Kepastian kawasan 48 perusahaan HTI buruk [05/08/04]

Sekitar 70,6 % atau 48 dari 68 perusahaan HTI yang memperoleh izin pembangunan hutan tanaman industri (HTI) memiliki tingkat kepastian kawasan yang buruk terhadap areal konsesinya.

Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Elfian Effendi mengatakan ketidakpastian kawasan itu yang paling utama adalah tumpang tindihnya lahan yang justru menjadi modus pembalakan liar (illegal logging).

Dengan tidak adanya kepastian lahan, mereka bisa melakukan penebangan dimana saja, katanya pada diskusi Praktik Korupsi Bisnis Eksploitasi Kayu, kemarin.

Menurut dia, kondisi ini sengaja diciptakan oleh pemerintahan masa lalu dan merupakan usaha kongkalikong antara pejabat pemerintah dengan pengusaha. Ini merupakan salah satu bentuk praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) agar bisa menebang di luar kawasan konsesinya, tutur dia.

Kondisi kenyamanan seperti itu, menurutnya, sampai sekarang masih dinimati para pengusaha sektor kehutanan. Sehingga kalau mereka mengatakan saat ini iklim usaha sektor kehutanan tidak kondusif sangatlah naif, katanya.

Karena itu dia meminta pemerintah untuk memberi kepastian kawasan yang jelas kepada pengusaha yang berminat mengelola hutan. Upaya yang ditempuh Dephut saat ini dengan melibatkan kalangan LSM dalam pengelolaan hutan bisa menjadi alat pengawasan yang tepat.

Elfian juga menyebutkan selain kondisi diatas, 73,5% dari 68 perusahaan HTI tersebut juga buruk dalam melindungi kawasan konsesinya. Sedang dilihat dari tingkat investasi sebesar 60,3% pemegang konsesi HTI masuk dalam kategori berkinerja buruk.

Elfian juga mengatakan buruknya kinerja pengelolaan hutan tersebut menyebabkan sebagian besar HPH dan HTI harus melakukan reorientasi bisnis. Ini karena sistem eksploitasi kayu yang mereka lakukan terindikasi kuat dilaksanakan melalui 44 modus operandi korupsi, ungkap dia.

Selain memprihatinkan karena hampir 43% pemegang konsesi HPH dan HTI tidak mematuhi kerangka hukum bisnis kehutanan yang lestari, ICW dan Greenomics juga mencatat 39% perusahaan di sektor kehutanan itu juga hanya memenuhi kerangka hukum sepotong-sepotong.

Karena itu, menurut Elfian, presiden terpilih nanti harus mau melakukan reorientasi bisnis kehutanan secara fundamental.

Dia mengatakan saat ini tidak kurang dari 53% HPH memiliki kinerja yang buruk dan 59,2% HTI juga berkinerja buruk. Kondisi itu menunjukkan kultur korporat kehutanan di Indonesia sudah sedemikian parah dan korup terhadap hutan negara.

Parahnya lagi, tegas Elfian, hampir 80% pemegang konsesi HPH memiliki kinerja keuangan yang buruk. Padahal, katanya, tingkat eksploitasi kayu yang dilakukan begitu eksesif dan destruktuif.

Sementara itu, sekitar 70% HPH juga berkinerja buruk dalam pemanenan kayu secara lestari. Karena itu, menurut Elfian, tidak mengherankan jika tingkat investasi dan reinvestasi perusahaan HPH sangat kecil dalam menciptakan sistem pengelolaan hutan produksi lestari.

Dia mengatakan perusahaan HPH juga memiliki kinerja yang buruk dalam mematuhi aturan kesesuaian jatah tebangan dengan tiap tegakan, sehingga sistem silvikultur hanya berlaku di atas kertas. Hasil riset Greenomic dan Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan tidak kurang dari 50% perusahaan HPH yang ada telah melanggar aturan pengelolaan hutan secara lestari.

Akibat ketidakmampuan menerapkan pengelolaan hutan secara lestari, menurut dia, jumlah perusahaan HPH yang pada 1992/93 mencapai 580 unit manajemen dengan total konsesi 61,38 juta hektar, anjlok menjadi 351 unit manajemen HPH dengan luas konsesi 46,51 juta hektar.

Pada April 2004, kata Elfian, jumlah unit manajem HPH tinggal 263 perusahaan dengan luas konsesi 27 juta hektar turun masing-masing 45,3% dari sisi jumlah unit manajemen HPH dan 43,9% dari sisi luas areal konsesi HPH. (dot)

Sumber: Bisnis Indonesia, 5 Agustus 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan