Kejaksaan Harus Progresif Berantas Korupsi

Pernyataan Pers

Tidak dapat dipungkiri Kejaksaan merupakan salah satu instititusi yang penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Citra pemerintahan SBY-Boediono dalam upaya pemberantasan korupsi sangat dipengaruhi oleh performa institusi Kejaksaan. Masukan dan dorongan banyak pihak sangat dibutuhkan dalam upaya mendukung kinerja kejaksaan dalam upaya penegakan hukum –pemberantasan korupsi  menjadi lebih dan optimal.

Kejaksaan Agung dibawah kepemimpinan Basrief Arif saat ini memasuki usia hampir dari setengah tahun. Selama kurun waktu tersebut Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan perhatian terhadap sejumlah penanganan kasus korupsi oleh institusi Kejaksaan yaitu kasus korupsi yang terjadi di daerah khususnya yang melibatkan kepala daerah, yang melibatkan aktor kakap, dan yang terjadi di internal kejaksaan.

1. kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah

Salah satu kasus korupsi yang menjadi pemantauan ICW dan masyarakat sipil di Bengkulu adalah penanganan kasus dugaan korupsi dana bagi hasil PBB dan BPHTB sebesar lebih dari Rp 21 Miliar yang melibatkan Gubernur Bengkulu non aktif, Agusrin Najamudin.

Sayangnya kasus tersebut di vonis bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang dipimpin oleh Hakim Syarifuddin. Pembebasan Agusrin ini menjadi kontroversial karena hakim dinilai mengabaikan sejumlah fakta hukum di persidangan.

Ada begitu banyak keganjilan dalam Putusan tersebut. Dari kajian yang dilakukan ICW menemukan sejumlah kejanggalan dibalik vonis bebas tersebut. Begitu banyak fakta-fakta hukum dan kesalahan terdakwa yang diduga “disembunyikan”. Bahkan juga telah terjadi pengabaian keterangan dan bukti kunci dalam kasus tersebut.

Misalkan saja, petimbangan hakim dalam Putusannya yang menyebutkan bahwa “tidak ada satu saksi pun yang diajukan JPU dapat menunjukkan peran atau turut sertanya terdakwa dalam melakukan tindak pidana korupsi, terkecuali Chairuddin. Namun kesaksian Chairuddin tersebut tidak dapat dijadikan alat bukti yang sempurna” (hal 124, Putusan No. 2113/Pid.B/2010/PN.JKT.PST)

Pertimbangan Hakim tersebut dinilai mengabaikan kesaksian Hermal Syahrial (Kasubag keuangan Dispenda) yang menyebutkan bahwa saksi sendiri yang mengantarkan konsep surat untuk ditandatangani oleh Agusrin Najamudin sebanyak 5 lembar.  Bahkan untuk meyakinkan majelis hakim, Jaksa Penuntut Umum (JPU) sesungguhnya sudah memperlihatkan surat asli tersebut. namun lagi-lagi keanehan yang terjadi, Hakim seolah menganggap bukti otentik tersebut hanya ibarat angin lalu saja, dan tidak memasukkan sebagai pertimbangan. Padahal bukti surat asli ini merupakan salah satu bukti kunci yang bisa menjerat terdakwa.

Berangkat dari sejumlah kejanggalan, dan vonis yang menurut kami sangat melukai rasa keadilan, tentu saja Jaksa Penuntut Umum harus melakukan Kasasi “Demi Kepentingan Hukum” ke Mahkamah Agung. Perlu dicatat, bahwa JPU hanya punya waktu sisa sebanyak hingga hari ini (14 Juni 2011) untuk mengajukan memori kasasi, terhitung sejak putusan hakim dibacakan (24 Mei 2011). Kita apresiasi sikap Kejaksaan yang sudah menyatakan akan mengajukan Kasasi, akan tetapi tentu kejaksaan harus bekerja lebih keras mengingat sebelumnya penyampaian putusan dari PN Jakarta Pusat juga lambat.

ICW dan Koalisi merekomendasikan beberapa poin krusial yang harus dimasukan dan diperkuat dalam memori kasasi kasus ini, yaitu:

  1. Menguatkan point perihal dugaan kerugian negara versi perhitungan BPK No. 65/S/I-XV/07/2007 tertanggal 30 Juli 2007 sebesar lebih dari Rp. 20 Miliar.
  2. Menguatkan pembuktian adanya penyimpangan saat membuka rekening di luar kas umum daerah. Padahal, apa yang dilakukan tersebut secara terang bertentangan dengan  ketentuan yang berlaku (UU Perbendaharaan Negara, UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, UU Keuangan Negara,  dan ketentuan lainnya. Terlebih lagi penggunaan di luar kas umum daerah sebesar lebih dari Rp. 20 M tersebut, tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.
  3. Menegaskan adanya pengabaian fakta-fakta hukum yang dilakukan oleh hakim tingkat pertama (judex factie), yaitu: Keterangan saksi-saksi, bukti surat yang asli ditandatangani terdakwa, hingga bukti petunjuk.
  4. Memperkuat pembuktian adanya dugaan permufakatan jahat terdakwa untuk mengembalikan dana PBB dan BPHTP yang terlanjut digunakan, dengan cara membuat rekayasa pencairan dana PT BM atas penyertaan modal ke PT BBN dan PT SBM. Padahal uang tersebut digunakan untuk menutupi dana PBB dan BPHTP yang telah digunakan.

Selain kasus korupsi yang melibatkan Agusrin Najamuddin, Gubernur Bengkulu non aktif, sedikitnya masih ada tiga kepala derah lagi yang kasusnya harus dituntaskan oleh kejaksaan antara lain: 

Nama Calon

Kepala Daerah

Kabupaten/ Kota

Jabatan

Dugaan Kasus korupsi

Keterangan

THEDDY TENGKO

( Bupati Terpilih 2010-2014)

Kab. Kepulauan Aru

Bupati Kepulauan Aru

Kasus Korupsi  APBD Kepulauan Aru 2005-2007 senilai 30 M

Sudah ditetapkan menjadi Tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Maluku

JAMRO. H. JALIL

( Bupati Terpilih 2010-2014)

Kab. Bangka Selatan

Wakil Bupati

Korupsi Dana KUT sebesar Rp. 338. 118. 300,- yang
sdh disimpan selama 7 tahun mulai dr tahun 1999.

Sudah di tetapkan sebagai Tersangka Oleh Kejaksaan Negeri Sungailiat 2007

Erwan Kurtubi

( Bupati Terpilih 2010-2014)

Kabupaten Padegelang

Bupati

Kasus Suap terhadap Anggota DPRD Kab. Padegelang periode 2004-2009

Sudah ditetapkan  Menjadi Tersangka oleh Kajati Banten

Sumber : ICW, yang diolah dari pemantauan Pilkada 2010.

2. Kasus korupsi kelas kakap
Salah satu kasus korupsi yang pernah mendapatkan perhatian serius dari Kejaksaan Agung adalah kasus Sistem Informasi Badan Hukum (Sisminbakum). Penanganan kasus ini awalnya sempat memberikan harapan dan menjawab keraguan publik tentang kejaksaan yang selama ini dipersepsikan ragu menyentuh aktor kelas kakap. Akan tetapi, keraguan terhadap Kejaksaan mulai kembali muncul karena ketidakjelasan proses hukum terhadap dua tersangka kasus Sisminbakum, yaitu: Yusril Ihza Mahendra dan Hartono Tanoe semakin tidak jelas.

Keduanya tersangka sejak 24 Juni 2010, yang artinya kasus ini sudah menggantung hampir satu tahun lamanya. Sehingga wajar publik menilai kasus yang merugikan keuangan negara Rp. 378 miliar ini terancam mengambang dan bahkan potensial dihentikan jika tidak ada ketegasan dari Jaksa Agung sebagai pimpinan tertinggi di Kejaksaan.

Kontroversi tentang Putusan Lepas terhadap Romli Atmasasmita (Putusan Mahkamah Agung Nomor: 591 K/Pid.Sus/2010) menjadi salah satu alasan untuk mengulur waktu. Hal ini dinilai sangat berlebihan, karena ternyata 3 terdakwa lain sudah divonis bersalah oleh pengadilan, dua diantaranya (Yohanes Woworunto, sudah inkracht dengan vonis Kasasi 5 tahun, dan Syamsudin Sinaga, vonis Kasasi di MA 1 tahun, dan Zulkarnain Yunus dengan vonis 1 tahun di PN Jakarta Selatan). Jadi, sungguh aneh jika Kejaksaan Agung kemudian menghentikan kasus Sisminbakum dengan hanya mendasarkan sebuah keputusan yang seharusnya masih bisa diajukan upaya hukum seperti Peninjauan Kembali.

ICW mendorong agar Kejaksaan segera meneruskan proses hukum 2 (dua) tersangka kasus Sisminbakum ini ke Pengadilan. Biarlah nanti pengadilan yang akan memutuskan, apakah mereka bersalah melakukan korupsi atau tidak. Hal ini sangat penting dilakukan demi prinsip equality before the law, apalagi Presiden SBY juga seringkali mengatakan bahwa siapapun yang terlibat korupsi harus diproses.

Selain itu, vonis Lepas terhadap Romli dinilai tidak secara otomatis juga akan membuat tersangka lain bebas, karena alam Putusan dengan terdakwa Romli Atmasasmita, salah satu alasan dilepaskannya Romli adalah karena ia tidak menikmati uang hasil korupsi. Hal ini belum tentu berlaku sama terhadap dua tersangka yang lainnya. Karena itulah, Jaksa Agung harus tegas, setengah tahun pertama kepemimpinannya tidak boleh tercoreng dengan tindakan yang bertentangan dengan rasa keadilan publik, seperti menghentikan kasus kakap seperti Kasus korupsi Sismimbakum. Kasus ini harus dilanjutkan ke Pengadilan.

3. kasus korupsi di internal kejaksaan
Dari persepsi masyarakat ditingkat nasional, Survei opini publik nasional yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 10-12 Oktober 2010 tentang integritas lembaga penegak hukum menyebutkan dari empat lembaga, hanya KPK yang aparatnya dinilai punya integritas.Sementara aparat kepolisian, kejaksaan,dan pengadilan dinilai tidak punya integritas, atau integritasnya buruk. Lembaga-lembaga tersebut tidak mampu mencegah aparatnya dari tindakan korupsi, dan dari tekanan atau suap dari kelompok kepentingan masyarakat, termasuk pengusaha, dan dari politisi atau partai politik.

Survei diatas setidaknya menunjukkan penilaian umum masyarakat bahwa integritas para penegak hukum termasuk jaksa saat ini masih dipertanyakan. Penangkapan jaksa DSW dari Kejari Bekasi oleh KPK dan munculnya dugaan penyimpangan oknum Jaksa disejumlah daerah kenyataannya turut mencoreng citra kejaksaan.

Oleh karenanya upaya pembersihan praktek korupsi di internal kejaksaan termasuk penindakan jaksa-jaksa nakal saat ini penting untuk dilakukan untuk mengembalikan citra kejaksaan dimata publik. Fungsi pengawasan di internal kejaksaan harus diperkuat dan kejaksaan juga jangan ragu menindak dan memproses secara hukum jaksa-jaksa yang dinilai bermasalah. 

Apalagi tahun 2011 ini, institusi Kejaksaan menerima kenaikan renumerasi sebagai bagian dari program reformasi birokrasi. Kenaikan renumerasi dinilai dapat meminimalisir terjadinya korupsi di internal kejaksaaan.  Jika sudah dapat kenaikan renumerasi namun masih tetap korupsi, maka harus ada tindakan yang keras bagi pelakunya.

Sebagai bagian perbaikan citra, Kejaksaan juga harus fokus menuntaskan korupsi yang terjadi di internal kejaksaan sendiri. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang Hasil Pemeriksaan Keuangan Kejaksaan Agung 2009 (Surat Nomor : 31a/HP/XIV/05/2010 tertanggal 10 Mei 2010) menunjukkan adanya sejumlah indikasi korupsi di lingkungan kejaksaan yang penting untuk ditindaklanjuti, antara lain: 

a. Indikasi korupsi  dalam Pengadaan Barang Inventaris Kantor pada Biro  Perlengkapan Kejaksaan Agung RI Pada Tahun  Anggaran  2009  sebesar Rp1.402.678.695,00

Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui SPK/Kontrak berdasarkan revisi DIPA tanggal 22 Oktober 2009 dengan pagu anggaran sebesar Rp1.402.750.000,00. Dari anggaran tersebut telah direalisasikan sebesar Rp1.402.678.695,00 untuk pengadaan barang inventaris kantor pada Sesjam Pengawasan yang dilaksanakan oleh Biro Perlengkapan melalui 15 paket pekerjaan. Pelaksanaan pengadaan tersebut dilakukan pada triwulan IV tahun 2009.

Ternyata dalam pelaksanaanya pekerjaan dipecah menjadi 15 paket dengan nilai masing-masing tidak melebihi Rp100.000.000,00 yang menurut Keppres Nomor 80 Tahun 2003 merupakan batas pengadaan yang dapat menggunakan metode pemilihan langsung.

Hasil pemeriksaan atas dokumen kontrak/SPK dan rincian barang inventaris kantor yang diadakan melalui 15 (lima belas) paket tersebut menunjukkan bahwa barang inventaris kantor tersebut bukan merupakan barang yang spesifik, mudah didapat, dan dapat diprediksi kebutuhannya. Sehingga dalam proses pengadaan barang inventaris kantor tersebut tidak perlu dilakukan pemecahan dalam beberapa kontrak/SPK. Selain itu dari daftar penyedia barang/jasa yang melaksanakan pekerjaan tersebut terlihat bahwa pemilihan penyedia barang dan jasa mengarah pada pemerataan pekerjaan kepada 6 (enam) perusahaan.

b. Indikasi Korupsi dalam Kendaraan Tahanan Kejaksaan Agung dengan modus Penunjukan Langsung dan penggelembungan harga sebesar Rp1.301.425.000,00

Dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Kejaksaan di daerah-daerah, khususnya dalam membawa tahanan, maka melalui Program Peningkatan Kinerja Lembaga Peradilan dan Penegak Hukum lainnya pada tahun 2009 Kejaksaan Agung RI melalui Biro Perencanaan telah melaksanakan Pekerjaan Pengadaan Kendaraan Tahanan sebanyak 100 unit untuk Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri dan Cabang Kejaksaan Negeri. Proses lelang dilakukan oleh Panitia Pengadaan Kendaraan  melalui penunjukan langsung kepada PT Astra International TBK sebagai pemegang merk Toyota, diantaranya : 

a.  Chasis  Toyota Kijang Dyna Rino 4 ban (kecil) sebanyak 38 unit;
b.  Chasis Toyota Kijang Dyna Rino 4 ban (sedang) sejumlah 50 unit;
c.  Chasis Toyota Kijang Dyna Rino 6 ban (besar) sejumlah 12 unit;

Pengadaan kendaraan tahanan tersebut dituangkan dalam Surat Perjanjian/Kontrak Pengadaan Kendaraan Tahanan Kejaksaan Agung RI Tahun 2009 No. SP-02/PKLPH/7/2009 tanggal 1 Juli 2009 senilai Rp29.428.475.000,00. Jangka waktu pelaksanaan pekerjaan selama 168 hari kalender terhitung sejak tanggal 1 Juli  2009 sampai dengan tanggal 15 Desember 2009. Pelaksanaan pekerjaan tersebut telah selesai dan telah diserahterimakan sesuai dengan Berita Acara Serah Terima Barang No.BA 03/PKLPH/12/2009  tanggal 11 Desember 2009 dan telah dibayar lunas dengan SP2D nomor 12101641A tanggal 17 Desember 2009.

Selanjutnya karena  terdapat penambahan jumlah kendaraan tahanan sebanyak 6 unit yang terdiri dari chasis Toyota Dyna Rino 4 ban (kecil) sebanyak  4 unit dan chasis Toyota Kijang Dyna Rino 4 ban (sedang) sebanyak 2 unit, maka dilakukan kontrak lanjutan yang dituangkan dalam Surat Perjanjian Kontrak No. SP-07/PKLPH/12/2009 tanggal 3 Desember 2009 senilai Rp1.629.377.000,00. Jangka waktu pelaksanaan selama 28 hari kalender terhitung sejak tanggal 3 Desember 2009 sampai dengan tanggal 30 Desember 2009.

Hasil pengecekan kepada pihak Toyota Astra International Tbk (dhi. PT. Tunas) menunjukkan bahwa harga  chasis  kendaraan dalam RAB kontrak lebih tinggi sebesar Rp1.301.425.000,00 apabila dibandingkan dengan harga kendaraan  on the road  plat hitam untuk bulan April 2009 setelah dikurangi bea balik nama (BBN) sebesar 12,5% karena untuk kendaraan pemerintahan tidak dikenakan BBN

c. Indikasi korupsi dalam Pengadaan Laptop di Kejaksaan Agung RI Tahun 2008 Tidak Sesuai Ketentuan dan Terjadi Indikasi Kerugian Negara Senilai Rp1.317.340.500,00.

Berdasarkan uraian tersebut maka kami meminta Kejaksaan Agung:

  1. menuntaskan kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah. Dalam kasus vonis bebas Agusrin Najamuddin,  untuk segera mengajukan memori kasasi vonis bebas Agusrin ke MA. Kejaksaan harus menyakinkan Hakim Agung bahwa pertimbangan hakim atas vonis bebas ditingkat pertama (PN Jakarta Pusat) adalah keliru karena bertentangan dengan fakta hukum.
  2. menuntaskan kasus korupsi kelas kakap yang saat ini ditangani oleh Kejaksaan Agung. Kasus dugaan korupsi sisminbakum, dugaan korupsi E- KTP di Kementrian Dalam Negeri,  dan dugaan korupsi pengadaan tiket untuk diplomat di Kementrian Luar Negeri merupakan kasus korupsi kakap yang harus prioritaskan oleh Kejaksaan Agung.
  3. menuntaskan kasus dugaan korupsi yang terjadi di internal Kejaksaan dan menindak jaksa-jaksa nakal sebagai upaya perbaikan citra kejaksaan dimata masyarakat.


Jakarta, 14  Juni 2011

Indonesia Corruption Watch

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan