Kepala Daerah Korupsi, Siapa Salah?

Saat ini banyak kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota) terjerat berbagai kasus hukum, terutama korupsi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah memberikan izin kepada penegak hukum untuk memeriksa 150 kepala daerah yang diduga terlibat berbagai kasus hukum. Itu jumlah yang sudah ketahuan.

Kenyataan itu sangat memprihatinkan, sekaligus memalukan. Para aktivis antikorupsi, tentu saja, geram atas kenyataan tersebut.

Tetapi, adilkah kita jika menimpakan semua dosa dan kesalahan itu hanya kepada kepala daerah? Bukankah ada banyak pihak lain yang seharusnya ikut bertanggung jawab -paling tidak secara moral- atas maraknya tindak kejahatan tersebut?

Dipaksa Korupsi
Salah satu pembangkit nafsu korupsi bagi kepala daerah selama menjabat adalah besarnya biaya yang sudah mereka keluarkan. Biaya ini merupakan akumulasi sejak mereka bermaksud mencalonkan, biaya selama proses pencalonan, dan biaya-biaya wajib selama mereka menjabat.

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang pemerintahan daerah, seorang calon kepala daerah harus lewat partai politik. Artinya, calon harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Setelah UU tersebut diubah, seorang calon tidak hanya boleh maju lewat partai politik. Bisa juga lewat jalur independen (perseorangan). Tetapi, syaratnya, harus mampu mengumpulkan dukungan 3-6 persen jumlah penduduk di daerah yang bersangkutan.

Nah, mendapatkan rekomendasi pencalonan dari partai politik atau mendapatkan dukungan dengan KTP bagi calon independen tidak gratis. Harga rekomendasi partai bisa miliaran rupiah. "Biaya fotokopi KTP'" sebagai bukti dukungan untuk calon independen bisa ratusan juta rupiah.

Biaya supaya Terpilih
Setelah resmi menjadi calon -lewat partai ataupun jalur independen- dia harus siap mengeluarkan dana besar lagi agar terpilih. Dia harus menjadi dermawan dadakan. Dia harus rajin datang ke kelompok-kelompok calon pemilih. Jika datang ke suatu tempat, dia harus membawa oleh-oleh. Atau, ketika pulang, calon harus ninggali sesuatu di tempat tersebut.

Karena itu, pembaca tidak perlu heran jika ada berita bahwa seorang calon kepala daerah menyumbang sekian miliar untuk kantor sebuah organisasi. Itu hanyalah salah satu bagian dari upaya-upaya seorang calon untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari banyak pihak.

Biaya-biaya itu terus membesar -ibarat sebuah balon yang terus dipompa- selama masa kampanye hingga hari H pemungutan suara. Ada dana taktis untuk serangan fajar. Ada dana untuk saksi dan sebagainya.

Pada saat-saat seperti itu, seorang calon mau tidak mau dituntut mengeluarkan duit banyak. Jika uang pribadinya sudah habis, ya harus pinjam sana-sini. Walau harus dengan bunga tinggi. Itung-itungane mburi (perhitungan belakangan). Calon yang pelit harus rela tersisih. Tidak dermawan, tidak ada dukungan.

Tagihan setelah Terpilih
Jika pasangan calon sudah terpilih, apakah mereka tidak perlu keluar duit besar lagi? Oh, tentu. Ibaratnya, perjalanan masih sangat panjang. Urusan belum selesai sampai di situ. Bak sinetron di televisi, belum ada gambaran ending-nya.

Setelah penetapan calon terpilih, pasangan calon yang tidak terpilih tidak bisa hanya gigit jari. Mereka harus mulai mengalkulasi biaya-biaya yang sudah dikeluarkan dan pinjaman-pinjaman yang sudah mereka lakukan. Jawa Pos memberitakan, ada seorang suami nekat bunuh diri karena diduga tidak kuat menanggung utang istrinya yang kalah dalam pemilihan kepala daerah. (Jawa Pos, 5 Juni 2010).

Lalu, bagaimana calon yang menang alias terpilih? Untuk sementara, bolehlah mereka bereuforia. Bolehlah mereka bersenang-senang. Mereka memang layak senang, bahkan berpesta. Sebab, apa yang mereka idam-idamkan terkabul.

Tetapi, mereka harus siap-siap memenuhi tagihan-tagihan dari pihak-pihak yang merasa berjasa atas kemenangan si calon. Mereka akan memanfaatkan momentum terpilihnya sang jago tersebut untuk menagih aneka janji. Untuk setiap tetes keringat, mereka minta dihitung. Ada yang minta dibangunkan kantor dan sebagainya. Kepala daerah yang tidak pandai merespons tagihan-tagihan tersebut bersiap-siaplah ditinggal pendukungnya.

Kita Harus Bagaimana?
Saya yakin, hampir tidak ada orang yang rela banyak korupsi di negeri ini. Apalagi korupsi tersebut dilakukan oleh ratusan kepala daerah. Tindakan mereka itu jelas salah menurut undang-undang. Dalam perspektif agama, perbuatan itu dosa. Uang rakyat kok dikorupsi. Mereka itu mengkhianati amanat yang sudah mereka beli dari rakyat.

Tetapi, seperti yang sudah saya singgung di bagian awal tulisan ini, adilkah kita jika hanya menyalahkan para kepala daerah yang korup? Tidak perlukah kita (semua) membangun kesadaran baru agar biaya pencalonan kepala daerah tidak harus miliaran rupiah?

Kata orang, gaji resmi kepala daerah -yang halal, yang bukan hasil korupsi- sekitar Rp 10 juta per bulan. Setahun berarti Rp 120 juta. Lima tahun selama menjabat berarti Rp 600 juta. Nah, jika kepala daerah harus menghabiskan biaya pencalonan lebih dari Rp 6 miliar, lalu mereka harus dapat uang dari mana untuk mengembalikan modalnya tersebut?

Padahal, tidak mungkin mereka rela uang miliaran tersebut hilang begitu saja. Apalagi sebagian besar uang itu hasil pinjam sana-sini dengan bunga tinggi. (*)

Mundzar Fahman, mantan wartawan Jawa Pos.
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 21 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan