Kejati Sulawesi Tenggara Tangani 30 Kasus Korupsi [15/08/2004]

Terhitung sejak Januari hingga Agustus 2004, jumlah kasus korupsi yang sedang ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara mencapai 30 kasus. Total kerugian negara akibat kasus korupsi itu diperkirakan mencapai Rp 50 miliar lebih atau hampir setengah dari total Pendapatan Asli Daerah (PAD) provinsi itu tahun 2003 yakni Rp 130 miliar.

Dari 30 kasus korupsi itu sekitar 70 persen
diantaranya sudah masuk dalam tahap penuntutan.
Sisanya masih dalam proses penyidikan, kata Kajati
Sulawesi Tenggara Antasari Azhar kepada Tempo News Room di Kendari, Minggu (15/8).

Menurut Kajati, nyaris seluruh pelaku atau tersangka
dari 30 kasus korupsi itu adalah pejabat pemerintahan
baik di tingkat provinsi maupun kabupaten baik yang
masih aktif maupun yang pensiun. Dari fakta ini
terlihat bahwa kesadaran pejabat publik di
pemerintahan untuk mengelola uang negara di Sulawesi
Tenggara masih sangat rendah.

Selain itu, faktor kurang profesionalnya pejabat
publik dalam mengelola kekayaan sumber daya alam (SDA)
juga ikut menjadi pendorong terciptanya peluang
korupsi. Salah satu contohnya adalah korupsi dana
pengganti dari hasil lelang kayu jati illegal di
Kabupaten Muna yang saat ini kasusnya masih sedang
disidangkan di pengadilan negeri setempat.

Mantan Kapuspenkum Kejagung itu mengatakan, rata-rata
kasus korupsi yang sedang ditangani instansinya itu
kejadiannya berlangsung sekitar dua atau tiga tahun
yang lalu. Kondisi itu mengakibatkan kejaksaan sedikit
mengalami kesulitan dalam mencari barang bukti saat
sedang melakukan pengusutan.

Salah satu kasus teranyar yang saat ini tengah
ditangani kejaksaan adalah dugaan penggelembungan dana
rutin Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Kota Kendari yang melibatkan 25 anggota DPRD setempat.
Selain tudingan mark up, para anggota dewan yang
terhormat itu juga diduga kuat telah melakukan
kegiatan studi banding fiktif.

Secara umum, kata Antasari, sulitnya pengusutan kasus
korupsi adalah karena para pelakunya kebanyakan
memiliki latar belakang pendidikan yang cukup tinggi.
Berbekal pendidikan itu, para pelaku begitu piawai
melakukan aksi-aksi korupsi sehingga nyaris tak
tercium aparat kejaksaan.

Sepintas tak nampak kalau itu adalah korupsi. Nanti
setelah diteliti, baru kelihatan korupsinya, kata
Kajati.

Sumber; Tempointeraktif, 15 Agustus 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan