanggilan Bagir Manan sebagai saksi karena dinilai tidak ada relevansinya.
Keputusan Pengadilan Tipikor yang menolak pemanggilan Bagir Manan dan kawan-kawan sebelumnya telah menimbulkan protes keras dari sebagian besar masyarakat. Mereka menilai pengadilan mengabaikan prinsip equality before the law dan banyak pula yang menduga ada intervensi dari Mahkamah Agung (MA). Namun, ada pula yang menanggapinya secara hati-hati dengan menyatakan masalah tersebut harus dikembalikan ke dalam prosedur hukum acara dan etika ketatanegaraan yang berlaku.
Kebenaran material
Hakim adalah orang yang dianggap paling tahu tentang hukum atau dewanya hukum sehingga tidak layak kita mengajari mereka mengenai prinsip-prinsip hukum universal, seperti equality before the law ataupun ketentuan-ketentuan mengenai hukum pembuktian ataupun kewajiban menjadi saksi sebagaimana yang diatur dalam KUHAP. Namun, tidak ada salahnya kita perlu mengingatkan kembali peranan para hakim tersebut di dalam penegakan hukum kita.
Hukum acara pembuktian pidana sudah diatur secara lengkap dalam KUHAP. Dalam kasus tipikor jelas beban pembuktian ada pada jaksa penuntut umum sehingga jaksa dapat dan harus mengajukan saksi- saksi yang menurut mereka dapat memberikan medium pengungkapan kebenaran material. Oleh karena itu, hakim tidak boleh menolaknya. Kewenangan hakim hanya timbul apabila saksi yang diajukan jaksa penuntut umum disengketakan oleh pengacara/lawyer karena suatu sebab tertentu sehingga hakim dengan kewenangannya dapat memutuskan apakah saksi tersebut dapat diperiksa atau tidak. Hal ini berkaitan erat dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel) yang dianut oleh KUHAP kita yang lebih mengedepankan pembuktian untuk tegaknya keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum.
Oleh karena itu demi tegaknya kebenaran sejati, siapa pun dan apa pun yang diajukan sebagai saksi maupun barang bukti, baik oleh jaksa penuntut umum maupun oleh pengacara, seyogianya diperiksa oleh pengadilan. Dalam sistem pembuktian seperti ini, keterangan sesingkat apa pun atau barang bukti sekecil apa pun dapat digunakan untuk mencari kebenaran material yang dapat diwujudkan sebagai alat bukti yang sah menurut KUHAP.
Argumentasi Kresna Menon, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor dengan terdakwa Harini Wijoso mengenai tidak ada relevansi pemanggilan Bagir Manan sebagai saksi adalah kesimpulan sementara hakim yang tidak bisa diterima logika hukum. Karena, faktanya nama Bagir Manan telah disebut-sebut dalam keterangan para saksi lainnya. Keterangan Bagir Manan justru diperlukan untuk mengetahui alur cerita yang terputus dari keterangan saksi Abdul Hamid (Kepala Seksi Perdata MA) mengenai keterlibatan Bagir Manan bersama dua rekannya, Usman Karim dan Parman Suparman, di dalam kasus suap yang melibatkan terdakwa Harini Wijoso.
Momentum perbaikan citra
MA saat ini dipersepsikan oleh publik sebagai lembaga yang tidak reformatif dan tidak memiliki peran yang signifikan di dalam proses pembaruan hukum di Tanah Air. Padahal ironisnya MA adalah benteng terakhir bagi pencari keadilan. Reaksi publik yang dingin terhadap terpilihnya Bagir Manan sebagai Ketua MA merupakan gambaran persepsi publik yang tidak begitu bersahabat terhadap peran MA ke depan. Bagi mereka, MA yang diharapkan menjadi pelopor perubahan ternyata menjadi lembaga yang tidak mau berubah. Tentu hal ini sangat tragis untuk dipahami.
Menurut penulis, persepsi publik tersebut tidak 100 persen benar. Namun, persepsi tersebut akan mendapat legitimasi apabila MA sendiri melalui ketua dan para anggotanya tidak segera memulai membenahi diri untuk memperbaiki citra yang ada. Jikalau kita refleksi ke belakang, sebenarnya ada momentum-momentum penting yang dapat dimanfaatkan oleh Bagir Manan dan kawan-kawan untuk memperbaiki persepsi publik yang buruk terhadap MA. Momentum itu, misalnya, pada saat Bagir Manan dipanggil untuk diperiksa oleh KPK dan/atau pada saat Bagir Manan diminta sebagai saksi di Pengadilan Tipikor. Semestinya Bagir Manan dengan serta-merta bersedia untuk dipanggil dan diperiksa oleh KPK ataupun Pengadilan Tipikor tanpa harus ribut mempersoalkan mengenai prosedur pemanggilan ataupun mengenai relevansi dalam perkara. Karena, dalam kenyataannya, nama Bagir Manan telah menghiasi berbagai surat kabar karena diduga terkait kasus suap di tubuh MA.
Tentu saja kesediaan Bagir Manan akan menjadi medium perbaikan citra dirinya maupun MA. Sebagai pionir dan benteng penegakan hukum dan keadilan, kesediaan dan kehadiran Bagir Manan sebagai saksi merupakan suatu yang monumental bagi upaya penegakan hukum di Tanah Air kita. Namun, sangat disayangkan ternyata, ketika dipanggil oleh KPK, Bagir Manan menolak untuk diperiksa dengan alasan prosedural, sedangkan ketika Pengadilan Tipikor menolak memanggil diri sebagai saksi atas permintaan jaksa Bagir Manan sama sekali tidak bereaksi apa pun sehingga hal tersebut menimbulkan kecurigaan adanya intervensi Bagir Manan selaku Ketua MA terhadap penolakan pengadilan tersebut. Tentu saja hal ini menambah buruk persepsi publik terhadap Bagir Manan selaku pribadi maupun sebagai Ketua MA.
Ajang pembelajaran
Bagi masyarakat awam, menghadirkan Bagir Manan yang dalam kewenangan dan jabatannya merupakan de hoogste judex untuk diperiksa sebagai saksi oleh hakim peradilan di bawahnya adalah suatu hal yang keterlaluan dan dianggap tidak sesuai dengan etika ketatanegaraan. Masyarakat awam tentu saja mempunyai pendapat bahwa tidak pantas de hoogste judex diperiksa oleh hakim di bawahnya ataupun diperlakukan di persidangan sebagai seorang pesakitan oleh jaksa penuntut umum maupun pengacara. Namun, dari sisi penegakan hukum hal itu justru menaikkan citra dan pamor beliau sebagai pelopor penegakan hukum. Bahkan beliau bisa menjadikan persidangan di pengadilan sebagai ajang pembelajaran bagi semua pejabat di negara ini untuk menghormati prinsip equality before the law sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi kita.
Bagi seorang Ketua MA, suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan adalah kesetiaan atas kepentingan apa pun yang melekat dalam dirinya, baik selaku pribadi maupun sebagai Ketua MA, akan berakhir dengan sendirinya ketika dimulainya kesetiaan akan kepentingan dan penegakan hukum (the loyalty to his job ends when his loyalty to law begin). Oleh karena itu, apa pun alasannya kesaksian Bagir Manan dan kesediaannya menjadi saksi adalah bentuk dari harapan masyarakat akan sosok Bagir Manan selaku Ketua MA laiknya sebuah monumen yang berdiri kokoh di tengah terpaan angin bahkan badai sekalipun.
Kita tidak berharap melihat wajah MA kita dalam wujud sebuah patung batu atau tembaga yang tidak bermakna bagi siapa dan apa pun.
AMIR SYAMSUDDIN Praktisi Hukum, Jakarta
Tulisan ini disalin dari kompas, 6 Mei 2006