Kepala PN Jakpus Diperiksa Tiga Jam; Soal Kejanggalan Eksekusi Arthaloka

Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat I Made Karna kemarin diperiksa sekitar tiga jam oleh Komisi Yudisial (KY). Dia diperiksa terkait kejanggalan pengeluaran surat penetapan eksekusi sebagian tanah atau seluas 16.600 meter persegi milik PT Arthaloka Indonesia, anak perusahaan PT Taspen, di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.

Made datang pukul 10.45 dan diperiksa hingga pukul 14.30. Usai diperiksa, dia menjelaskan bahwa penetapan eksekusi itu dikeluarkan karena menjalankan perintah Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Harifin A. Tumpa yang saat ini menjadi hakim agung. Saya ini kan orang bawah. Mana berani melawan atasan, kata Made.

Sebelumnya, I Made Karna membuat surat penetapan eksekusi tanah sitaan negara tersebut pada 2004. Padahal, kepala PN Jakpus sebelumnya, Saleh, menyatakan tanah itu tidak dapat dieksekusi karena sitaan negara. Itu sesuai fatwa MA yang ditandatangani Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Mariana Sutadi.

Awalnya, tanah Arthaloka yang total seluas 23 ribu meter persegi disita kejaksaan dalam kasus korupsi rekanan PT Taspen dengan terdakwa Dirut PT Mahkota Real Estate Widodo Sukarno dan Direktur Rudy Pamaputera. Pada 1986 PN Jakpus memvonis keduanya 14 tahun penjara. Proses peradilan hingga peninjauan kembali (PK) tetap menyatakan keduanya bersalah. Dan, tanah itu dinyatakan sebagai tanah negara cq PT Taspen.

Namun, Widodo dan Rudy tidak tinggal diam. Mereka lalu menggugat secara perdata PT Taspen ke PN Jakpus. Gugatan itu dikabulkan. Pada tingkat banding, Taspen menang. Begitu juga di tingkat kasasi. Akhirnya Widodo dan Rudy berhenti.

Setelah kepemilikan PT Mahkota beralih pada adik tiri mantan Presiden Soeharto, Probosoetedjo, kasus tersebut dilanjutkan lagi. Probo tetap berupaya memperoleh tanah itu. Gugatannya dikabulkan sebagian, yaitu tanah untuk lahan parkir seluas 16.600 meter persegi. Di tingkat banding PT Mahkota tetap dimenangkan. Namun, kalah di tingkat kasasi. Saat mengajukan PK, PT Mahkota menang.

Lantas, PT Mahkota mengajukan penetapan eksekusi. Sebelum upaya itu berhasil, MA mengeluarkan fatwa bahwa eksekusi tidak bisa dilakukan karena tanah tersebut non-executable alias tidak dapat dieksekusi. Ini seusai pasal 50 huruf d UU Perbendaharaan Negara Nomor 1 Tahun 2004. Ketua PN Jakarta Pusat saat itu, M. Saleh, lalu mengeluarkan penetapan eksekusi. Namun, saat I Made menjabat, permohonan penetapan dikabulkan.

Seusai diperiksa, Made membantah bahwa penetapan yang dikeluarkannya berlawanan dengan fatwa MA. Perubahan status executable menjadi non-executable itu bisa dilakukan bergantung ada tidaknya temuan baru. Itu berdasarkan fatwa MA juga, katanya.

Dalam kasus ini, lanjut dia, temuan itu berupa klausul bahwa yang berhak memutus hak kepemilikan seseorang adalah hakim perdata. Koordinator Bidang Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim Komisi Yudisial Irawady Joenoes yang memeriksa Made mengatakan pihaknya belum mengambil kesimpulan. Kami masih akan memeriksa Pak Harifin yang saat itu menjadi ketua PT. Beliau sedang naik haji, katanya. (lin)

Sumber: Jawa Pos, 19 Januari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan