Keluarga Soeharto Menang
Yayasan dihukum, tapi pengurusnya tidak.
Yayasan dihukum, tapi pengurusnya tidak.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemarin menolak gugatan negara terhadap mantan presiden Soeharto dalam kasus dugaan penyelewengan dana Yayasan Supersemar. Karena itu, hakim ketua Wahjono membebaskan Soeharto dari tuduhan perbuatan melawan hukum.
Kasus ini bermula setelah tim pengacara negara dari Kejaksaan Agung menggugat Soeharto US$ 420 juta dan Rp 185 miliar. Kejaksaan menuduh yayasan yang dipimpinnya menyalurkan dana secara tak sah ke sejumlah perusahaan, seperti Sempati Air, Bank Duta, Kiani Lestari dan Kiani Sakti, serta kelompok usaha Kosgoro. Penyaluran dana itu diduga bisa terjadi karena Soeharto waktu itu masih menjadi presiden.
Majelis mengakui penyaluran dana itu melanggar aturan. Uang yayasan tidak boleh dibisniskan untuk pinjaman atau penyertaan modal, kata Wahjono. Namun, majelis tak menemukan kesalahan Soeharto. Itu tidak terbukti, kata Wahjono.
Anggota majelis hakim Aswin Nurcahyo mengatakan, sebagai pendiri dan ketua yayasan, Soeharto mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada pengurus yayasan. Karena itu, majelis membebankan kesalahan itu kepada Yayasan Supersemar.
Itulah sebabnya, yayasan diwajibkan mengganti kerugian kepada pemerintah. Nilai ganti rugi yang dibebankan adalah 25 persen dari tuntutan ganti rugi yang diajukan negara, atau sekitar US$ 105 juta dan Rp 46 miliar.
Menurut logika majelis, ganti rugi 25 persen itu sesuai dengan asas kepatutan. Dalilnya, yayasan tak hanya mengandalkan sumber dana pemerintah. Lembaga lain, seperti Garuda Indonesia, Dirjen Kehutanan, Astra Internasional Jakarta, dan Otorita Asahan, ikut mengguyur kas Yayasan Supersemar.
Jelas uang yayasan yang digunakan berbisnis tidak semuanya berasal dari pemerintah, kata Aswin.
Majelis juga memerintahkan agar yayasan menagih dananya dari beberapa perusahaan yang telah menikmati.
Tim kuasa hukum ahli waris Soeharto menyambut putusan itu dengan wajah cerah. Kami menang mutlak, kata Otto Cornelis Kaligis, salah seorang kuasa hukum ahli waris penguasa Orde Baru itu.
Namun, Yayasan Supersemar tak menerima putusan itu. Kami banding, kata Juan Felix Tampubolon, kuasa hukum yayasan.
Menurut Juan Felix, setiap dana yang sudah masuk ke yayasan, penggunaannya pun menjadi hak yayasan.
Pengacara negara yang diketuai Dachamer Munthe belum menyampaikan sikapnya. Prinsipnya, hakim sependapat dengan dalil penggugat bahwa terjadi penyalahgunaan dana yayasan, katanya.
Anggota tim jaksa pengacara negara, Yoseph Suardi Sabda, menilai putusan itu aneh. Kenapa cuma badan hukum yang dijatuhi hukuman, kok pengurusnya tidak, katanya. Menurut Yoseph, badan hukum tak bisa berdiri sendiri jika tanpa pengurus.
Ahli hukum perdata Universitas Padjadjaran, Bandung, Isis Ikhwansyah, sependapat dengan Yoseph. Badan hukum ada karena ada pengurus, katanya.
Dia mengatakan, jika badan hukum melakukan perbuatan melawan hukum ke luar--dalam kasus Yayasan Supersemar, yang dirugikan adalah negara--pengurus harus bertanggung jawab. Jika mengakibatkan kerugian, maka tanggung jawabnya adalah pengurus secara pribadi, katanya. NURLIS E MEUKO | RINI KUSTIANI | EKA UTAMI APRILIA
--------------------
Vonis Setengah untuk Soeharto
Sidang yang ditunggu-tunggu sejak Agustus 2007 itu akhirnya menghasilkan vonis. Kemarin pengadilan memutuskan Soeharto tidak bersalah. Namun, Yayasan Supersemar mesti membayar seperempat uang yang dikucurkan secara salah atau US$ 105 juta (Rp 1,25 triliun) dan Rp 46 miliar. Dana itu mengalir ke sejumlah perusahaan terkait dengan Soeharto. Inilah mereka:
PT Bank Duta
Bank swasta terbesar kedua di Indonesia saat terkena kasus valas pada 1990. Pemilik saham mayoritas Bank Duta adalah tiga yayasan Soeharto, yaitu Supersemar, Dana Abadi Karya Bakti (Dakab), dan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais).
US$ 420,002 juta
PT Sempati Air
Maskapai ini milik Tommy Soeharto alias Hutomo Mandala Putra dan Nusamba (Bob Hasan).
Rp 13,171 miliar
PT Kiani Lestari dan PT Kiani Sakti
Perusahaan perkayuan Bob Hasan.
Rp 150 miliar
PT Kalhold Utama, Essam Timber, dan PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri
Perusahaan perkayuan Bob Hasan.
Rp 12,744 miliar
Kelompok Usaha Kosgoro
Perusahaan yang memiliki dan mengelola PT Wisma Kosgoro.
Rp 10 miliar
Dana yang Dibelokkan
Seluruh bank pemerintah menyetor 5 persen laba bersih untuk Yayasan Supersemar. Dari setoran itu, sebanyak US$ 420 juta (kurs sekarang sekitar Rp 3,8 triliun) dan Rp 185,91 miliar dibelokkan untuk sejumlah perusahaan yang terkait dengan Soeharto atau kroninya. Pengadilan kemarin hanya memutuskan meminta Supersemar mengembalikan kepada negara seperempat saja.
Naskah : Setri Yasra | nurkhoiri
Sumber : Dokumen Gugatan Negara Republik Indonesia terhadap Soeharto (9 Juli 2007)
Sumber: Koran Tempo, 28 Maret 2008
------------
Anak-Anak Soeharto Lolos
Kasus Korupsi, Pengadilan Hanya Hukum Pengurus Yayasan Supersemar
Upaya hukum untuk mengembalikan uang negara dari keluarga mantan Presiden Soeharto (alm) berakhir sia-sia. Dalam sidang kemarin (27/3), PN Jakarta Selatan membebaskan lima ahli waris Soeharto dari segala kerugian negara dalam kasus korupsi dana Yayasan Supersemar.
Lima ahli waris itu adalah Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi (Titiek), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek). Sedangkan Tommy Soeharto menolak menjadi ahli waris dalam kasus Supersemar.
Majelis hakim yang diketuai Wahjono membeberkan, Soeharto selaku ketua yayasan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pribadi karena telah melaporkan pertanggungjawaban kepada yayasan dan di hadapan Sidang MPR 1998. Sebagai pengurus yayasan, dia (Soeharto) telah membuat laporan pertanggungjawaban, ujar Wahjono yang didampingi hakim Aswan Nurcahyo dan Eddy Risdianto.
Hakim berpendapat, pengurus yayasan justru yang terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. Mereka dapat dimintai pertanggungjawaban membayar kerugian materiil sebesar 25 persen dari total nilai gugatan, yakni USD 105,727 juta dan Rp 46,479 miliar.
Emerson Yuntho, ketua bidang Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, menilai bahwa putusan tersebut menguatkan bahwa upaya perdata kasus Supersemar merupakan persidangan pura-pura. Soeharto dan kroni-kroninya menjadi tak tersentuh lagi, kata Emerson saat dihubungi koran ini kemarin (27/3). Putusan tersebut, lanjut Emerson, telah diperkirakan sejak kejaksaan menghentikan penuntutan pidana melalui penerbitan SKPP (surat ketetapan penghentian penuntutan).
Menurut Emerson, ketidakseriusan penanganan kasus Supersemar terlihat ketika jaksa pengacara negara (JPN) tidak menyita seluruh aset Soeharto dan yayasan. Padahal, upaya perdata selalu diikuti sita jaminan alias conservatoir beslag (CB).
Di tempat terpisah, Ketua Ombudsman Nasional (KON) Antonius Sudjata menilai, kejaksaan telah gagal atas upaya hukum kasus Soeharto. Kejaksaan seharusnya tidak menempuh upaya perdata karena pewarisan gugatan tidak dikenal. Gugatan itu sejak awal sudah diprediksi lemah, jelas Antonius, yang mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus).
Selain itu, lanjut Antonius, putusan tersebut dapat dibenarkan karena mengacu pada UU Yayasan. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan, apabila ketua tidak dapat dipertanggungjawabkan, dapat dialihkan kepada pengurus lain, jelasnya.
Meski demikian, kejaksaan harus menempuh upaya banding apabila putusan tersebut dianggap cacat. Saya kira, satu-satunya jalan, kejaksaan harus banding, ujar Antonius.
Gayus Lumbuun, anggota Komisi II DPR (membidangi hukum), menolak mengomentari isi putusan kasus Soeharto. Kalau putusannya demikian, ya begitulah, jelas Gayus. Anggota Fraksi PDIP itu juga menolak menyimpulkan bahwa putusan tersebut merupakan cermin kegagalan kejaksaan mengembalikan kerugian negara dalam kasus Supersemar.
Melanggar Kepmenkeu
Kasus Yayasan Supersemar memang rumit. Yayasan itu didirikan untuk memberi beasiswa kepada para mahasiswa yang tak mampu. Soeharto lantas menerbitkan PP 15 Tahun 1976 dan Kepmenkeu No 333/KMK.011/1978, yakni meminta BUMN menyerahkan keuntungan 2,5 persen dari laba bersih. Nah, inilah salah satu sumber dana beasiswa itu.
Dalam perjalanannya, sebagian dana disalahgunakan. Dana yang seharusnya untuk pendidikan itu dipinjamkan atau dimasukkan pernyataan modal ke sejumlah perusahaan milik kroni Cendana. Di antaranya, PT Kiani Sakti, PT Sempati Air, kelompok usaha Kosgoro, PT Bank Duta, PT Kalhod Utama, Essam Timber, dan PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri (lihat grafis).
Sebagian besar dana yang diberikan ke perusahaan itu tak kembali. Negara lantas menggugat kerugian USD 420 juta dan Rp 185 miliar. Soeharto sebagai ketua yayasan menjadi tergugat utama.
Walaupun jaksa menganggap dana Yayasan Supersemar dari negara yakni potongan laba BUMN, majelis hakim berpendapat sebagian dana yang disalurkan bukan dari pemerintah.
Hakim juga menganggap yayasan telah menyalurkan sebagian uang yayasan sesuai peruntukan selama 1975 hingga 2007. Di antaranya, beasiswa Rp 206,76 miliar untuk 413.530 mahasiswa, beasiswa Rp 156,77 miliar untuk siswa SMK, beasiswa Rp 6,98 miliar untuk 835 ribu atlet, dan bantuan beasiswa Rp 42,8 miliar untuk anak asuh SD.
Menurut Wahjono, dengan bercampurnya uang untuk beasiswa dan keperluan sosial, sepantasnya uang pemerintah yang masuk dalam yayasan hanya 25 persen dari total nilai gugatan USD 420 juta dan Rp 185 miliar. Karena itu, majelis hanya mewajibkan pengurus yayasan mengganti kerugian 25 persen dari total nilai gugatan. Anak-anak Soeharto sendiri terbebas.
Bukan hanya itu. Keluarga Cendana juga bebas dari tuntutan membayar kerugian immaterial. Majelis menolak nilai kerugian immaterial Rp 10 triliun, karena tidak ada hitungan jelas berapa mahasiswa (calon penerima beasiswa) yang dirugikan akibat penyalahgunaan tersebut, jelas majelis hakim.
Seusai sidang, jaksa pengacara negara (JPN) Dachmer Munthe menilai aneh putusan tersebut. Majelis tidak dapat menjadikan alasan pertanggungjawaban di depan MPR sebagai penghapus perbuatan melawan hukum. Itu kan bersifat politis yang berbeda dengan pertanggungjawaban hukum, ujar Dachmer. Karena itu, kejaksaan memastikan mengajukan banding atas putusan tersebut.
Meski demikian, Dachmer menghormati putusan tersebut. Apalagi, lanjut Dachmer, itu dianggap mengabulkan dalil perbuatan melawan hukum sesuai pasal 1365 KUH Perdata. Gugatan saya sudah terbukti. Masalah nilai uangnya, itu (urusan) nanti. Kami benarin itu. Kalau kita, inginnya semua dong, USD 420 juta, jelasnya.
Terpisah, pengacara Soeharto, Juan Felix Tampubolon, mengatakan, tim pengacara tidak sependapat dengan putusan tersebut. Kami juga ajukan banding, ujar Juan Felix.
Dia menganggap putusan hakim berbeda dengan sejumlah materi eksepsi yang diajukan tim pengacara. Salah satunya, penggunaan uang negara, meski hanya 25 persen dari total USD 420 juta dan Rp 185 miliar. Dari fakta persidangan kan sudah jelas bahwa klien kami dan yayasan tidak pernah menggunakan uang negara, tetapi putusan hakim lain. Jadi, kalau kami harus mengembalikan uang negara, kami melihat bahwa negara tidak punya kepentingan apa-apa. Negara kan bukan sebagai pihak, beber Juan Felix.
Selain itu, lanjut Juan Felix, penggunaan uang yayasan untuk swasta dibenarkan sesuai anggaran dasar (AD) yayasan. Dia juga menolak pendapat hakim yang menyebut pengurus yayasan melanggar PP No 15 Tahun 1976. PP itu kan di bawah undang-undang. Sedangkan yayasan selama ini sudah bergerak sesuai undang-undang, jelas Juan Felix yang didampingi M. Assegaf, Denny Kailimang, dan O.C. Kaligis.
Pengurus Yayasan Mengaku Heran
Di tempat terpisah, Humas Yayasan Supersemar Herno Sasongko mengaku heran atas putusan pengadilan yang menghukum pengurus yayasan mengembalikan kerugian negara senilai 25 persen dari total nilai gugatan USD 420 juta dan Rp 185 miliar. Saya juga hadir dalam sidang, tetapi hakimnya bingung, menghitungnya dari mana bisa dapat hanya 25 persen uang negara yang masuk ke yayasan, jelas Herno.
Menurut dia, total aset yayasan Rp 600 miliar yang dikelola pengurus. Uang tersebut berasal dari sisa pengucuran pemerintah dan sejumlah perusahaan swasta. Sejak 1998, kami sudah tidak dapat kucuran lagi bantuan dari pemerintah, ujarnya.
Sejak berdiri 1975 silam, lanjutnya, total uang yang disalurkan untuk beasiswa mencapai Rp 400 miliar.
Herno menambahkan, pengurus yayasan justru bersyukur atas putusan tersebut. Sebab, Soeharto tidak dibebani kerugian negara. Kalau pengurus sendiri masih menunggu. Sebab, putusannya kan belum final, kami akan ajukan banding, tegas Herno.
Usai pembacaan putusan hakim, katanya, seluruh pengurus yayasan tidak menggelar pertemuan untuk menyikapi isi putusan. Kami biasa-biasa saja. Yayasan Supersemar kini hanya diurus oleh Sekretaris Abdurrahman dan Bendahara Subagyo. (agm/tof)
Sumber: Jawa Pos, 28 Maret 2008