Kejagung Usut BLBI Salim; Diduga Mark-Up Pelunasan, Negara Rugi Triliunan Rupiah
Kejaksaan Agung kembali berinisiatif mengusut dugaan korupsi bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Yang kini sedang dalam tahap penyelidikan adalah dua kasus yang merugikan negara triliunan rupiah. Salah satunya adalah dugaan penyimpangan penyerahan aset obligor yang dikelola PT Holdiko kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Holdiko adalah perusahaan yang dibentuk BPPN untuk mengelola recovery aset yang diserahkan oleh obligor Grup Salim. Dalam penjelasan resmi kemarin, Kejagung memang tidak menyebutkan langsung nama Grup Salim. Gedung Bundar hanya mengungkapkan bahwa ada selisih penghitungan yang merugikan negara triliunan rupiah dari aset yang dikelola Holdiko.
Sekretaris JAM Pidana Khusus (Sesjampidsus) Kemas Yahya Rahman menegaskan, kejaksaan sengaja tidak membocorkan identitas obligor karena kasusnya masih dalam tahap penyelidikan. Saya tidak bisa sebut bank dan obligornya. Nanti akan diungkap secara bertahap. Apa pun penyimpangan dan tindak pidananya, nanti akan diketahui siapa tersangkanya yang bertanggung jawab, kata Kemas dalam jumpa pers menjelang peringatan HUT Adhyaksa di Kejagung kemarin.
Kemas lantas membeberkan kronologi obligor yang menerima BLBI Rp 35 triliun pada 1998. Dalam tempo satu bulan, BLBI tersebut cair. Ini kebijakan agar bank tidak jatuh collapse, jelasnya.
Dalam perkembangannya, pada September 1998, saat penandatanganan Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA-Perjanjian Pengembalian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dengan Jaminan Aset), jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) obligor tersebut membengkak menjadi Rp 52,7 triliun. Ini didasarkan audit tidak melalui auditor independen, tetapi dihitung sendiri (oleh obligor), beber Kemas.
Pada 1999, terjadi penyerahan aset ke BPPN dan Holdiko. Dari hasil audit Lehman Brothers cs yang ditunjuk BPPN, aset yang diserahkan obligor tersebut Rp 52,6 triliun. Dari audit tersebut, utang obligor dan asetnya menjadi klop. Artinya, utangnya lunas, jelas mantan Kejati Jambi itu.
Namun, dari audit BPPN melalui Pricewaterhouse Cooper (PwC), hasil penghitungan aset hanya Rp 23 triliun. Ironisnya, hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2006, penjualan aset yang diterima BPPN menyusut jauh, tinggal Rp 19 triliun. Padahal, pada 2004, obligor ini mendapat SKL (surat keterangan lunas), tambah Kemas. Menurut dia, untuk memastikan adanya manipulasi dalam penyerahan aset, kejaksaan akan menyelidikinya.
Kemas menegaskan, obligor tersebut dapat berdalih terjadi penyusutan nilai ekonomi sehingga aset yang diserahkan ikut menyusut. Itu memang alasan benar. Namun, kami juga benar kalau berpendapat bahwa asetnya sengaja dinaikkan agar seolah-olah menyamai (nilai) utangnya, jelas Kapuspenkum pada era Jaksa Agung M.A. Rachman itu.
Menurut Kemas, jika ditemukan rekayasa dan kerugian negara, kejaksaan akan menaikkan status penyelidikan menjadi penyidikan. Kami akan cari siapa yang bertanggung jawab, tegasnya.
Selain terkait Holdiko, Kemas membeberkan kasus kedua. Namun, dia hanya menguraikan angka-angkanya, tanpa menyebut obligor dan banknya.
Kemas membeberkan, pada kasus kedua, obligor menerima BLBI Rp 37,039 triliun pada 1997. Selanjutnya, pada 1998, banknya dibekukan alias berstatus bank beku operasi (BBO). Hasil audit BPK, BLBI yang dikucurkan Rp 49,189 triliun. Pada 1998, saat penandatanganan MSAA, obligor tersebut punya JKPS Rp 28,408 triliun. Dalam perjanjian MSAA, obligor itu menyelesaikan utang melalui setoran tunai Rp 1 triliun dan sisanya penyerahan aset Rp 27,495 triliun. Ini didasarkan audit Lehman Brothers, Danareksa, dan Bahana, jelas Kemas.
Namun, pada 2000, saat diaudit PwC, nilai aset yang diserahkan anjlok tinggal Rp 1,441 triliun (5,2 persen). BPPN tetap menjual sebagian aset senilai Rp 1,8 triliun (24 persen). Obligor tersebut mendapat SKL pada 2000, kata Kemas. Pada 2007, aset yang dijual Rp 640 miliar (3,2 persen). Dari temuan kejaksaan, obligor tersebut hanya mengembalikan total uang negara Rp 3,459 triliun.
Di tempat terpisah, pengacara Holdiko, Todung Mulya Lubis, mengakui, dari paparan kejaksaan, terungkap bahwa penyerahan aset yang dipermasalahkan terkait Grup Salim. Holdiko itu kan perusahaan yang dibentuk BPPN untuk menjual aset Salim, jelas Todung saat dihubungi koran ini tadi malam.
Meski demikian, Todung yang menjadi pengacara Grup Salim, mengaku heran melihat dasar kejaksaan mengusut penyimpangan penyerahan aset kliennya ke BPPN. Semua kan sudah diserahkan secara fair. Dan, Salim selama ini mematuhi semua aturan BPPN, ujarnya.
Menurut Todung, daripada memunculkan permasalahan baru, kejaksaan disarankan mendiskusikan temuannya dengan Departemen Keuangan (Depkeu). Saya kira ini langkah bijak, ujar Todung.
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Adnan Buyung Nasution menolak mengomentari kasus BLBI kedua yang diduga mengarah pada keterlibatan Sjamsul Nursalim, obligor BLBI sekaligus pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Buyung sebelumnya memang menjadi pengacara konglomerat yang kini menetap di Singapura itu. Saya nggak bisa komentar banyak. Kejaksaan kan hanya menjelaskan angka-angka, tidak khusus menyangkut identitas obligor. Setahu saya, kejaksaan selama ini hanya menyelesaikan kasus-kasus BLBI yang belum tuntas, jelas Buyung kepada koran ini tadi malam. Dia menolak pernyataannya dikaitkan dengan posisinya sebagai pengacara Sjamsul Nursalim.
Jaksa Agung Hendarman Supandji menegaskan, kejaksaan berkomitmen mengusut semua kasus BLBI yang terindikasi korupsi. Itu menyangkut aset-aset yang diserahkan obligor ke BPPN. Ini kan banyak simpul tindak pidananya, jika memang ada rekayasa, jelas Hendarman dalam jumpa pers. Kejaksaan berupaya mengembalikan kerugian negara atas perbuatan obligor nakal tersebut.
Kemas menambahkan, untuk pengusutan kasus BLBI, jaksa agung telah mengeluarkan dua surat perintah tentang pembentukan tim jaksa, yakni bernomor 186 (tim pemeriksa) dan 187/2007 (tim penindak).(agm)
Sumber: Jawa Pos, 19 Juli 2007