Kejaksaan Agung Evaluasi 30 Kasus Korupsi
Enam sampai tujuh di antaranya terkait bantuan likuiditas Bank Indonesia.
Kejaksaan Agung akan mengevaluasi 30 kasus korupsi yang selama ini menjadi tunggakan. Sekitar enam sampai tujuh kasus terkait dengan bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) 1998-2003. Sudah diinventarisasi untuk ditindaklanjuti, kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Hendarman Supandji di Jakarta kemarin.
Evaluasi itu, kata Hendarman, dimulai dengan menginventarisasi berbagai kasus yang masuk tahap penyelidikan ataupun penyidikan. Setiap kasus, kata Hendarman, dievaluasi selama dua bukan. Berkas yang sudah lengkap segera dilimpahkan ke persidangan.
Kasus BLBI berawal dari rapat kabinet pada 3 September 1997 untuk menyelamatkan perbankan nasional karena krisis moneter. Pemerintah meminta Bank Indonesia ikut menyelamatkan bank yang bersaldo negatif. Jika tidak ditolong, bank-bank itu bisa gulung tikar.
Rapat kabinet yang dipimpin Presiden Soeharto itu menghasilkan tiga keputusan, yakni bank sehat dibantu, bank tidak sehat dimerger, dan alternatif terakhir ditutup. Bank Indonesia mengucurkan bantuan likuiditas senilai Rp 144,5 triliun. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ternyata menemukan penyelewengan dalam penyaluran bantuan ini.
Hendarman mengatakan, sudah meminta Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Suwandi untuk menyelesaikan inventarisasi tunggakan kasus korupsi 1998. Dia berharap kasus korupsi itu selesai dievaluasi pada September 2005. Kasus korupsi 1998 itu sudah penyidikan. Artinya, peristiwa pidana sudah ada, ujarnya.
Menurut Hendarman, peristiwa kejahatan kasus korupsi pada 1998 sudah jelas ada. Dia menyebutkan beberapa contoh seperti pembelian tanah yang terlalu mahal oleh Perusahaan Perumahan Nasional. Tapi kenapa ini berhenti, ujarnya. Selain itu, kasus lain meliputi pembelian barang yang terlalu mahal.
Hendarman mengatakan, evaluasi kasus korupsi itu dilakukan periodik per dua bulan secara terus-menerus. Oktober dan November nanti kasus korupsi 1999 kami selesaikan, begitu seterusnya, ujar Hendarman. Dengan pola evaluasi ini diharapkan puluhan kasus korupsi itu sudah berkurang. Saya sudah lapor ke Jaksa Agung dan minta segera diprogramkan, katanya.
Puluhan kasus tersebut, kata Hendarman, dikategorikan menjadi tiga kelompok. Pertama, pihak yang terkait dengan kasus sudah membayar tunggakan kemudian ada keputusan MPR sehingga tidak diganggu gugat lagi.
Kelompok kedua, kasus yang merugikan negara tapi tindak pidananya tidak ada. Itu diserahkan ke bagian perdata untuk dituntut ganti rugi, ujar Hendarman. Ketiga, pihak yang tidak kooperatif dan menimbulkan kerugian negara serta ada unsur pidananya. Itu yang saya rencanakan untuk maju, ujarnya.
Koordinator ICW Teten Masduki mendukung evaluasi kasus korupsi yang dilakukan Kejaksaan Agung. Terutama kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Menurut dia, selama para pelaku sudah diberi kesempatan untuk menyelesaikan di luar jalur hukum. Tapi tidak jera, katanya.
Menurut Teten, pelanggaran akan selalu terulang dalam kejahatan perbankan jika pelakunya tidak diadili. Mereka harus diberi pelajaran, katanya. Apalagi, dalam taksiran dia, kasus BLBI merugikan negara hampir Rp 600 triliun berupa utang swasta yang ditanggung pemerintah.
Tentang hukuman terhadap tiga mantan direksi Bank Indonesia pada Juni lalu, dia mengatakan belum cukup. Seharusnya lebih banyak lagi yang ditangkap, ujarnya. Apalagi hukuman yang diterima terlalu ringan. ASTRI WAHYUNI | HARUN MAHBUB
Sumber: Koran Tempo, 13 Juli 2005