Kekayaan Rachman Naik Rp 290 Juta

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemarin merilis data terbaru berisi harta kekayaan sejumlah menteri dan pejabat tinggi pada era kabinet Presiden Megawati. Salah satunya adalah kekayaan mantan Jaksa Agung M.A. Rachman.

Seperti diketahui, pada September 2002, Rachman pernah terseret dalam permasalahan hukum. Dia dilaporkan ke Mabes Polri oleh KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara). Dia dituduh menggelapkan kekayaan berupa kepemilikan rumah mewah di kawasan Graha Cinere serta deposito senilai Rp 800 juta.

Karena itu, publikasi harta Rachman tersebut seolah menjawab gonjang-ganjing seputar kekayaan mantan pejabat berdarah Madura tersebut. Publik ingin mengetahui jumlah sesungguhnya kekayaan yang dimiliki Rachman. Apakah jumlahnya sudah ideal bagi dia yang bekerja sebagai penegak hukum itu?

Kemarin, KPK membeberkan total kekayaan Rachman. Setelah tidak menjabat menteri, kekayaan Rachman hanya mengalami kenaikan sekitar Rp 290 juta dibandingkan laporan kekayaannya saat diangkat menjadi menteri. Dari LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara) yang masuk ke KPK pada 28 Februari 2005, total kekayaan Rachman senilai Rp 2,463 miliar. Saat kali pertama menjabat jaksa agung pada 2001, kekayaannya Rp 2,173 miliar.

Rachman tidak menampakkan diri dalam pengumuman LHKPN tersebut. Sehingga, penyebab perubahan kekayaannya pun menjadi sulit dikonfirmasi. Tidak diketahui alasan ketidakhadiran Rachman, apakah berada di kediamannya di kawasan Tebet, Jakarta, atau tinggal di tanah kelahirannya di Sumenep.

Dalam jumpa pers kemarin, terlihat, antara lain, Jacob Nuwawea (eks Menakertrans), Kwik Kian Gie (eks Men PPN/kepala Bappenas), serta Manuel Kaisiepo (eks Men Percepatan Pembangunan Kawasan Indonesia Timur). Pejabat KPK yang hadir adalah Wakil Ketua KPK Sjahruddin Rasul serta Direktur Pendaftaran dan LHKPN Mochamad Jasin.

Kekayaan Manuel Kaisiepo juga meningkat. Jika pada 2001 hartanya Rp 1,286 miliar, pada 1 Maret 2005 naik menjadi Rp 1,742 miliar. Harta kekayaan mantan Menhub Agum Gumelar juga naik dari Rp 8,854 miliar dan USD 368.846 (2001) menjadi Rp 11,053 miliar dan USD 370.346 (28 Februari 2005). Kekayaan mantan Menakertrans Jacob Nuwa Wea pada 2001 Rp 1,036 miliar, naik menjadi Rp 1,461 miliar pada 28 Februari 2005.

Kekayaan mantan Men PPN/Ketua Bappenas Kwik Kian Gie justru turun. Jika pada 2001 total kekayaannya Rp 7,877 miliar, pada 10 Desember 2004 berkurang menjadi Rp 7,416 miliar. Atau turun sekitar Rp 400 juta.

KPK juga mengumumkan harta kekayaan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin. Pada 2003, total kekayaan Hamid mencapai Rp 754,71 juta. Pada akhir Desember 2004, angka tersebut naik menjadi Rp 890,11 juta.

Jacob Nuwa Wea menjelaskan kenaikan kekayaannya. Menurut Jacob, kenaikan itu antara lain berasal dari penghasilan sebagai menteri. Gaji seorang menteri sekitar Rp 19 juta per bulan. Selain gaji menteri, masih ada dana taktis untuk operasional Rp 100 juta per bulan, jelasnya. Jacob mengatakan, sebagian gaji sebagai menteri juga disisihkan untuk kader partai, aktivis buruh, bahkan LSM yang menyodorkan proposal.

Kaisiepo mengatakan hal serupa. Pria yang pernah menjadi wartawan ini pernah didatangi rombongan mahasiswa asal Indonesia Timur yang meminta duit untuk menggelar pertemuan nasional. Bahkan, yang tidak mengenakkan, mahasiswa tersebut mengancam akan menduduki rumah Kaisiepo bila tidak memberikan sumbangan dana. Dia pun akhirnya mengalah. Banyak permohonan dana dalam proposal yang datang, padahal kantor kementerian yang saya pimpin tidak punya proyek, ujar Kaisiepo.

Untunglah, kata Kaisiepo, para menteri tinggal di rumah dinas, sehingga biaya sehari-hari seperti telepon dan air ditanggung negara. Kami pun bisa sedikit menghemat, tambahnya.

Namun, tidak semua menteri bisa menghemat dan menambah nilai kekayaan. Kwik Kian Gie, misalnya. Kekayaan mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas itu malah turun. Penurunan itu, antara lain, karena pengeluaran Kwik dalam aktivitasnya selaku menteri sering diambilkan dari dana pribadi. Misalnya, saat berkunjung ke Jepang untuk urusan kenegaraan, dia justru membeli tiket atas nama pribadi. Tapi nggak apa-apa. Hitung-hitung pengabdian untuk negara, kata Kwik.

Kwik datang ke Kantor KPK untuk mengklarifikasi kesalahan nilai kekayaan yang tercantum dalam LHKPN miliknya yang telah diumumkan KPK pada 24 Februari 2005. Pada LHKPN 2001, Kwik tercatat memiliki kekayaan sebesar Rp 7,877 miliar. KPK pada 24 Februari 2005 melaporkan nilai kekayaan Kwik naik menjadi Rp 12,07 miliar. Padahal, sebenarnya nilai kekayaan Kwik Rp 7,416 miliar.

Menurut M. Jasin, direktur Pendaftaran dan LHKPN KPK, kesalahan tersebut terjadi karena Kwik tidak mencantumkan nomor rekening tabungannya. Dengan demikian, menurut sistem perhitungan pada komputer KPK, rekening yang tidak terdapat nomornya tersebut akan dijumlahkan dengan rekening pada laporan kekayaan terakhir. Jadi, ada semacam kesalahan double counting pada perhitungan kekayaan Kwik sebelumnya, jelas Jasin.

Empat Menteri Belum Lapor
Sementara itu, KPK juga mengumumkan bahwa empat menteri atau pejabat setingkat menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu belum memperbaiki formulir model KPK-B pada LHKPN. Karena itu, KPK belum dapat mengumumkan kekayaan mereka kepada masyarakat.

M. Jasin menyebutkan, empat menteri atau pejabat setingkat menteri tersebut adalah Menko Polhukam Widodo A.S., Menlu Hassan Wirayuda, Menakertrans Fahmi Idris, dan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh.

Laporan kekayaan mereka sudah masuk ke KPK, namun ada yang harus diperbaiki. Kami sudah lebih dari dua minggu menghubungi mereka untuk segera menyerahkan perbaikannya. Bahkan, kami juga menawarkan bantuan kepada mereka untuk mengisi formulir yang harus diperbaiki. Tetapi, sampai saat ini belum ada jawaban, kata Jasin.

Hingga 14 Maret 2005, KPK telah mengumumkan kekayaan 31 menteri dan pejabat setingkat menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Sementara itu, mantan menteri dan pejabat setingkat menteri pada Kabinet Gotong Royong yang belum menyerahkan LHKPN adalah mantan Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim dan mantan Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil.

KPK juga melaporkan, di antara 550 anggota DPR RI, sebanyak 61 orang masih menunggu perbaikan pengisian formulir dari jenis A ke jenis B atau sebaliknya. Sebanyak 30 orang lagi tidak memenuhi persyaratan ketentuan pengisian karena tidak ada tanda tangan, tidak bermaterai, atau tidak mengisi nilai kekayaan.

Sementara itu, di antara total 128 orang anggota DPD, terdapat 8 orang yang harus memperbaiki LHKPN-nya karena kesalahan pengisian formulir, 7 orang tidak memenuhi persyaratan ketentuan pengisian, dan 16 orang belum melaporkan kekayaannya. Mereka berasal dari DKI Jakarta, Irian Jaya Barat, Kalimantan Tengah, Maluku Utara, Papua, Sulawesi Tenggara, dan Sumatera Barat. (agm)

Sumber: Kompas, 15 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan