Kejaksaan Agung vs Bank Mandiri

Akhir-akhir ini dunia perbankan dan bursa efek mengalami guncangan yang cukup signifikan, sebagai dampak diperiksanya top-executives PT Bank Mandiri Tbk, termasuk direktur utamanya oleh Kejaksaan Agung atas praduga terjadinya korupsi, dengan publikasi sangat gencar sehingga membangun prasangka negatif.

Bahkan beberapa bankir BUMN sempat mengemukakan ketakutannya untuk mengambil keputusan-keputusan bisnis karena takut berbuat salah. Sampai-sampai seorang Wakil Presiden M Jusuf Kalla meminta Kejaksaan Agung agar dalam pemeriksaan terhadap manajemen bank tersebut, yang terkait dengan kredit macet pada sejumlah perusahaan (bad debtors) senilai Rp1 triliun, dilakukan secara hati-hati.

Selanjutnya Wakil Presiden, tanpa bermaksud mencampuri proses penegakan hukum, apalagi berusaha melindungi para pelanggar hukum, beranggapan bahwa dalam melakukan pemeriksaan atas kemungkinan terjadinya lending scandals tersebut menyarankan agar Kejaksaan Agung melibatkan Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan, mengingat secara empiris kondisi perekonomian negeri ini pernah terpuruk sampai titik nadir akibat perilaku tidak bertanggung jawab industri perbankan.

Sebelumnya Presiden SBY juga menyatakan optimismenya terhadap kinerja bank tersebut, sekalipun sedang mengalami pemeriksaan, karena masyarakat pasti bisa membedakan antara masalah pelanggaran hukum dan kinerja bank.

Seandainya di antara para debitur secara melawan hukum (wederrechtelijk) telah dengan sengaja mengalihkan atau menyelewengkan kredit yang telah diperoleh, tidak serta-merta para direksi bisa dilibatkan sebagai orang-orang yang turut serta melakukan (medepleger), menganjurkan (uitlokker) atau membantu (medeplichtiger) tindak pidana korupsi. Analisis kasus per kasus secara akurat harus dilakukan.

Apabila pemeriksaan di Gedung Bundar menghasilkan kesimpulan telah terjadi tindak pidana korupsi yang melibatkan direksi bank pelat merah terbesar tersebut, dan ada di antara direksi tersebut harus menyusul para pimpinan perusahaan terkait sebagai tersangka (suspect), maka segala pihak harus dapat memilah-milah antara pertanggungjawaban para pelaku dan PT Bank Mandiri Tbk. Sebagai suatu bank sehat yang masih bisa dipercaya untuk menjalankan misinya. Peringatan yang dilakukan Wakil Presiden bisa dipahami, sebab keresahan tersebut semakin meningkat mengingat adanya berita bahwa kemungkinan Kejaksaan Agung akan memperluas investigasinya terhadap jumlah pinjaman senilai Rp12 triliun yang terkait dengan pinjaman 28 perusahaan, atas dasar hasil audit BPK tahun 2004. Persoalan tampaknya akan tetap berkisar apakah lending-irregularities dengan predikat 'bermasalah' dalam praktik peminjaman harus dikategorikan sebagai tindak pidana (fraud).

Dilema BUMN

Harus diakui bahwa semenjak Bank Mandiri terbentuk pada 1998 sebagai hasil merger dari Bank Exim, Bank Bumi Daya, Bapindo, dan BDN, maka setelah mengalami proses restrukturisasi, rasionalisasi, rekapitalisasi, konsolidasi, dan perbaikan manajemen serta perbaikan aspek-aspek fundamental lain yang strategis, prestasinya cukup mengagumkan. Di samping menjadi sebuah bank domestik yang dominan, prestasinya juga mendapatkan pengakuan dunia perbankan regional dan internasional.

Pemberantasan korupsi yang sudah bersifat sistemik dan endemik serta 'berjemaah' di Indonesia tidak dapat hanya diserahkan kepada suatu lembaga, tetapi apabila perlu secara 'berjemaah' pula dan keroyokan, korupsi harus diberantas. Dari pelbagai macam tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU No 31 Tahun 1999 Jo UU No 20/2002, jenis yang akan terkait dengan persoalan kredit macet utamanya adalah ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3.

Apa yang dinamakan economic crime, dalam arti luas, mencakup tidak hanya pelanggaran ketentuan hukum pidana dengan sanksi pidana, tetapi bisa juga semata-mata merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum administrasi dan perdata. Bisa juga bersifat perpaduan (blending) antarkedua atau ketiga-tiganya.

Istilah melawan hukum (wederrechtelijk) di atas harus diartikan bahwa telah terjadi perbuatan atau tindakan di luar kewenangan/hak seseorang atau seseorang telah bertindak bertentangan dengan hukum yang ada. Dalam UU No 31 Tahun 1999 pengertiannya diperluas sehingga mencakup sifat melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijkheid), yang memasukkan pula parameter rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, di samping melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

Di sisi lain, istilah 'menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan' harus diartikan bahwa seseorang sebenarnya memiliki kewenangan yang sah yang diberikan oleh undang-undang, namun telah menyalahgunakan kewenangan tersebut. Dalam aktivitas manajemen, hal ini bisa diperdebatkan karena setiap top executives dalam suatu organisasi atau korporasi harus dimungkinkan pula untuk memiliki kewenangan diskresi dalam pengambilan keputusan, atas dasar alasan-alasan yang bisa dipertanggungjawabkan.

Sering kali yang terjadi di sini adalah penerapan, yang merupakan perpaduan atau tarik-menarik antara usaha untuk penaatan dan peningkatan kinerja dengan manajemen risiko yang terukur, yang kadang-kadang hanya bisa dihayati oleh pelaku bisnis.

Kejaksaan Agung harus berusaha keras membuktikan bahwa yang terjadi di PT Bank Mandiri Tbk mengandung elemen kecurangan, manipulasi, penyesatan, penyembunyian kenyataan, pelanggaran kepercayaan, akal-akalan atau pengelakan peraturan. Sebaliknya 'top executives' Bank Mandiri harus meyakinkan kepada siapa saja bahwa yang terjadi semata-mata adalah praktik yang didasarkan atas motivasi penerapan konsep 'creative enterprise governance'.

Untuk menghapus keragu-raguan apakah yang terjadi merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang yang bersifat kriminal, maka Kejaksaan Agung di samping harus berkoordinasi dengan BPK dan Bank Indonesia, harus mendayagunakan ahli hukum pidana dan ahli manajemen serta ahli perbankan secara komprehensif. Setiap anggota masyarakat harus dewasa dalam menyikapi kasus PT Bank Mandiri Tbk. Pada akhirnya, ECW Neloe dan kawan-kawannya harus bersifat kesatria dan jujur untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi demi kepentingan masyarakat dan negara yang lebih luas. pemberantasan korupsi harus didukung, tetapi jangan sampai terjadi 'nila setitik merusak susu sebelanga'.(Muladi, Guru Besar Undip, Semarang)

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 4 Mei 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan