Kejaksaan Tolak Penangguhan Eksekusi Djoko Tjandra

Dinilai tidak kooperatif, Djoko Tjandra diancam ditetapkan buron.

KEJAKSAAN menolak permohonan penangguhan eksekusi yang diajukan Djoko S Tjandra. Terpidana perkara korupsi pencairan hak tagih (cessie) Bank Bali yang merugikan negara Rp546 miliar ini pun terancam ditetapkan sebagai buron.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy mengatakan, kejaksaan meminta agar Djoko secepatnya datang memenuhi panggilan eksekusi. "Djoko harus menunjukkan, dia warga negara yang baik. Dia minta penangguhan sampai tanggal 18 (Juli). Itu terlalu lama," katanya di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (22/6).

Marwan menegaskan, kejaksaan akan berkoordinasi dengan Interpol untuk mengeksekusi Djoko yang sedang berada di luar negeri. "Kalau dia ada di Indonesia, malam ini juga akan dicokok (ditangkap)," kata dia.

Jaksa Agung Hendarman Supandji juga enggan memastikan status buron Djoko. "Kami tunggu dulu laporan tertulis dari jaksa eksekutornya. Itu belum saya terima."

Tidak Kooperatif

Kejaksaan mengancam akan menetapkan Djoko Tjandra sebagai buron karena tidak kooperatif. Djoko mangkir memenuhi panggilan eksekusi kejaksaan, kemarin.

"Ternyata, tadi pagi, kurang lebih jam 10.00 kuasa hukumnya datang ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, menyatakan bahwa Djoko Tjandra tidak bisa hadir," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung M Jasman Panjaitan.

Melalui kuasa hukumnya, Djoko justru memohon penundaan eksekusi sampai minggu kedua atau minggu ketiga bulan Juli. Alasannya, sedang menyelesaikan bisnis di luar negeri.

Ini kali kedua pemilik PT Era Giat Prima itu mangkir, setelah tidak hadir pada Selasa (16/6) pekan lalu. Seperti kemarin, pada Kamis (17/6) dia juga mengajukan surat permohonan penundaan. Menurut Jasman, permohonan penundaan pertama itu tanpa alasan yang jelas, dan sampai kapan penundaan itu.

"Adanya permohonan penundaan dengan alasan bisnis, kami berpendapat bahwa ini kami anggap sebagai tindakan tidak kooperatif," kata Jasman.

Hal itu berbeda dengan yang dilakukan terpidana lainnya, Syahril Sabirin yang sangat kooperatif melaksanakan kewajiban hukumnya. Mantan Gubernur Bank Indonesia ini sekarang sudah menjalankan hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang.

Saat datang ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, OC Kaligis, kuasa hukum Djoko S Tjandra menyatakan, kliennya akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas PK MA yang memvonisnya. "Kami akan mengajukan PK atas putusan. Ini kan putusan terakhir. Dia kan belum mengajukan PK," katanya.

Jasman pun mempertanyakan itu. "Pertanyaan saya, supaya masyarakat tahu, terhadap putusan mana kuasa hukumnya atau terpidana mengajukan PK. Karena, kalau terhadap putusan kasasi, dia kan dibebaskan. Kalau terhadap PK, itu dilarang UU."

Jasman kemudian mengutip Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 2/2004 tentang Kekuasaaan Kehakiman yang menyakatan, terhadap putusan PK tidak dapat dilakukan PK. "Jadi kalau alasan penundaan, karena ini tak masuk akal dan tidak berdasarkan hukum," kata dia.

Begitu pula dengan alasan bisnis untuk penundaan ekskusi. Jasman menegaskan, itu bukanlah alasan hukum. Selain, penundaan eksekusi ini bertentangan dengan asas keadilan. Pasalnya, Syahril Sabirin yang memperoleh vonis dalam putusan PK yang sama sudah menjalani hukuman. Sedangkan Djoko belum. Terlebih, dalam kasus yang sama mantan Wakil Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Pande Raja Nasorahona Lubis sejak empat tahun lalu sudah menjalani hukuman.

"Dilihat dari asas keadilan, permohonan penundaan bertentangan dengan asas keadilan. Ini juga bertentangan dengan kepastian hukum. Dengan adanya penundaan ini, keputusan hukum itu menjadi tidak pasti," kata Jasman.[by : Abdul Razak]

Sumber: Jurnal Nasional, 23 Juni 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan