Kepala Polda Metro Jaya Berkeras Tangani Kasus Hamid
Berebut perkara dianggap biasa.
Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Inspektur Jenderal Adang Firman membantah jika dikatakan kasus dugaan sumpah palsu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid ditangani oleh Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Adang memastikan kasus yang diadukan oleh terdakwa korupsi pengadaan segel surat suara Pemilu 2004, Daan Dimara, itu tetap ditangani penyidik Polda Metro Jaya.
Lo, Polda (Metro Jaya) saja bisa (memeriksa), kenapa harus dilimpahkan ke Mabes (Polri), ucap Adang di gedung MPR/DPR, Jakarta, kemarin.
Sebelumnya, Wakil Direktur Reserse Kriminal Markas Besar Polri Ajun Komisaris Besar Tedjo Subagio menyatakan bahwa penanganan kasus itu diambil alih Markas Besar Polri.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Adang Firman juga memastikan bakal memeriksa Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menyidangkan perkara Daan. Hakimnya juga akan dimintai keterangan, katanya. Tapi belum ada rencana memanggil Hamid. Menurut dia, pemeriksaan hakim untuk mengetahui kepastian sumpah palsu yang dilakukan Hamid dalam persidangan.
Namun, juru bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar I Ketut Untung Yoga Ana, menyatakan kasus Hamid sudah dilimpahkan ke Markas Besar Polri. Sewaktu di Komisi III (Komisi Hukum DPR) beliau (Adang) belum menerima laporan ini, ucapnya.
Menurut Ketut, laporan Daan dilimpahkan ke Markas Besar Polri pada 14 September sore, beberapa jam setelah Daan mengadu ke Polda Metro Jaya. Daan kemarin mengaku belum mengetahui pelimpahan itu. Minggu ini akan dibuat BAP (berita acara pemeriksaan di Polda Metro Jaya), katanya kepada Tempo di tahanan Polda Metro Jaya.
Kamis pekan lalu, Daan mengadukan Hamid ke Polda Metro Jaya atas sumpah palsu dalam sidang Daan pada 25 Juli lalu. Daan datang didampingi pengacaranya, Erick Samuel Paat. Sehari kemudian pengadilan memvonis Daan empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta karena tak menjalankan prosedur lelang sesuai dengan ketentuan.
Majelis hakim yang dipimpin oleh Gusrizal menyatakan ada pertemuan yang dipimpin oleh Hamid pada 14 Juni 2004 di kantor Komisi Pemilihan Umum. Bahkan Hamid yang menentukan harga segel surat suara Rp 99 per lembar. Namun, ketika memberikan keterangan dalam sidang, Hamid mengaku tak pernah mengadakan rapat dengan rekanan untuk membahas harga segel.
Pengamat hukum Bambang Widjojanto mengatakan berebut perkara merupakan hal biasa karena kewenangan penanganan perkara antara suatu institusi dan institusi di atasnya diatur mekanisme yang sangat internal dan konvensional. Tak ada standar baku, ujar bekas Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia itu.
Menurut Bambang, posisi Hamid sebagai pejabat negara membuat beberapa institusi hukum ingin menanganinya. Dia mengatakan yang penting pemeriksaan dilakukan segera sehingga diketahui siapa yang bersalah. Jangan dilihat dari perebutan perkaranya. ERWIN DARIYANTO | MUCHAMAD NAFI | BADRIAH
----------
Daan Dimara: Seharusnya Hamid Ditahan
Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, hakim memvonis Daan Dimara 4 tahun penjara dalam perkara korupsi ini.
Akhirnya Daan Dimara melaporkan mantan anggota Komisi Pemilihan Umum, yang kini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaludin, ke polisi. Hamid dinilai memberikan kesaksian palsu di bawah sumpah saat menjadi saksi korupsi pengadaan segel sampul surat suara pemilihan presiden 2004. Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, hakim memvonis Daan Dimara 4 tahun penjara dalam perkara korupsi ini. Berikut ini penuturan Daan kepada M. Nafi dan Purwanto dari Tempo
Bagaimana kabar Anda sekarang?
Baik saja. Tapi istri saya kaget saja karena saya tetap dibilang koruptor. Padahal hakim tak menemukan bukti ada kerugian negara.
Kenapa Anda melaporkan Hamid Awaludin ke polisi?
Mencari keadilan saja. Sebab, berdasarkan KUHP, setiap orang yang memberi kesaksian palsu, di bawah sumpah itu, harus ditahan. Seharusnya Hamid ditahan.
Bukti apa yang mendukung laporan Anda?
Buktinya, keikutsertaan Hamid dalam rapat penentuan harga (pada 14 Juni 2004). Memang tidak ada catatan tertulis karena pertemuan itu bukan pleno. Semua catatan dibuat belakangan. Ini rapat khusus, jadi masing-masing orang yang membuat catatan sendiri.
Ada anggapan tuduhan itu dibuat untuk membidik Hamid?
Berita acara pemeriksaan kami dibuat terpisah. Kesaksian itu datang dari Bakri dan Boradi, keduanya anggota staf KPU. Ada juga anggota staf Untung Sastrawijaya, bos PT Royal Standard, yang mencetak segel. Mereka semua diperiksa terpisah.
Seberapa besar pengaruh keterangan Hamid, yang tidak mengaku sebagai penentu harga, dalam persidangan Anda?
Keterangan itu memberatkan saya di persidangan, seolah saya bertanggung jawab atas penentuan harga segel, meskipun hakim kemudian menyatakan penentuan harga bukan saya yang melakukan. Penentu harga adalah Hamid, jadi itu bukti baru buat kesaksian palsu Hamid.
Anda mengatakan ada manipulasi dalam persidangan Anda?
Di pengadilan, saksi-saksi jelas menyebutkan saya tidak hadir dalam pertemuan penentuan harga. Tapi mereka tetap menggunakan data yang dimanipulasi, yaitu bukti tertulis daftar kehadiran yang ditandatangani semua panitia, termasuk tanda tangan Untung.
Selain Hamid, siapa saja yang Anda laporkan kepada polisi?
Selain Hamid karena keterangan palsu, jaksa juga. Jaksa tidak profesional dan menyebarkan fitnah karena menuding saya koruptor. Saya terbukti tidak merugikan negara, tapi disebut koruptor. Itu fitnah yang luar biasa.
Sumber: Koran Tempo, 19 September 2006