Keniscayaan Financial Hub dalam Teknologi Informasi
Kolom form@t (Kompas, 14/5) mengangkat pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla di acara Asia Pacific Conference and Exhibition on Banking Excellence yang mengingatkan para bankir untuk terus-menerus mengikuti perkembangan teknologi komunikasi informasi.
Lee Hsien Loong (PM Singapura), saat masih menjadi Deputi Perdana Menteri, kepada Parlemen negaranya (12 Oktober 1998) menyatakan, Singapore is strengthening its position as a financial hub in the region.
Dua pernyataan berjarak waktu sembilan tahun tersebut membuat kita termenung. Apalagi, tidak terdapat isu financial hub dalam 16 butir Indonesia ICT Flagship. Kalau rencana dan harmonisasi sektoral saja tidak tampak, bagaimana kita berharap mampu bersaing?
Teknokrasi ekonomi
Perdagangan internasional pada dasarnya tidak terjadi antarnegara, melainkan antarpenduduk di negara berbeda. Internet mampu mendobrak meja birokrasi, yang menghalangi jalur informasi-komunikasi tentang permintaan- penawaran. Tentu, internet sebagai trading hub tidak akan menggantikan fungsi pengantaran fisik barang itu sendiri. Tapi, tidak untuk pembayarannya.
Sistem finansial memperkenalkan mekanisme kliring antarrekening sebagai alat pembayaran. Rekening menjadi alat validitas ketersediaan dana seseorang di institusi keuangan tempat ia menyetorkan fisik uangnya. Rekening sebagai catatan (informasi) telah menjadi obyek teknologi, yakni proses validasi perpindahan rekening antarbank, tanpa membawa fisik uangnya itu sendiri. Karena sifatnya yang IT based, financial hub menjadi infrastruktur dasar perdagangan internasional.
Internet menjadi medium efektif, efisien, dan ekonomis untuk mempertemukan penjual dan pembeli (pasar). Pasar dalam siklus perekonomian dibagi ke dua kelompok besar, yaitu pasar riil dan pasar keuangan. Untuk pasar riil, peranan financial hub sebatas peralihan dana dari pembeli ke penjual, sedangkan pengiriman barang tetap menggunakan pelabuhan.
Sedangkan untuk pasar keuangan, peranan financial hub memiliki dua agenda strategis, yakni jembatan fungsi intermediasi (chanelling, pasar perdana), mempertemukan dunia usaha (sektor riil) bertemu dengan pemilik dana (investor), tanpa dibatasi rigiditas birokrasi lembaga keuangan (batas negara). Dan kedua, menjadi jembatan perdagangan surat berharga (bursa).
Financial hub bagi bursa bukan hanya berfungsi sebagai sistem pembayaran saja, melainkan juga untuk serah terima sekuritas obyek transaksi itu sendiri. Sama dengan uang, bukti kepemilikan telah dijadikan rekening efek (scriptless trading).
Kunci perputaran perekonomian terbuka (pasar riil dan keuangan) adalah terciptanya komunikasi taat asas di antara lembaga keuangan.
Perkembangan internet dan sistem keamanannya telah membawa isu financial hub sebagai infrastruktur kunci daya saing negara. Betapa tidak, dengan internet, yang diperlukan hanyalah komunikasi antarpelabuhan sistem elektronik (protokol) lembaga keuangan.
Ambisi keuangan
Kalau kita kaji, isu financial hub tidak diusung oleh Amerika Serikat, padahal di negeri tersebutlah pusat pasar keuangan dunia serta pebisnis IT. Alasannya, penduduk dan dunia usaha di negara tersebut telah IT minded dan terkoneksi di internet (teledensitas).
Isu di AS bukan jembatannya, tapi standard protocol dan sistem database terbuka dari institusi keuangan. Penyelenggara jasa keuangan harus menjamin terciptanya STP (straight through processing) dari proses alur transaksi secara taat asas.
Sejak diterapkan aturan tersebut (1999), institusi keuangan AS menciptakan pakem baru biaya transaksi murah dan penyelesaian transaksi yang cepat (khususnya di bursa saham). Di titik inilah Inggris merasa tersaingi dan menyadari tingkat penetrasi IT di institusi keuangannya belum semerata AS.
Membangun mimpi Amerika sama dengan investasi IT yang besar di masing-masing perusahaan keuangan. Itulah titik awal terminologi financial hub sebagai institusi bergerak di teknologi infrastruktur keuangan.
Prinsipnya sederhana, hanya satu perusahaan yang membangun infrastruktur lalu dipakai ramai-ramai. Hal itu dikarenakan konsep jaringan data warehouse memungkinkan pengaplingan area IT antarinstitusi secara ngontrak.
Konsep itu menjadi sentral, setiap negara berambisi memiliki institusi financial hub, dengan keinginan kuat agar institusi keuangan di negara lain dapat pula menjadi penyewa.
Cakram negeri jiran
Kembali ke ucapan Lee (1998), maka kita perlu mewaspadai langkah Singapura. Ada dua isu legalitas digunakannya infrastruktur financial hub di suatu negara. Yaitu, pertama, memiliki izin sebagai penyelenggara jasa keuangan, dan kedua, memiliki izin sebagai network service provider. Tak heran, dari 2002-2005 Singapura membeli bank-bank dan Indosat.
Sebelum divestasi dilakukan, terjadi transaksi silang saham di anak perusahaan Indosat dan PT Telkom, di sana Indosat mengambil Lintas Arta (LA). Hal itu dikarenakan LA bergerak di jasa ICT sevices perbankan Indonesia, dan anak perusahaanya bergerak di jasa ATM Bersama. Saat ini, bank BUMN pun terkoneksi ke jaringan ATM Bersama tersebut.
Yang penting dicermati adalah pembeli Indosat dan berbagai bank (BII, Danamon, NISP, Buana) ujungnya BUMN Singapura (Temasek). Artinya, ini strategi persaingan antarnegara karena dijalankan oleh BUMN- nya.
Agresivitas dengan strategi serupa dilakukan oleh Malaysia melalui BUMN-nya (Khasanah) membeli Bank Niaga dan Lippo serta Excelcomindo.
Tidak ada yang salah dengan negeri jiran, yang salah pemimpin kita tidak becus ngurus harmonisasi sektoral. Mana ada visi BUMN kita sejauh ini? Di saat negeri jiran sudah ekspansif, adalah keniscayaan ICT Flagship pun tidak menetapkan financial hub sebagai target.
Melakukan liberalisasi financial hub tanpa membangunnya hanya akan mengakibatkan semakin jauhnya fungsi intermediasi bagi akses kegiatan ekonomi rakyat kebanyakan.
Betapa tidak, yang dikejar adalah biaya transaksi. Itu sebabnya, transaksi di BEJ seperti banjir (rata-rata Rp 3,5 triliun sehari), yang disinyalir dua per tiganya dari Singapura. Bisa dibayangkan fee yang diterima institusi keuangan Singapura.
Bank yang mayoritas sudah dimiliki asing tidak akan memikirkan akses rakyat kecil dari Sabang sampai Merauke ke arus modal riil. Hal itu terlihat dari topangan laba perbankan (2002- 2006) bersumber dari fee based income dan treasury (financial hub ekonomi perkotaan).
Bagaimana dengan kontrol lalu lintas devisa? Wow, ternyata kita termenung dan berpikir, itulah sebabnya financial hub menjadi agenda strategis karena ujungnya menyangkut kedaulatan negara!
Yanuar Rizky Analis Independen, Forum Aspirasi Indonesia
Situs Web: www.elrizky.net
Tulisan ini disalin dari Kompas, 21 Mei 2007