Kepala Daerah dan DPRD Diduga Terlibat Korupsi Pengadaan Buku

Desentralisasi telah merubah penyelenggara kebijakan pendidikan. Peran pemerintah pusat, terutama Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), yang sebelumnya sangat besar digantikan oleh kepala daerah dan DPRD.

Tetapi keduanya tidak hanya mengganti kewenangan yang telah ditinggalkan, tapi juga mewarisi perilaku korupsi. Dalam pengadaan buku pelajaran, kepala daerah dan DPRD berkolaborasi menghasilkan kebijakan yang korup.

Mereka mengeluarkan surat keputusan DPRD, bupati, atau walikota, yang mengesahkan pengadaan buku oleh penerbit yang belum terakreditasi atau proyek miliaran rupiah tanpa tender.

Demikian pernyataan Ade Irawan dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Rabu (16/2) di Jakarta, ketika memaparkan temuan lembaga tersebut menyangkut korupsi pengadaan buku di Kabupaten Garut, Batang, Sleman, dan Kota Semarang.

Dari empat kasus pengadaan buku pelajaran di Kabupaten Batang, Sleman, Semarang, serta Kota Semarang, ICW menemukan korupsi pengadaan buku diawali kerja sama antara kepala daerah dan DPRD.

Mereka melakukan legalisasi proyek melalui pembuatan semacam lisensi bagi penerbit tertentu. Lisensi yang biasanya berupa surat keputusan dari bupati atau walikota bertentangan dengan aturan di atasnya.

Misalnya di Kabupaten Batang, walaupun pengadaan buku dimonopoli oleh satu penerbit dan tidak termasuk dalam prioritas di APBD, tapi ketika eksekutif meminta persetujuan, DPRD langsung menyetujui.

Kasus yang terjadi di Kabupaten Batang, DPRD menyetujui usulan kepala daerah untuk menyelenggarakan proyek pengadaan buku pelajaran SD hingga SMA, walaupun proyek tersebut tidak terdapat dalam dokumen skala prioritas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) maupun rencana perubahan APBD tahun 2003.

Kemudian, pada tahun 2004 eksekutif dan legislatif Kabupaten Batang juga sepakat melakukan ''pinjaman investasi'' dalam bentuk buku teks wajib senilai Rp. 21 miliar yang akan diangsur selama tiga tahun.

Padahal dalam Peraturan Pemerintah (PP) 107 dinyatakan, pinjaman jangka panjang hanya digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana yang dapat menghasilkan penerimaan untuk membayar kembali pinjaman.

Selain itu, bupati dan DPRD Kabupaten Batang juga melegalkan penunjukan langsung proyek kepada PT. Balai Pustaka. Padahal nilai proyek pengadaan buku tahun 2003 bernilai Rp 7,3 miliar. Dalam Keppres 80 tahun 2003, proyek yang nilainya lebih dari Rp 50 juta harus ditenderkan.

Kasus serupa terjadi di Kabupaten Sleman. Atas permintaan bupati, pada 21 April 2004 pimpinan DPRD mengeluarkan SK nomor 24/K.PIMP.DPRD/2004 yang menyetujui pengadaan buku pelajaran wajib SD, SM SMA. Padahal proses pengadaan buku melanggar Keppres No.80 tahun 2003 karena dilakukan tanpa melalui tender.

Dalam korupsi pengadaan buku, ICW menyimpulkan penerbit menjadi salah satu faktor penting. Dalam pembuatan keputusan, langkah agresif penerbit melakukan pendekatan ke eksekutif dan legislatif, mendorong munculnya keputusan yang korup dalam pengadaan buku pelajaran. Sedangkan dalam pengadaan, seringkali penerbit menyalahi spesifikasi awal proyek dengan menurunkan kualitas buku.

Modus yang paling umum digunakan penerbit adalah dengan menawarkan fee atau potongan rabat yang besar. Kasus yang ditemui di Kabupaten Batang, PT Balai Pustaka berani memberi rabat senilai 20 persen dari proyek pengadaan buku tahun 2003 kepada pemerintah daerah Batang. Akan tetapi rabat yang diberikan oleh penerbit tidak dikembalikan ke kas daerah.

Pada tingkat operasional, lanjut Ade, dinas pendidikan memiliki peran penting dalam pelaksanaan kebijakan perbukuan. Sebagai penanggung jawab penyelenggaraan pendidikan di daerah, dinas pendidikan memiliki kewenangan yang besar untuk menentukan spesifikasi buku yang akan digunakan termasuk ikut memberi pertimbangan untuk menentukan penerbit yang akan menjadi pelaksana proyek.

Kasus block grant buku di Garut menggambarkan bagaimana vitalnya peran dinas pendidikan. Dinas pendidikan menentukan sekolah mana saja yang layak mendapat proyek, sehingga dengan kewenangan tersebut memungkinkan mereka melakukan kolusi dan korupsi. (A-16)

Sumber: Suara Pembaruan, 17 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan