Kejaksaan dan Dirjen Pajak, Jangan Tolerir Pengemplang Pajak!

Akibat mengemplang pajak, Asian Agri harus segera melunasi pembayaran hukuman denda sebesar Rp 4,5 triliun rupiah. Tenggat pelunasan jatuh besok, 1 Februari 2014. Muka kejaksaan jadi taruhan: apakah kejaksaan akan kompromi dengan korporasi pelanggar hukum?

Perusahaan sawit terbesar di Indonesia Asian Agri Group (AAG) pada akhirnya menyatakan sanggup membayar denda pajak senilai Rp 2,5 triliun. Namun proses pembayaran denda dilakukan secara mencicil. Cicilan pertama Asian Agri dilakukan sebesar Rp 719 miliar. Sedangkan kekurangan denda pajak akan dibayarkan dengan dicicil setiap bulan Rp 200 miliar hingga bulan Oktober 2014. Atas dasar kelangsungan usaha, pihak Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Basrief Arief menyatakan telah menyetujui sistem pembayaran denda yang dilakukan oleh Asian Agri. 

Metta Dharmasaputra, wartawan Tempo dan penulis buku “Saksi Kunci” yang menceritakan skandal Asian Agri dan perjalanan whistleblower kasus ini yaitu Vincent, menyebutkan bahwa negara menerima dua bagian uang dari kasus Asian Agri. Pertama, denda sebesar Rp 2,5 triliun yang harus dieksekusi kejaksaan. Kedua, Asian Agri juga harus membayar tunggakan pokok pajak sejumlah Rp 2 triliun. Sehingga, total yang harus dibayar Asian Agri adalah Rp 4,5 triliun.

Menurut Metta, selama bertahun-tahun suara di pemerintah tentang skandal ini tidak bulat. “Yang dari dulu clear menjerat kasus ini hanya Dirjen Pajak, PPATK, dan KPK. Kejaksaan baru terakhir ini menyatakan akan eksekusi kasus ini. Di luar itu, saya tidak melihat ada keseriusan,” ujar Metta.

Masih menurut Metta, di DPR hanya Eva Kusuma Sundari “dari beratus-ratus orang dalam 7 tahun” yang getol mendukung penuntasan kasus ini.

“Asetnya Asian Agri sangat besar. Sekarang nama perusahaan induknya menjadi Royal Golden Eagle. Dari sisi orang: Sukanto Tanoto orang terkaya di Indonesia tahun 2006 dan 2008,” tutur Metta.

“Akan sangat memalukan, orang terkaya melakukan manipulasi pajak. Kalau aset ini disita, tidak ada masalah,” tukas Metta lagi.

“Saya kira bukti-buktinya sudah sangat kuat. Saya dapat beberapa koper dokumen. Tapi, Dirjen Pajak menyita sembilan truk dokumen, yang berisi 1.400 boks dokumen yang disembunyikan di sebuah toko lampu di Duta Merlin,” Metta menceritakan.

“Di kedua kantor Asian Agri di Medan, semua dokumen itu raib. Orang dalam kirim surat kaleng, saya termasuk yang mendapat surat kaleng itu. Dia memberitahukan kemana dokumen-dokumen itu lari, berapa nomor polisi mobilnya, siapa nama pengendaranya. Dirjen Pajak menguntit selama empat bulan, dan digerebek pada satu malam,” tutur Metta.

Modus Asian Agri adalah menekan biaya pajak di dalam negeri, mengecilkan keuntungan di dalam negeri, dan hasil penghematan ditransfer ke luar negeri. “Ini yang sangat jelas pencucian uangny,” tegas Metta.

Menurut Metta, inilah fakta paling telak dan tidak bisa dikategorikan pengurangan atau penghindaran pajak, tapi manipulasi pajak. “Karena dia biaya fiktif. Uangnya itu masuk ke tangan kanan Sukanto Tanoto. Ada angkanya,” aku Metta.

Asian Agri juga memainkan harga jual. “Dijual ke perusahaan saudara atau famili di luar negeri, barulah real buyer membelinya, karena pajak di sini kecil,” kata Metta.

Metta mengaku bahwa ada dokumen Asian Agri (AAA) yang berjudul: Cross Border Tax Planning. Padahal sesungguhnya, ini rencana manipulasi pajak.

“Di kantor Asian Agri, lantai 6 untuk operasi normal, namun lantai 7 untuk operasi manipulasi pajak, di bawah koordinasi General Manager Marketing,” cerita Metta.

Dari pengakuan Vincent, Metta mendapat informasi bahwa Asian Agri membuat faktur berlapis sehingga kalau diaudit kantor seolah-olah bertransaksi dengan pihak yang terpisah.

“Dokumen-dokumen ini menjelaskan bahwa uang ini dinikmati oleh Sukanto Tanoto,” tukas Metta.  

Metta menyayangan kasus Asian Agri sudah tujuh tahun berjalan dan tersangka yang disidangkan baru satu. “Ada delapan tersangka lagi. Apakah delapan tersangka butuh 56 tahun proses persidangan?”

“Bandingkan dengan Vincent yang bukan nyolong duit negara, tapi nyolong duit Asian Agri sejumlah Rp 28 miliar. Proses persidangan Vincent kurang dari satu tahun, dan ia sudah divonis 11 tahun.” tutur Metta.

Skandal Asian Agri memang pengemplangan pajak

Selama ini Asian Agri berusaha menggiring opini publik bahwa kasus ini semata tax planning. Putusan Mahkamah Agung menyatakan kasus ini sebagai tax avoidance. Namun, pengamat pajak Yustinus Prastowo memastikan kasus ini adalah tax evasion.

“Asian Agri terus berusaha menjadikan kasus ini sebagai perkara administrasi tax planning yang tidak ilegal dan bukan pidana, karena kalau masuk pidana, dendanya 400% atau 4x tunggakan pajak dan pokoknya 100%, sehingga jadi 5x lipat, yaitu diancam Rp 6,5 triliun (5 x rp 1,3 triliun),” jelas Prastowo. “Sementara, kalau masuk ke administratif, maka dendanya hanya 48%.”

Prastowo menekankan kasus ini jelas kasus pidana. “Jangan sampai terseret menjadi administratif.  Ada biaya fiktif dan ada paper company,” tegas Prastowo.  

Menurut Metta, eksekusi Asian Agri adalah pertaruhan besar bukan hanya untuk pemerintah Indonesia, tapi untuk Asian Agri.

“Maka publik harus mengawal secara ketat, terutama lewat media. Karena kalau melihat perjalanan sangat panjang ini memang mengkhawatirkan. Saya harap Jaksa Agung sekarang komitmen. Kalau dia komitmen, kita bisa apresiasi,” harap Metta.

Lebih jauh, menurut Metta yang lebih mengkhawatirkan adalah kewajiban Asian Agri membayar tunggakan pokok di luar denda sebesar Rp 2 triliun yang harus dieksekusi Dirjen Pajak.

“Kalau kejaksaan, mungkin bisa diawasi oleh media, dan mudah-mudahan rame. Yang biasanya luput dari perhatian itu pengadilan pajak,” tutur Metta prihatin.

“Memang Asian Agri sudah bayar Rp 1 triliun, tapi itu syarat banding ke pengadilan pajak, bukan membayar.Kalau dia lolos, dia akan menerima kembali uangnya Rp 1 triliun itu. Jangan sampai kita terkecoh. Kita amankan dulu penerimaan negara Rp 4,5 triliun,” terang Metta.

Akan sangat berbahaya jika Asian Agri lolos dari jerat hukum dan tidak dieksekusi tanggal 1 Februari 2014 besok, menurut Metta, harus ada kritik yang sangat tajam dan keras.

“Pemerintah betul-betul tidak punya wibawa di bawah konglomerat. Harusnya pemerintah punya kewibawaan yang sangat kuat terhadap kekuatan sebesar apapun untuk menegakkan hukum, termasuk kepada konglomerat,” tukas Metta.

Jika memang tidak bisa dieksekusi, pemerintah harus mengambil upaya hukum. “Jerat pencucian uang harus dihidupkan. Polisi dan kejaksaan, siapa yang akan ambil kasus ini,” harap Metta.

PT Asian Agri adalah perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia. Pemiliknya, Sukanto Tanoto, pernah menduduki peringkat satu orang terkaya di Indonesia oleh majalah bisnis Forbes pada 2006 dan 2008. Catatan kekayaan bersihnya disinyalir mencapai 2,8 miliar dolar AS per maret 2012. Aset bisnisnya ditaksir mencapai 12 miliar dolar AS.

Vincentius Amin Sutanto, mantan pengawas keuangan Asian Agri Group, mendadak tenar di akhir tahun 2006. Vincent kala itu sedang kabur Singapura. Awalnya, Vincent membobol uang PT Asian Agri Oil and Fats Ltd di Singapura, salah satu anak perusahaan Asian Agri senilai US$ 3,1 juta atau setara 30 miliar rupiah.

Di tengah pelariannya, Vincent sempat meminta pengampunan kepada Sukanto, tapi gagal. Kepada Tempo, Vincent membocorkan rahasia penggelapan pajak Asian Agri. Vincent mengakui Asian Agri menggelapkan pajak sebesar Rp 1,3 triliun. Inilah salah satu skandal penggelapan pajak terbesar yang pernah terbongkar di negeri ini.

Vincent akhirnya memutuskan melaporkan skandal ini pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Atas nyanyian Vincent, petugas KPK mendatangi Vincent di Singapura guna meneliti data dan dokumen yang dimiliki Vincent.

Vincent dinilai terbukti melakukan pembobolan uang milik Bersama dua koleganya, Hendry Susilo dan Agustinus Ferry Sutanto, Vincent membuat dua perusahaan untuk menampung dana US$ 3,1 juta dari Asian Agri.

Pada Desember 2007, Pengadilan Negeri Jakarta Barat menghukum Vincent 11 tahun penjara akibat perbuatannya, dan kini ia tengah menjalani tahun ketujuh hukumannya.

Setelah perjuangan panjang, akhirnya pada November 2007, Direktorat Jenderal Pajak menetapkan 11 tersangka. Sayangnya, baru satu aktor kejahatan ini yang diadili, yaitu Suwir Laut, Manajer Pajak Group Asian Agri. Suwir dijerat Undang-undang Perpajakan No. 16 Tahun 2000 atas dugaan manipulasi Surat Pemberitahuan(SPT) 14 perusahaan Grup Asian Agri.

Pada 15 Maret 2012, Majelis Hakim Pengadilan Negeri membebaskan Suwir Laut. Putusan tersebut dikuatkan Putusan Pengadilan Tinggi pada tanggal 23 Juli 2012. Tak puas dengan putusan banding, Penuntut Umum melakukan kasasi karena merasa putusan itu banyak kejanggalan.

18 Agustus 2012, Mahkamah Agung mengabulkan kasasi, dengan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri yang membebaskan terdakwa.

Suwir laut dihukum pidana penjara 2 tahun dengan masa percobaan 3 tahun, putusan ini juga menyeret Asian Agri untuk bertanggung jawab dengan membayar pajak terutang plus denda. Total Asian Agri harus membayar Rp. 2,5 T ke negara.

Salinan putusan telah diserahkan pada 1 Februari 2013, atas putusan itu diberikan tenggat waktu 1 tahun bagi Asian Agri untuk membayarkan utang dan dendanya kepada negara. Pemberian jangka waktu 1 tahun bagi Asian Agri sangat tidak masuk akal, dan terkesan berkompromi dengan “pengemplang pajak”. Padahal KUHAP telah memerintahkan pelaksanaan putusan dilakukan dengan sesegera mungkin.

Sudah hampir 4 tahun semenjak 9 karyawan Asian Agri ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik pajak namun hingga kini mereka belum juga ditahan dan di-meja hijaukan.

Maka dari itu, ICW mendesak Kejaksaan sebagai eksekutor putusan pengadilan harus segera mengeksekusi aset aset Asian Agri.

Selain itu, ICW mendesak pihak-pihak terkait agar:

1.      Kejaksaan dan Ditjen Pajak sebagai penyidik Kasus Asian Agri juga harus mempercepat proses penuntutan 9 tersangka dan melakukan proses penahanan terhadap tersangka sekaligus menjerat Asian Agri secara korporasi.

2.      Presiden sebagai Kepala Pemerintahan yang membawahi Kejaksaan dan Direktorat Jenderal Pajak juga mesti memerintahkan percepatan penuntasan kasus hukum Asian Agri.

3.      Kejaksaan dan Direktorat Jenderal Pajak juga harus menjerat Asian Agri dengan Tindak Pidana Pencucian uang.

4.      Pengadilan Pajak harus menolak upaya banding pajak yang diajukan oleh Asian Agri.

5.      Dalam kasus Asian Agri, Kejaksaan dan Direktorat Jenderal Pajak mestinya dapat berpijak dari putusan Kasasi Suwir Laut. Majelis Kasasi yang menyatakan Suwir bersalah berarti memang telah terjadi tindak pidana perpajakan dan karenanya Tindak Pidana Asal / Predicate Crime telah terbukti.  Maka, ini mempermudah Kejaksaan menggunakan Pasal pencucian uang.

Sebagai institusi, Asian Agri seharusnya dapat dijerat pidana perpajakan juga belum diproses secara hukum. Lambatnya proses hukum dalam kasus Asian Agri Publik akan menganggap Kejaksaan tidak serius dalam mengusut tuntas penggelapan pajak terbesar yang tercatat dalam sejarah republik ini.

“Century bailout Rp 6,7 triliun, orang ribut. Kalau Bank Mutiara dijual hanya laku Rp 2 triliun, berarti negara rugi Rp 4 triliun. Sementara Asian Agri, DPR tidak pernah sekalipun hearing, tidak pernah meributkan ini padahal sudah rugi di depan mata Rp 4,5 triliun,” ujar Metta.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan