Kementerian Pertahanan Didesak Jelaskan Pembelian Sukhoi

Polemik pembelian enam unit pesawat jet tempur Sukhoi 30MK2 belum menemukan titik terang. Pemerintah diminta memberikan keterangan terbuka terkait proyek pengadaan pesawat dengan anggaran USD 470 juta tersebut.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak Kementerian Pertahanan segera membuka proyek pembelian Sukhoi, mulai penganggaran, negosiasi, kontrak, hingga pelaksanaan. Ada sejumlah kejanggalan yang belum terjelaskan.

Direktur program Imparsial, Al Araf, mengatakan, salah satu hal penting yang harus dibuka adalah alasan penggunaan skema kredit komersial dalam pembelian Sukhoi. Skema kredit komersial ini cenderung merugikan negara, karena menetapkan bunga pinjaman yang lebih tinggi sesuai rate pasar,  jangka waktu pengembalian lebih pendek hanya 2-5 tahun, dan membebankan biaya bank. Padahal, ada mekanisme pembelian yang lebih sesuai, yakni menggunakan skema kredit antarnegara.

Dalam perencanaan awal, pembelian 6 unit Sukhoi itu pun diusulkan melalui kredit antarnegara. Namun dalam perkembangannya, Kementerian Pertahanan justru mengajukan pembayaran melalui skema kredit komersial, sebagaimana disebutkan dalam surat nomor R/96/M/III/2011 yang ditujukan kepada Kepala Bappenas.

"Kami mencurigai pengalihan skema pembayaran dari kredit antarnegara menjadi kredit komersial ini dilakukan semata-mata untuk membuka peluang bagi perantara untuk masuk," tegas Al Araf dalam konferensi pers di kantor Imparsial, Jakarta, Rabu (23/5/2012).

Kemenhan diminta bersikap transparan dan akuntabel dalam proyek peremajaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) ini. Wahyudi Jafar dari Elsam menekankan perlunya penelusuran terhadap perantara dalam pengadaan Sukhoi ini, PT Trimarga Relatama.

"Siapa orang di balik PT Trimarga? Mengapa bisa masuk dalam sejumlah proyek pengadaan Alutsista di Kemenhan?" Tukas Wahyudi.

PT Trimarga Rekatama menjadi perantara antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Federal Rusia karena pembelian Sukhoi dilakukan melalui kredit komersial. Jika pengadaan dilakukan melalui kredit antarnegara, maka peran perantara bisa dieliminasi.

KPK diminta menelusuri siapa pemilik PT Trimarga, dan mencari relasinya dengan pihak-pihak yang diduga berkepentingan.

Sementara itu, peneliti Divisi Investigasi ICW Tama S Langkun menyoroti minimnya monitoring dari Komisi I DPR RI yang membidangi Pertahanan.

"Menjadi tantangan bagi KPK dan DPR. Ada bentuk ketidak transparanan dari penyelenggara proyek sekaligus pengawasan yang lemah. Apakah Komisi I punya performa invoice, pembahasan negosiasi, kontrak, serta informasi detail pengadaan Sukhoi? Seharusnya DPR tidak hanya garang ketika meneliti anggaran KPK, tapi juga lembaga lainnya," pungkas Tama. Farodlilah

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan