Kepala Kepolisian Resor Pelabuhan Tolak Suap Rp 5 Miliar

Kasus penipuan restitusi ini merupakan temuan baru.

Kepala Kepolisian Resor Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan Ajun Komisaris Besar Luki Hermawan mengaku ditawari suap Rp 5 miliar oleh pelaku ekspor-impor fiktif. Bukti awalnya, Saya diberi Rp 250 juta sebagai uang muka, kata Luki di kantornya, Senin lalu.

Uang muka itu diberikan di sebuah rumah makan di kawasan Tanjung Priok, Sabtu pekan lalu. Uang muka tersebut untuk memancing orang yang menyuruh membayarkan suap. Yang membawa uang itu adalah seorang sopir berinisial N, kata Luki.

Pada pertengahan Desember 2005, saat dia berada di Bandung, ditelepon seseorang yang memintanya menutup kasus pemalsuan dokumen. Tapi saya tidak tahu namanya. Orang inilah yang menjanjikan Rp 5 miliar, ujarnya.

Kasus pemalsuan dokumen tersebut kini diungkap Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan (KPPP) bekerja sama dengan tim Penetapan Tindak Pidana Korupsi Markas Besar Kepolisian RI, Kepolisian Daerah Metro Jaya, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Hingga kini sudah 12 tersangka yang ditahan, di antaranya tujuh direktur perusahaan dan komisarisnya, lima calo dan aparat Bea-Cukai Bandung, serta organisasi Pengusaha Pengurus Jasa Kepabeanan Bandung.

Petugas Bea-Cukai itu di antaranya SAR, yang bertugas sebagai pelaksana lapangan dan mengeluarkan dokumen ekspor-impor. Atasan SAR, BA, masih cuti (dari Kantor Pelayanan Bea-Cukai Gedebage, Bandung Timur), kata Luki. Ketujuh pengusaha dan satu sopir tersebut yakni JAS, SUR, SIW, SHE, SUK, SUK, PRA, dan HAN.

Mereka umumnya warga negara Indonesia keturunan India, tuturnya. Para tersangka menggunakan beberapa nama perusahaan, antara lain PT Panca Putra Jaya, PT Sinar Surya Sakti, PT Sinar Putra Mahkota Abadi, PT Asia Citra Cemerlang, dan PT Raimark Eximindo. Di belakangnya ada satu orang, tapi modusnya ganti-ganti orang (PT), Luki menambahkan.

Bahkan pada catatan notaris, ada seorang tukang sapu yang didaftarkan sebagai direktur fiktif. Perusahaan itu terdaftar bergerak di berbagai bidang, antara lain kelontong dan garmen. Mereka mengumpulkan faktur pajak dari berbagai perusahaan dan mengklaimnya untuk restitusi pajak.

Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Inspektur Jenderal Firman Gani mengatakan, akibat modus ini, negara dirugikan sedikitnya Rp 25 miliar. Namun, karena kasus tersebut sudah berlangsung sekitar 10 tahun, Kerugian negara bisa mencapai ratusan miliar rupiah, kata Firman. Para tersangka itu dijerat Pasal 63 KUHP dan Undang-Undang Nomor 31/2002 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Firman menegaskan, kasus penipuan restitusi ini merupakan temuan baru. Alasannya, sejauh ini belum pernah ada kasus semacam itu. Kepala Polri (Jenderal Sutanto) meminta perkara besar ini dituntaskan, kata Firman. Modusnya, lima perusahaan di Jakarta itu terlebih dulu memalsukan dokumen ekspor, seolah-olah ada pengiriman barang ke luar negeri.

Perusahaan menggunakan faktur pajak dari beberapa toko di Bandung. Nomor kontainer ekspor diambil dengan menggandakan nomor kontainer dari perusahaan yang benar-benar melakukan ekspor.

Kelengkapan dokumen ekspor fiktif itu dilampirkan untuk menarik restitusi di Kantor Pelayanan Pajak Bandung. Berkat kerja sama dengan petugas Bea-Cukai, menurut Firman, penarikan restitusi itu berlangsung gampang dan cepat. Uang restitusi ditransfer ke bank atas nama perusahaan tersebut.

Aturannya, sebelum dokumen ekspor dikeluarkan, petugas pajak mengaudit dengan cara mengecek lapangan apakah ada ekspor atau tidak. Prosedur ini rupanya tidak dilakukan. Dari modusnya, ada kemungkinan petugas Bea-Cukai yang terlibat lebih dari satu orang, ujar Firman. IBNU RUSYDI | YULIAWATI

Sumber: Koran Tempo, 11 Januari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan