Kelatahan Pembangunan Gedung DPD
Di tengah hujatan dan penolakan yang datang bergelombang dari berbagai kalangan masyarakat atas rencana pembangunan gedung Dewan Perwakilan Rakyat yang menelan anggaran hingga Rp 1,3 triliun, diam-diam Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Daerah tengah mempersiapkan proyek pembangunan gedung anggota DPD di semua provinsi di Indonesia. Informasi sementara yang diperoleh, alokasi anggaran untuk satu provinsi mencapai Rp 15 miliar. Jika dikalikan dengan jumlah provinsi di Indonesia yang mencapai 33, total biaya pembangunan gedung DPD bisa menembus angka Rp 495 miliar.
Sekretariat DPD sudah merancang desain gedung dengan melibatkan konsultan manajemen konstruksi tanpa diketahui secara luas oleh publik mekanisme pelelangannya. Hal ini serupa dengan perencanaan gedung DPR yang tiba-tiba saja desain konstruksinya sudah tersedia. Publik juga hingga saat ini belum mengetahui berapa miliar rupiah yang sudah digelontorkan oleh Sekretariat DPD untuk membayar jasa konsultansi tersebut.
Desain gedung DPD berlantai empat dengan luas bangunan 2.000 meter persegi lebih itu terasa mengejutkan karena kelak tiap anggota DPD akan memiliki satu lantai kantor singgah yang luas. Padahal kantor itu tidak akan secara permanen ditempati oleh anggota DPD. Anggota DPD hanya akan berkantor di provinsi dalam sesi kunjungan kerja ke daerah, yang jumlah kedatangannya bisa dihitung dengan jari. Sementara itu, masalah lainnya, desain tersebut sangat mungkin melanggar ketentuan yang berlaku, di antaranya peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang pedoman teknis pembangunan gedung negara.
Dibandingkan dengan rumah aspirasi yang sempat penulis kunjungi di Afrika Selatan beberapa waktu silam, kondisinya sangatlah kontras. Desain rumah aspirasi salah satu anggota DPR nasional dari partai berkuasa, Partai Kongres Nasional Afrika, sederhana: hanya rumah satu lantai dengan tembok seperti rumah warga pada umumnya dengan fasilitas kursi, meja, lemari, dan komputer seperti kantor setingkat kelurahan. Namun itu menjadi sumber penting bagi konstituen untuk menyampaikan aspirasinya. Di rumah aspirasi itu, ditempatkan satu anggota staf yang bekerja penuh waktu untuk mencatat dan menerima seluruh komplain atau masukan dari konstituen, jika kebetulan wakil rakyatnya tidak berada di tempat.
Memburu rente
Tampilan atau casing seharusnya tidak menjadi pokok dalam pengambilan kebijakan publik. Kesan mewah, glamor, dan mahal yang harus selalu dikaitkan dengan posisi atau jabatan publik tertentu justru sering kali menistakan esensi dari jabatan publik itu sendiri. Pertanyaan sederhana yang bisa diajukan, mengapa desain gedung harus empat lantai untuk empat anggota DPD setiap provinsi? Haruskah setiap anggota DPD memiliki ruang kerja sementara di setiap lantai? Mengapa tidak cukup satu lantai dan dipartisi menjadi empat ruang kerja, sehingga anggarannya bisa dihemat untuk kepentingan publik yang lebih urgen? Meskipun tidak harus hiperbolis seperti yang disampaikan Nudirman Munir, anggota DPR Komisi III dari Fraksi Golkar yang kutipannya masih bisa diingat: "Apa kita harus tinggal di gubuk reot juga, becek-becekan juga?"
Sesungguhnya kemewahan gedung pejabat publik dan peningkatan kinerja bukanlah rumus matematika. Gedung mewah bukan berarti kinerja bagus. Sebaliknya, jika gedung bagus dimaksudkan untuk mendorong kinerja, ini adalah argumentasi palsu yang di belakangnya terdapat kepentingan lain yang lebih besar.
Memaksimalkan anggaran publik untuk kepentingan yang tidak relevan dengan peningkatan kualitas pelayanan publik, seperti pembangunan gedung di atas, mengindikasikan kuatnya watak pemburu rente dari pihak-pihak yang berwenang mengalokasikan anggaran tersebut. Proyek besar selalu dilegitimasi dengan dalih sudah menjadi keputusan bersama, sehingga bisa berjalan secara legal. Adapun yang legal kadang kala justru merupakan strategi untuk membuat keputusan yang korup bisa dianggap tidak bermasalah.
Apa pun proyeknya, apakah relevan dengan kepentingan publik luas atau tidak, jika sudah menjadi keputusan, disetujui dalam rapat pembahasan, dinyatakan dalam dokumen pejabat, ditandatangani dan diberi stempel resmi, akan kuat legitimasinya. Legitimate-tidaknya sebuah kebijakan publik tidak dilihat dari sisi ada-tidaknya resistensi publik, melainkan dalam selembar keputusan resmi. Padahal, dalam selembar keputusan resmi, banyak menyimpan rahasia di baliknya: siapa yang mengusulkan, dari mana datangnya, kepentingan pengusaha mana yang diuntungkan, dan lain sebagainya. Sungguh miris, proses pengambilan kebijakan publik telah dikepung oleh segelintir kelompok pemburu rente yang memiliki akses luas kepada pejabat pengambil kebijakan publik. Karena itu, wajah anggaran publik kita merupakan wajah dari berseliwerannya para pemburu rente.
DPD = DPR?
Kini, dengan rencana pembangunan gedung DPD, citra anggota DPD yang relatif tidak seburuk anggota DPR akan mengalami nasib yang kurang-lebih sama. Dicemooh oleh publik karena dianggap tidak peka, tidak sensitif, dan lupa akan nasib konstituennya karena lebih mementingkan kepentingan mereka sendiri. Bisa dikatakan mustahil jika pemimpin DPD atau anggota DPD tidak mengetahui usul pembangunan gedung di atas. Namun hingga detik ini tidak banyak suara yang menolak proyek ambisius tersebut.
Bagaimana mungkin anggota DPD akan mendapatkan dukungan publik yang luas untuk memperkuat wewenang mereka yang hingga kini masih terus diperjuangkan, sementara di sisi lain mereka diam-diam menggerus anggaran publik untuk membangun "istana raja"? Terlepas ada pihak-pihak tertentu yang "bermain" atau "bermanuver" sehingga muncul proyeksi untuk membangun gedung DPD di provinsi, publik akan menempatkan anggota DPD sebagai pihak yang harus bertanggung jawab.
Tak pelak rasa hormat publik yang lebih tinggi kepada anggota DPD harus segera diselamatkan. Pemimpin DPD harus segera mengambil langkah cepat untuk melakukan pengkajian ulang atas usulan "nyeleneh" ini sebagai bagian dari usaha mempertahankan kepercayaan publik terhadap lembaga ini. Pihak Sekretariat Jenderal DPD perlu dimintai keterangan yang detail atau jika perlu membentuk tim khusus untuk melacak dan mengidentifikasi dari mana usul pembangunan gedung DPD dengan maket yang supermewah itu datang.
Meskipun berada satu area, yakni Senayan, DPD perlu mempertahankan sikap yang lebih peka terhadap kritik publik. Mumpung waktu masih ada, anggota DPD bisa mengambil inisiatif untuk menolak rencana pembangunan gedung tersebut. Jangan sampai gelombang protes melalui berbagai media, entah demonstrasi, caci maki di situs jejaring sosial, maupun kritik lainnya, bukan lagi menjadi monopoli anggota DPR, tapi sudah merambah ke anggota DPD. Kita tentu tidak ingin DPD kemudian dibelokkan menjadi Dewan Pemburu Duit.
Adnan Topan Husodo, WAKIL KOORDINATOR INDONESIA CORRUPTION WATCH
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 23 April 2011