Kemampuan Hukum

Keterpurukan, karut-marut, dan lain-lain potret negatif, yang sering dialamatkan kepada hukum di negeri ini, justru menjadikan Indonesia sebagai laboratorium hukum dan masyarakat par exellence.

Di sini tampil pergulatan antara hukum dan aneka kekuatan lain di masyarakat. Kita didorong untuk mengajukan berbagai pertanyaan kritis, tajam, dan mendasar mengenai tempat dan bekerjanya hukum dalam masyarakat.

Kita berbicara tentang keadaan luar biasa, suasana darurat, dan lainnya. Tentu saja itu membutuhkan respons aksi luar biasa dan progresif. Jika kita tetap menjalankan hukum secara ”biasa-biasa”, itu bukan jawaban tepat untuk menghadapi keluarbiasaan itu.

Indonesia
Indonesia tidak dalam keadaan ”biasa-biasa” (normal), di mana hukum (legislatif, eksekutif, yudikatif) sudah menjadi pekerjaan rutin seperti mesin.

Keadaan di Indonesia amat berbeda. Hukum bagai duduk di atas bara api. Setiap saat hukum seperti mengalami referendum, hukum yang selalu digugat. Hukum bukan lagi mesin otomaton yang bekerja linier, tetapi institut yang penuh gejolak. Suasana bergejolak itu mencerminkan adanya sesuatu yang kurang dalam menjalankan hukum. Orang menggeruduk masuk ruang sidang pengadilan, berteriak, marah, bertepuk tangan. Hakim dikejar-kejar dan harus menyelamatkan diri. Kepercayaan dan penghormatan terhadap hukum amat rendah.

Saat orang berpaling kepada hukum, maka yang dilontarkan adalah aneka pertanyaan ketidakpuasan, seperti ”di mana hukum?”, ”apa yang selama ini dilakukan?”, ”apakah hukum masih berguna?”. Hukum Indonesia benar-benar sedang digugat.

Berbagai pertanyaan tajam itulah yang mengantar Indonesia menjadi laboratorium par exellence. Kita didorong untuk memikirkan kembali tempat dan bekerjanya hukum di masyarakat. Interaksi antara hukum dan politik, ekonomi serta sosial tampak nyata (manifes). Sekalian pertanyaan itu harus dijawab.

Kita harus berani memberi solusi, dengan keluar dari pemikiran konvensional. Terbuka peluang besar untuk berpikir dan bertindak ”di luar pakem” atau out of the box thinking. Apakah penegakan hukum sekadar menerapkan teks? Tidak! Secara progresif kita harus menguji sampai sejauh mana kemampuan teks itu. Pengalaman di Indonesia menunjukkan, para koruptor lolos karena kita lebih bermain-main dengan teks.

Penegakan hukum bukan menerapkannya bak mesin. Penegakan hukum melibatkan effort, memeras energi, pikiran, dan keberanian untuk menjelajahi lorong-lorong lain dan secara progresif menguji batas kemampuan hukum.

Hukum bukan hanya teks, di baliknya menyimpan kekuatan. Undang-Undang Korupsi menyimpan kekuatan untuk memberantas korupsi. Meski demikian, kekuatan itu tidak serta-merta terbaca, tetapi kita perlu secara progresif menggali dan memunculkannya. Dalam kata- kata Paul Scholten, ”het is in de wet, maar het moet nog gevonden worden” (ia sudah ada dalam undang-undang, tetapi masih harus ditemukan/dimunculkan).

Keberanian menguji
Para jaksa dan hakim merupakan garda terdepan untuk secara progresif berani menguji sejauh mana batas kemampuan undang-undang itu (testing the limit of law). Penegakan hukum adalah usaha (effort) untuk memunculkan kekuatan/ kemampuan hukum. Ini membutuhkan keberanian, energi, imajinasi, dan kreativitas. Hukum akan menjadi lebih ”bergigi” jika penegak hukum berani menyelam lebih dalam, menemukan kekuatan hukum terpendam itu.

Jika hakim agung Bismar Siregar lebih memilih keadilan daripada undang-undang, sebenarnya ia telah melakukan pengujian terhadap batas kemampuan hukum. Keadilan yang tertimbun teks harus dimunculkan kembali. Hakim agung Adi Andojo Soetjipto berani mengambil risiko untuk menguji batas kemampuan undang-undang saat mendakwa sejawatnya melakukan kolusi. Hakim tinggi (saat itu) Benyamin Mangkudilaga menambah panjang barisan hakim yang tidak sekadar menerapkan undang-undang secara harfiah, tetapi berani menguji batas kemampuan hukum saat mengalahkan pemerintah dalam kasus majalah Tempo.

Menghadapi krisis sekarang ini, rupanya kita perlu mengubah cara kita berhukum dari ”membaca-dan-menerapkan- teks” menjadi penegakan hukum progresif yang ”menguji-batas-kemampuan- teks”. Mudah-mudahan, dengan perubahan cara berhukum menjadi progresif, kepercayaan dan penghormatan terhadap hukum dapat dipulihkan.

Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Undip, Semarang

Tulisan ini disalin dari Kompas, 12 Agustus 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan