Kejaksaan Dituduh Langgar Prinsip Diferensial Fungsional; Kasus
Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Cirebon dituduh melanggar prinsip diferensial fungsional (bukan wewenangnya) dalam penyidikan kasus dugaan korupsi APBD-gate. Sehingga sebenarnya kejaksaan tidak berhak melakukan penyidikan terhadap para anggota dewan periode 1999-1004 dan kasus APBD-gate dinilai tidak layak dipersidangkan.
Demikian dikemukakan pembela hukum terdakwa APBD-gate dalam eksepsinya yang dikemukakan Rabu dan Kamis (18-19/8) dalam sidang lanjutan kasus APBD-gate berisi pembacaan eksepsi terdakwa. Sidang hari Rabu (18/8) berisi eksepsi dari terdakwa Ketua DPRD (kini mantan -red.) Suryana, Wakil Ketua H. Sunaryo H.W., S.I.P., M.M., dan Ir. H. Haries Sutamin. Sementara itu, Kamis (19/8) menghadirkan terdakwa Ir. Setiawan, Jarot Adi Sutarto, Agus Sompi, Suyatno H.A. Sama, M. Safari Wartoyo, Drs. Enang Iman Gana, dan H. Achmad Djunaedi, M.B.A.
Eksepsi dibacakan secara bergantian oleh pembela hukum, di antaranya Koordinator Dan Bildansyah, S.H., R. Pandji Amiarsa, S.H., Yunasril Yuzar, S.H., dan Dudung Hidayat, S.H. Baik sidang hari Rabu maupun Kamis, eksepsi yang dibacakan 2 hari persidangan berturut-turut di depan majelis hakim tidak jauh berbeda.
Kejaksaan dituduh melanggar prinsip diferensial fungsional dan tidak berhak menyidik kasus itu. Pasalnya, kewenangan itu seharusnya berada di tangan kepolisian.
Kewenangan kejari dalam penyidikan diatur UU No. 15/61 tentang ketentuan pokok kejaksaan selaku penyidik lanjutan. Namun, UU No. 5/91 mencabut pasal kewenangan kejaksaan sebagai penyidik. Jadi, penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan kejaksaan tidak sah, hasilnya pun batal demi hukum atau atau null and void, ungkap Bildansyah.
Penghapusan fungsi kejaksaan makin sempurna menyusul dikeluarkan fungsi kepolisian sebagai penyidik tunggal seperti digariskan UU No. 2/2002. Berdasarkan uraian itu, kejaksaan tidak berhak melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi.
Peradilan koneksitas
Tim pembela hukum juga sempat mengemukakan soal diskriminasi terkait adanya dua anggota DPRD dari FTNI/Polri. Seharusnya, aggota FTNI/Polri juga ikut disidik dan disidang melalui peradilan koneksitas di bawah koordinasi Jaksa Agung RI.
Dituturkan, korupsi yang dituduhkan kepada terdakwa dilakukan bersama secara institusional. Hal itu berarti juga berlaku bagi dua anggota Fraksi TNI/Polri, H. Muhamad dan Syarifudin.
Pembela hukum menilai dakwaan jaksa penuntut umum batal demi hukum karena menggunakan PP 110/2000 yang telah dibatalkan MA. Berdasarkan pertimbangan hukum, PP 110 bertentangan dengan UU 4/99 dan UU 22/99 sehingga MA memutuskan batalnya aturan itu. Pembatalan tadi juga bermakna PP 110 dianggap tidak ada. (A-93)
Sumber: Pikiran Rakyat, 20 Agustus 2004