Kelalaian Pejabat Mestinya Masuk Revisi KUHP

Kelalaian pejabat negara atau kelalaian pegawai negeri yang menimbulkan kerugian rakyat seharusnya dimasukkan dalam hukum materiil, yaitu revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Selama ini rakyat yang dirugikan akibat kelalaian pejabat negara atau pegawai negeri sipil dalam menjalankan fungsinya tidak bisa berbuat apa-apa meskipun sampai berjatuhan korban.

Hal ini diungkapkan Staf Ahli Bidang Hukum Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Menneg PAN) Nurmadjito, dalam diskusi Negara Amburadul karena Hukum Dipecundangi yang digelar Komisi Hukum Nasional (KHN) di Jakarta, Rabu (22/11). Pembicara lain adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Boediono. Acara dipandu pakar hukum tata negara Fajrul Falaakh.

Nurmadjito mengatakan, beberapa tahun lalu di kawasan Jalan Kapten Tendean, Mampang Prapatan, ada gorong-gorong yang terbuka dan membuat seorang warga terperosok dan meninggal dunia. Ini kan sebuah kelalaian karena gorong-gorong itu terbuka, tetapi meski ada korban jiwa ternyata tidak ada seorang pejabat pun yang bertanggung jawab atas kelalaian tersebut, kata Nurmadjito.

Di KUHP, lanjut Nurmadjito, ada 42 pasal soal kejahatan dan pelanggaran jabatan. Saat pembahasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebanyak 70 persen dikualifikasikan ke dalam UU Pemberantasan Tipikor.

Di Belanda saja ditemukan pasal-pasal yang mengatur soal kelalaian itu. Hal-hal menyangkut kelalaian pegawai atau pejabat itu ditambahkan ke dalam KUHP, kata Nurmadjito.

Ia menambahkan, pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia terbentur lima kondisi hukum. Hal itu adalah masih banyak UU yang menyebabkan egosektoral, UU banyak yang bias sehingga mudah disalahgunakan pejabat maupun pegawai negeri bergantung pada keinginannya, banyak UU yang ternyata minim mengatur pelanggaran jabatan, UU kepegawaian yang ada minim mencantumkan sistem reward dan punishment, serta perlu revisi UU Tata Usaha Negara.

Boediono menjelaskan bahwa birokrasi tidak mungkin dengan sukarela memperbaiki dirinya sendiri. Oleh karena itu, perlu ada stimulus dari luar. Sebaiknya perlu ada komisi tertinggi yang dibeking kekuasaan tertinggi, yaitu presiden, papar Boediono. (VIN)

Sumber: kompas, 23 November 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan