Kejaksaan Perkuat Bukti untuk Syaf

Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta tetap yakin pada keputusannya yang menetapkan mantan Kepala BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) Syafruddin Arsjad Temenggung sebagai tersangka. Kejaksaan mengklaim telah mengantongi sejumlah bukti yang menguatkan adanya kerugian negara dalam penjualan pabrik gula PT Rajawali III Gorontalo (PGR III) oleh BPPN.

Bukti tersebut umumnya berupa dokumen penjualan PGR III. Termasuk kondisi pabrik gula semasa dijual pada 2003. Seorang jaksa yang menangani kasus ini memperlihatkan beberapa halaman kertas berisi daftar dokumen tersebut. Ini daftarnya, tetapi nggak boleh dicatat. Semua dokumen kita simpan di dua kardus besar, kata jaksa yang menolak ditulis namanya itu kepada Jawa Pos.

Jaksa tersebut hanya mau bercerita sedikit mengenai isi dokumen itu. Menurut dia, salah satu dokumen berisi hasil produksi dan uang cash pabrik senilai Rp 138 miliar yang tersimpan bank. Hasil produksi yang dimaksud adalah gula, tetes, dan uang kas di pabrik. Kami juga menemukan dokumen pengiriman (DO/delivery order) tetes dari Gorontalo ke pabrik Cheil Samsung di Jawa Timur, ungkapnya.

Kajati DKI Jakarta Rusdi Taher dalam wawancara dengan sebuah televisi pernah mengungkapkan bahwa kapasitas produksi pabrik semasa dijual normal. Tim penyidik bahkan menemukan inventory (gula) senilai 300 persen (lebih banyak daripada kapasitas terpasang). Kalau dihitung, total nilainya bisa di atas nilai penjualan, kata Rusdi. Nilai penjualan PGR III sendiri sebesar Rp 95 miliar.

Seorang penyidik mengatakan, dokumen yang diperolehnya menguatkan dugaan adanya tahapan yang tidak dilalui dalam penjualan PGR III. Menurut dia, ada sebagian fakta yang ditutupi sehingga terkesan pabrik dalam keadaan tidak sehat.

Penilaian aset memang berkali-kali dilakukan pihak appraisal. Tetapi, sebagian tidak tuntas. BPPN bahkan menggunakan penilai internal untuk menaksir aset pabrik, jelas penyidik itu.

Dalam penjualan PGR III, dilibatkan empat penilai. Yakni, PT PNM (Permodalan Nasional Madani), Heburinas, penilai internal BPPN, dan PT Danareksa. Hasil audit PT Danareksa menaksir aset dan piutang PGR III berkisar Rp 69,2 miliar hingga Rp 115,48 miliar (11-18 persen dari nilai buku Rp 632 miliar). Namun, rilis Kejagung menguatkan bahwa proses penilaian PT Danareksa sejatinya belum tuntas.

Perjanjian BPPN dan PT Danareksa (selaku konsultan) terbagi dalam empat termin pembayaran. Termin pertama dan kedua dibayar. Termin ketiga dan keempat tidak dibayar. BPPN memutus perjanjian secara sepihak dengan alasan aset tidak laku dijual, kata Kapuspenkum Masyhudi Ridwan dalam rilisnya.

Menurut jaksa tersebut, sejumlah alat bukti itu mengungkapkan dugaan permainan dalam penjualan PGR III. Nilai aset, hasil produksi, dan piutang PGR III tidak sebanding dengan nilai penjualan yang dimenangkan Konsorsium Bapindo Bumi Sekuritas (KBBS). Di belakang konsorsium, ada investor Delux International Ltd.

Sesuai alat bukti yang kami miliki, nilai aset dan piutang berikut hasil produksi pabrik bisa mencapai Rp 700 miliar. Tetapi, faktanya, pabrik hanya dijual Rp 95 miliar. Itu ibarat orang membeli remote dapat TV, ujarnya mengilustrasikan.

Apa komentar Syafruddin? Syaf -sapaan Syafruddin- dalam wawancara dengan koran ini menyatakan, temuan Kejati DKI tersebut harus dilihat secara proporsional. Harus dibedakan apakah temuan tersebut merupakan kondisi pabrik saat ini atau semasa pabrik akan dijual pada 2003, ungkapnya.

Menurut dia, saat BPPN akan menjual ke investor, kondisi pabrik benar-benar rusak. BPPN juga sudah tiga kali menggunakan jasa perusahaan penilai untuk menaksir aset PGR III yang sesungguhnya. Kalau perusahaan penilai yang salah menaksir, tentu kesalahannya nggak bisa dibebankan kepada saya. Seharusnya mereka bertanggung jawab, tegasnya.

Sebaliknya, lanjut Syaf, jika kondisi pabrik membaik beberapa tahun setelah penjualan, tentu semua pihak harus bersyukur. Seharusnya kita bisa berbangga. Perusahaan itu dulu macet saat akan dijual pada 2003. Itu keberhasilan program penjualan BPPN yang ikut menggerakkan kembali sektor riil. Saya akan sangat sedih kalau ada perusahaan yang keluar dari BPPN, lalu mati, ujarnya. Dia yakin bahwa temuan kejati tersebut merupakan kondisi pabrik setelah dijual.

Dokumen lain yang diajukan tim pengacara Syaf mengungkapkan alasan PT PGR III dijual di bawah harga buku. Sejumlah fakta yang mengungkapkan aset PT PGR III dalam kondisi tidak sehat, antara lain, kerugiannya (2002) mencapai 14 miliar; earning before interest, tax, depreciation, and amortization (EBITDA) atau laba kotor 2002 Rp 12 miliar; serta produk yang dihasilkan tidak bisa berkompetisi dengan produk pabrik lain.

Selebihnya, kapasitas terpakai hanya 50 persen dari kapasitas terpasang. PT Rajawali III Gorontalo memiliki kebun yang hanya mampu menyuplai 40 persen kebutuhan bahan baku. Juga, kondisi pabrik yang pernah terbakar. (agm/gup)

Sumber: Jawa Pos, 13 Februari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan