Kendala Reformasi Birokrasi

MEMASUKI usia 40 tahun pada 29 November ini, Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) ditantang lebih berperan mendorong reformasi birokrasi yang cenderung berjalan lambat. Korpri yang dibentuk dengan Keppres Nomor 82 Tahun 1971 sebagai satu-satunya wadah menghimpun dan membina seluruh pegawai negeri memiliki tanggung jawab moral dalam mendorong perbaikan birokrasi pemerintah.

Organisasi beranggotakan tidak kurang dari 4,7 juta pegawai negeri itu diharapkan mampu berkontribusi menyelesaikan berbagai masalah di tubuh birokrasi, seperti inefiensi, kelambanan, ketidakramahan, dan beragam stigma negatif lain yang hingga saat ini masih sering menjadi sorotan publik.

Sayang, potensi sangat besar ini acapkali berhadap-hadapan dengan kondisi yang tidak kondusif, yang cenderung menghambat upaya reformasi birokrasi. Pertama; faktor keteladanan pemimpin. Pimpinan birokrasi sesungguhnya berperan penting menentukan keberhasilan reformasi. Namun, tidak banyak kita temukan pemimpin yang memiliki konsep jelas dan kemauan keras mereformasi.

Bahkan sebaliknya kadang pemimpin (khususnya pejabat politik) mengobok-obok netralitas birokrasi. Aparat birokrasi dimanfaatkan sebagai barisan pendukung pejabat tertentu saat pemilu/ pilkada. Ironisnya, birokrasi (Korpri) tidak berdaya menghadapi tekanan politik semacam itu.

Kedua; faktor budaya. Birokrasi yang mewarisi budaya feodal sejak zaman kerajaan hingga penjajahan dan tetap bertahan pada era Orde Baru, tidak mudah dibawa memasuki paradigma baru menuju birokrasi (administrasi publik) modern.

Hal itu terbukti dari masih menjamurnya praktik pungli, sogok/ suap, laporan asal bapak senang (ABS), boros anggaran, dan pelayanan publik asal-asalan. Tugas Korpri mereformasi budaya birokrasi tampaknya tidak mudah dan tidak bisa instan mengingat budaya itu telanjur mengakar kuat.

Ketiga; faktor kualitas pegawai. Kualifikasi dan kompetensi birokrat harus diakui masih cukup jauh dari harapan yang berdampak pada rendahnya kinerja pegawai. Moratorium penerimaan PNS semestinya menjadi titik tolak menata kepegawaian. Pertanyaannya, sudah siap dan mampukah Korpri mengawal proses penerimaan, penempatan, dan pengembangan karier pegawai secara transparan dan objektif pada masa depan?

Keempat; buruknya sistem. Upaya mereformasi birokrasi sering terhalang oleh sistem yang berlaku yang kurang mendukung perwujudan birokrasi ideal. Contohnya, sistem penggajian (remunerasi) belum maksimal untuk mendorong peningkatan kinerja. Antara pegawai yang berprestasi dan yang tidak atau antara yang berdisiplin dan yang bermalas-malasan memperoleh gaji dan perlakuan relatif sama.

Uji Eksistensi
Walaupun ada seperangkat regulasi untuk menata sistem, implementasi peraturan itu masih jauh panggang dari api. Contohnya, meski sudah lebih dari setahun UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik diundangkan, faktanya kualitas pelayanan kepada masyarakat belum menggembirakan.

Sejumlah kenyataan itu menjadi beban berat Korpri untuk mewujudkan reformasi birokrasi. Kompleksitas persoalan tersebut tidak bisa diselesaikan sendiri dan Korpri memerlukan keterlibatan pihak lain (termasuk Presiden) untuk menuntaskan agenda reformasi birokrasi.

Sebagai langkah awal, eksistensi Korpri perlu diuji dari bagaimana organisasi ini menjalankan fungsinya sebagai pelopor dalam meningkatkan kesejahteraan dan profesionalisme anggota; melindungi dan mengayomi anggota; penyalur kepentingan anggota; dan sebagai pendorong dalam meningkatkan taraf hidup sosial ekonomi masyarakat dan lingkungan.

Selain itu; diuji dalam fungsinya sebagai pelopor dalam menyukseskan program pembangunan nasional; dan mitra kerja yang aktif sebagai organisasi pekerja dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan instansi sesuai dengan ketentuan.

Apabila fungsi-fungsi itu hanya pajangan alias miskin realisasi maka peran Korpri layak dipertanyakan. Kita berharap Korpri tak hanya memperjuangkan kepentingan anggota namun juga berkontribusi mendobrak hambatan reformasi birokrasi. Untuk itu, setidaknya organisasi harus mereformasi diri lebih dahulu sebelum mereformasi  keseluruhan. Dengan berpegang teguh pada integritas dan Panca Prasetya, diharapkan Korpri makin eksis dan disegani.  (10)

Didik G Suharto, dosen Administrasi Negara FISIP UNS Surakarta
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 29 November 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan