Kejanggalan Sidang Praperadilan Budi Gunawan

Kejanggalan Sidang Praperadilan Budi Gunawan

Sidang praperadilan yang dilayangkan Budi Gunawan (BG) dinilai banyak kejanggalan. Beberapa ahli hukum dan guru besar hukum berpendapat seharusnya hakim menolak sejak pertama dilakukan gugatan karena bukan domainnya. Selain itu sah atau tidaknya penetapan tersangka bukanlah objek praperadilan. Berikut beberapa pendapat yang diutarakan oleh para akademis hukum dan guru besar.

Menurut, Dosen Hukum Pidana Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan mengatakan terkait lembaga praperadilan apakah memiliki kewenangan untuk memeriksa jika dilihat pada pasal 77 KUHAP jelas di sana tidak ada kewenangan praperadilan terkait dengan penetapan tersangka. Namun, jika melihat pasal 95 KUHAP ada klausul tindakan lain. Dalam hal ini maksud dari tindakan lain ialah menginterprestasikan tindakan lain harus melihat apa tujuan praperadilan, dengan tujuan mengawasi tindakan-tindakan penyidik untuk menghindari kesewenangan-wenangan.

“Dalam hal ini tindakan penyidik terkait dengan upaya paksa seperti penangkapan, penggeledahan, dan lainya,” kata dia.

Menurutnya, apakah upaya penetapan tersangka merupakan kategori upaya paksa. Dalam katagori upaya paksa segala upaya yang dilakukan oleh penyidik dalam hal merampas hak asasi serta kemerdekaan seseorang.  Kesimpulanya tindakan penyidik KPK dalam rangka penetapan tersangka tidak masuk dalam kualifikasi upaya paksa. Pasalnya, bukan karena kualifikasi upaya paksa maka lembaga praperadilan harus memutus dahulu kewenangan dalam pemeriksaan gugatan, karena jika masuk dalam pembuktian kemudian diputus menjadi tidak berwenang dan tidak logis.

Selain itu, beberapa kekeliruan dalam permohonan yang dilakukan oleh BG dan kuasa hukumnya bahwa penetapan tersangka KPK selanjutnya tidak sah. Karena proses praperadilan bukanlah proses peradilan yang umumnya menetapkan sebuah perkara nebis in idem (perkara yang sama tidak bisa diadili dua kali oleh siapapun).

Pendapat yang mengatakan bahwa BG bukanlah kualifikasi penegak hukum dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) juga keliru. BG jelas merupakan seorang penegak hukum, dalam KUHAP disebutkan penyidik adalah polisi tanpa mengenal kepangkatan tertentu.

“Oleh sebab itu, karenanya polisi mendapat tunjangan fungsional sebagai penegak hukum.  Atas dasar tersebut BG masuk dalam katagori penegak hukum,” ujarnya.

Terakhir,  jika sidang permohonan sidang praperadilan diterima maka akan menimbulkan dampak yang signifikan dalam hukum pidana di Indonesia. Keputusan ini akan menjadi preseden bagi orang lain yang telah ditetapkan tersangka untuk maju melakukan gugatan praperadilan.

“Jika terjadi maka menjadi beban yang luar biasa berat bagi lembaga peradilan karena sudah pasti semua penetapan tersangka akan di praperadilankan. Ini akan berdampak cukup signifikan terhadap efektifitas dan efisiensi proses penegakan hukum di Indonesia,” tegas dia.

Penegasan lainya juga di utarakan oleh Dosen Hukum Pidana Universitas Andalas, Shinta Agustina yang mengatakan gugatan praperadilan yang diajukan BG seharusnya tidak diterima oleh pengadilan. Hal ini disebabkan lembaga praperadilan tidak memiliki kewenangan dalam mengadiliapa yang digugat oleh pemohon (Budi Gunawan). Menurt dia, pemhon yang mendalilkan cacat hukum penetapan tersangka disebabkan BG tidak pernah di panggil dan diperiksa dalam kasus tersebut baik pada tahap penyelidikan dan penyidikan.

“Logika ini tidak tepat, pasalnya KUHAP tiddak mewajibkan sesorang saksi atau calon tersangka harus diperiksa terdahulu sebelum ditetapkan menjadi tersangka. Yang jelas, KUHAP menyatakan bahwa dapat ditetapkan sebagai tersangka jika dipenuhi bukti permulaan yang cukup / dua alat bukti yang memadai,” paparnya.

Maka, keterangan sanksi tidak relvan. Karenanya, jika penyidik merasa yakin dan cukup dengan alat bukti yang dimiliki dapat segera menetapkan seseorang sebagai tersangka. Dan diketahui alat bukti berupa keterangan tersangka berada dalam urutan terakhir dalam alat bukti. Sehingga tidak diperlukan lagi keterangan tersangka dalam penetapan tersangka.

“Kalau saya menjadi hakim praperadilan, saya tidak akan menerima gugatan tersebut karena bukan kewenangan saya,” tegasnya.

Terakhir, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Eddy OS Hiariej mengatakan, dilihat dari sifat formalistiknya hukum acara pidana maka seyogyanya gugatan tersebut harus ditolak. Karenanya, hal tersebut bukan kompetensi praperadilan terkait penetapan tersangka. Dalam hal ini, ada prinsip hukum acara pidana yang harus jelas, tegas, dan tidak boleh diinterpetasikan lain dari yang tertulis.

“Artinya apa yang diatur dalam hukum acara pidana tidak boleh diinterpetasikan lain dari yang ditulis, sehingga penetapan tersangka jelas bukanlah objek praperadilan,” ucapnya.

Menurutnya, jika menggunakan interpretasi futuristik dan due process of law (upaya proses hukum sesuai ketentuan) penetapan tersangka tidaklah sembarangan karenanya harus diverifikasi dengan alat bukti yang ada. Selama KPK bisa membuktikan alat bukti tidaklah menjadi masalah.

Namun, faktanya memang lembaga praperadilan sering mengabulkan apa yang bukan objek praperadilan. Dengan diterimanya kasus gugatan BG di lembaga praperadilan, sidang yang sudah masuk dalam pembuktian menjadi indikasi diterimanya gugatan.

“Jika menolak harusnya praperadilan dari awal sudah tidak menerima gugatan disaat kuasa hukum menyampaikan gugatan dan KPK memberikan jawaban atas gugatan. Logikanya buat apa hakim mengahbiskan wkatu memeriksa pembuktian jika bukan kompetensinya dan harus menolak gugatan,” paparnya.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan