Kepala Dinas Kehutanan Irjabar Resmi Ditahan

Penyidik Kepolisian Daerah Papua akhirnya menahan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Irian Jaya Barat Marten Luther Rumadas. Menurut Kepala Polda Papua Inspektur Jenderal Dodi Sumantyawan HS, Rabu (9/3), penahanan itu dilakukan karena yang bersangkutan diduga kuat menyalahi prosedur pemberian izin pemanfaatan kayu masyarakat adat atau IPKMA untuk kawasan yang luasnya lebih dari 1.000 hektar. Selain itu, Rumadas juga mengeluarkan izin IPKMA di hutan lindung.

Menurut Dodi, penahanan perlu dilakukan untuk memudahkan pemeriksaan, selain ada kekhawatiran yang bersangkutan akan menghilangkan barang bukti.

Soal kasus Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Papua Marten Kayoi, yang sehari sebelumnya juga sudah ditetapkan sebagai tersangka pembalakan hutan secara ilegal, sampai kemarin masih terus diproses. Yang bersangkutan belum ditahan karena masih dilakukan penyelidikan, kata Dodi.

Ditanya wartawan mengapa hanya kedua pejabat pelaksana teknis yang menjadi tersangka, sedangkan gubernur selaku penentu kebijakan bebas, Kepala Pelaksana Operasi Hutan Lestari II 2005, yang juga Kepala Badan Pembinaan Keamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) Komisaris Jenderal Ismerda Lebang, mengatakan, banyaknya kasus pembalakan hutan ilegal disebabkan kesalahan teknis operasionalisasi IPKMA. Banyak penyimpangan dalam pelaksanaannya. Jika dijalankan secara betul, tidak akan menimbulkan persoalan, katanya.

Prihatin
Dari Jayapura dilaporkan, masyarakat adat Papua prihatin atas tindakan Tim Terpadu Operasi Hutan Lestari II yang menempatkan Kepala Dishut Provinsi Papua Marten Kayoi dan Kepala Dishut Irian Jaya Barat (Irjabar) Marten Luther Rumadas sebagai tersangka. Sebab, keduanya merupakan wakil resmi pemerintah pusat di daerah, yang menjalankan tugas sesuai dengan aturan dalam rangka memperbaiki taraf hidup masyarakat.

Menurut Koordinator Program Pemberdayaan Masyarakat Papua Zadrak Wamebu, tim terpadu tidak memiliki kemauan politik dan keberanian menahan para individu-aparat pemerintah, aparat kepolisian, dan TNI yang dinilai terlibat, serta para cukong kayu yang terbukti melakukan pembalakan hutan ilegal di Papua sesuai dengan hasil investigasi Telapak dan Environmental Investigation Agency (EIA).

Menurut Wamebu, masyarakat adat memiliki IPKMA. Secara sah mereka memegang dokumen perizinan, tetapi dikambinghitamkan, diancam, dan dirugikan secara ekonomi oleh pihak-pihak tim terpadu. Mereka memiliki bukti pembayaran berupa provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR) yang diterima oleh Departemen Kehutanan.

Di Papua ada sekitar 400 koperasi peran serta masyarakat (kopermas) dengan pengurus kopermas empat orang. Kopermas merupakan pengelola IPKMA. Dengan demikian, ada sekitar 1.600 tokoh masyarakat adat akan diproses, seperti Kepala Dishut Papua dan Kepala Dishut Irjabar.

Kami masyarakat adat merasa prihatin dengan tindakan tim terpadu. Para cukong diizinkan pemerintah mendatangi masyarakat adat untuk membawa peralatan berat di dalam konsesi yang tadinya hanya ditebang secara manual. Kemudian izin yang dikeluarkan untuk dan atas nama masyarakat adat dinyatakan telah melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999. Kemudian Kepala Dishut Papua dan Kepala Dishut Irjabar ditetapkan sebagai tersangka. Semua ini membingungkan kami masyarakat adat, siapa sesungguhnya pemerintah yang sah di Papua, kata Wamebu.

Menanggapi keprihatinan masyarakat adat Papua dan berbagai tudingan miring mengenai keterlibatan aparat TNI dan Polri dalam pembalakan ilegal, Lebang menyatakan bahwa proses penyelidikan terhadap kedua pejabat kehutanan itu sudah dilakukan sebelum Tim Operasi Hutan Lestari II 2005 bertugas. Intensifikasi penanganan kasus tersebut, katanya, dilakukan setelah satuan tugas melakukan operasi. Jadi, sepertinya mereka yang diangkat ke permukaan lebih dulu.

Lebang juga mengatakan, perjalanan Operasi Hutan Lestari II 2005 masih panjang dan aparat yang terlibat akan ditindak.

Meski demikian, kemarin di Jakarta, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Aryanto Boedihardjo menegaskan, tidak ada satu pun tersangka kasus pembalakan hutan ilegal yang tertangkap adalah anggota TNI atau Polri.

Dari Malaysia
Berdasarkan hasil penyelidikan, kata Lebang, mayoritas cukong utama pencurian dan penebangan kayu ilegal di Provinsi Irjabar dan Papua adalah warga negara (WN) Malaysia. Mereka melakukan hal itu dengan cara memanfaatkan IPKMA setelah bekerja sama dengan pemerintah daerah.

Dari 14 orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, misalnya, sembilan di antaranya adalah WN Malaysia.

Menurut Lebang, WN Malaysia itu menjadi dalang atau biasa disebut cukong-dalam hal pendanaan atau pemberian modal dalam usaha perkayuan dan penyediaan, serta penggunaan alat-alat berat modern yang harganya bisa sampai miliaran rupiah. Mereka umumnya yang memegang modal usaha perkayuan, juga modal dalam penyediaan dan penggunaan alat-alat berat, katanya.

Sebab, lanjutnya, untuk mengurus izin diperlukan kemampuan keuangan yang luar biasa besar. Para cukong dari Malaysia tersebut juga membangun jaringan internasional pembalakan hutan ilegal, termasuk pengangkutan kayu-kayu ilegal.

Berkaitan dengan banyaknya cukong kayu asal Malaysia, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Kalimantan Timur Luther Kombong dan anggota DPR dari Kalimantan Tengah Permana Sari mendesak pemerintah untuk mengakhiri praktik pencurian kayu dari Indonesia ke Malaysia yang sudah terjadi sejak tahun 1970-an.

Pemerintah, kata keduanya, agar memanfaatkan isu Ambalat untuk menyelesaikan berbagai kasus yang merugikan Indonesia, yang dilakukan negara-negara tetangga, seperti pencurian kayu, pencurian ikan, pencurian pasir, pembuangan limbah beracun, dan perdagangan gelap bahan bakar minyak di lepas pantai. (mas/rts/win/kor)

Sumber: Kompas, 10 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan