Kejanggalan Proses Hukum Kasus BI

Press Release Indonesia Corruption Watch No. 01/PR/ICW/II/08

Kejanggalan Proses Hukum Kasus BI

Kasus dugaan korupsi BI telah memasuki tahapan baru ketika KPK menentukan tiga tersangkanya, yakni Burhanudin Abdullah (BA), Rusli Simandjuntak (RS) dan Oey Hoey Tiong (OHT). Secara umum, meningkatnya proses hukum kasus BI ke tahap penyidikan adalah suatu kemajuan yang dilakukan KPK. Namun tuntutan dari publik saat ini supaya KPK menyelesaikan kasus itu tanpa pandang bulu, dan tidak berhenti pada tiga tersangka tersebut. Setidaknya semua pejabat BI yang ikut memutuskan dana Rp 100 M, pihak pengelola dan pihak-pihak lain yang menerima aliran dana tersebut.

Dari sisi penetapan tersangka, hanya tiga orang yang secara resmi telah diumumkan oleh KPK, yakni BA, RS dan OHT. Mengapa hanya BA yang diajukan tersangka semenetara anggota Dewan Gubernur yang lainnya tidak dijadikan tersangka, KPK karena BA dinilai sebagai pihak yang terlibat dalam persetujuan penggunaan dana YPPI senilai 100 Miliar, sekaligus sebagai pihak yang berinisiatif merumuskan kebijakan tersebut. Adapun RS dan OHT adalah pelaksana dari kebijakan yang telah ditetapkan Dewan Gubernur BI (DG). Di sini banyak fakta yang tidak diungkap secara tuntas oleh KPK dan BPK, untuk mencari siapa yang berinisitaif dan harus bertanggungjawab terhadap realisasi penggunaan dana tersebut.

Dari sisi waktu, penetapan Gubernur BI sebagai tersangka berhadap-hadapan dengan pemilihan Gubernur BI pada Februari mendatang. Berbeda dengan kebijakan Pimpinan KPK sebelumnya yang bersikukuh untuk tidak mengumumkan proses hukum terhadap kasus tertentu, menjelang atau bersamaan dengan pergantian pejabat publik mengingat hal itu rawan dengan perangkap citra politisasi kasus.

Dari penjelasan di atas, ICW menilai beberapa fakta hukum yang ada tidak secara utuh digunakan oleh KPK sehingga proses hukum BI terkesan menimbulkan kontroversi besar.

Pertama, UU BI mengatur keputusan Rapat Dewan Gubernur BI bersifat kolegial. Jika ada veto dari salah satu DG, maka keputusan apapun yang diambil akan gugur dengan sendirinya. Saat itu para deputi senior pun faktanya tidak ada yang menggunkan hak vetonya.

Dari dokumen hasil rapat DG BI yang telah memberikan persetujuan prinsipil atas penggunaan dana YPPI, tidak hanya BA yang menandatangani, melainkan juga DG BI yang lain. Mengacu pada prinsip keputusan kolegial (kemufakatan), maka seharusnya yang menjadi tersangka tidak hanya BA, melainkan DG BI secara keseluruhan. Hal ini juga didukung oleh dokumen rapat DG yang menunjukkan bahwa DG ikut menandatangani keputusan tersebut.

Demikian halnya KPK tidak atau belum menyentuh sama sekali anggota DPR atau mantan anggota DPR yang disebut-sebut dalam dokumen telah menerima dana tersebut. Jika RS dan OTH sudah ditetapkan sebagai tersangka, seharusnya para pihak yang telah berurusan dengan RS dan OTH dalam implementasi pengucuran dana juga ditetapkan sebagai tersangka. Jangankan penetapan tersangka, KPK juga belum memeriksa semuanya. Oleh karena itu, sulit untuk mengelakkan tuduhan, bahwa proses hukum BI telah tercemar oleh kepentingan politik.

Kedua, mengacu pada kronologis waktu, persetujuan prinsip penggunaan dana YPPI telah dimulai sejak Syahril Sabirin (SS) menjadi Gubernur BI. Dari sejak SS, semua DG BI juga telah memberikan persetujuan untuk membantu pembiayaan hukum atas para mantan DG BI yang menjalani proses pemeriksaan oleh Kejaksaan dalam kasus penyelewenangan dana BLBI. Dengan demikian, jika KPK mau menelusuri pejabat BI dan YPPI yang mengambil inisiatif penyimpangan dana YPPI Rp 100 M harusnya dimulai dari era Gubernur BI Syahril Sabirin dan setelahnya.

Perlu diungkap kembali pada awalnya surat permohonan pinjaman yang diajukan oleh para mantan DG BI yang menjalani proses hukum dalam kasus BLBI diajukan kepada YPPI, bukan kepada Gubernur BI.

Akan tetapi dalam proses selanjutnya, pembahasan persoalan tersebut dilakukan dalam rapat DG BI. Padalah rapat DG BI dan YPPI adalah dua institusi yang berbeda. Oleh karena itu, dalam catatan pengurus YPPI kepada Dewan Pengawas YPPI, disarankan agar keputusan soal permohonan pinjaman mantan DG BI diserahkan kepada Dewan Pengawas YPPI.

Jika kemudian sebagian implementasi permohonan bantuan hukum tersebut menggunakan dana BI cq Direktorat Hukum, pastinya ada pihak yang menjadi inisiator untuk membahas surat permohonan bantuan hukum mantan DG BI kepada YPPI dalam rapat DG BI. Yang menarik dari dokumen Akte Perubahan YPPI tertanggal 27 Agustus 2003 pasal 9, disebutkan bahwa Ketua dan Wakil Ketua Pembina diangkat dari pada anggota DG BI, dan yang menjabat sebagai Ketua Pembina dan Wakil Ketua Pembina YPPI adalah AP dan MHS, yang juga merupakan anggota DG BI.

Dari beberapa fakta hukum di atas, KPK sudah semestinya melanjutkan proses hukum kasus BI pada tingkat yang lebih menyeluruh untuk menghindari kesan politisasi perkara atau tebang pilih.

Jakarta, 4 Februari 2008
Indonesia Corruption Watch

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan