Kejagung Setengah Hati; Ragu Gugat Perdata, Soeharto Masih Kritis
Upaya menggugat mantan Presiden Soeharto secara perdata kurang mendapat sambutan dari jajaran Kejaksaan Agung. Jaksa agung muda perdata dan tata usaha negara (JAM Datun) maupun Kejari Jakarta Selatan (Jaksel) bersikap setengah hati. Mereka berdalih, gugatan perdata terhadap Soeharto baru dilakukan jika ada instruksi dari Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh.
Padahal, setelah tuntutan pidana terhenti menyusul keluarnya SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan), upaya menyeret Soeharto ke jalur hukum bisa dilakukan melalui gugatan perdata. Selain itu, upaya hukum tersebut memungkinkan pengembalian kerugian negara Rp 1,7 triliun.
Saya siap saja dan akan membentuk tim, tetapi sekarang kan (instruksi jaksa agung, Red) belum terima. Saya nggak bisa maju sendiri. Persidangan perkara perdata semua ada aturan dan prosedurnya, kata JAM Datun Alex Sato Bya yang ditemui wartawan di gedung Kejagung Jakarta kemarin.
Menurut dia, gugatan perdata terhadap Soeharto secara teknis membutuhkan surat kuasa khusus (SKK) dari Kejari Jakarta Selatan selaku pihak yang menerbitkan SKPP. Kejari Jaksel selanjutnya menyerahkan legal opinion (pendapat hukum) kepada jaksa agung terkait kemungkinan gugatan perdata kasus Soeharto.
Jaksa agung akan menilai apakah pertimbangan hukumnya sudah tepat atau belum. Nah, jika sudah tepat, selanjutnya jaksa agung akan merekomendasikan kepada saya, jelas Alex yang pernah mewakili negara atas gugatan perdata kasus Newmont itu.
Kejari Jaksel, lanjut Alex, menyerahkan SKPP dan legal opinion yang dilampiri kelengkapan gugatan perdata. Ini bisa berupa surat dakwaan, berkas berisi barang bukti (kerugian negara), penetapan PN Jaksel terkait kasus Soeharto, dan dokumen lain terkait gugatan perdata. Dokumen itu untuk kepentingan gugatan di persidangan, tandas Alex.
Ditanya apakah kejaksaan memerlukan kuasa dari pengurus yayasan atas gugatan Soeharto, Alex menyatakan, hal itu merupakan langkah lanjutan yang melengkapi pengajuan gugatan. Itu langkah selanjutnya, pungkas Alex.
Sementara itu, Kajari Jaksel Iskamto terkesan lempar tanggung jawab atas kemungkinan gugatan perdata kasus Soeharto. Menurut dia, Kejari Jaksel hanya menindaklanjuti instruksi jaksa agung terkait berbagai langkah hukum kasus Soeharto. Kami belum diinstruksikan untuk membuat SKK seperti yang diminta JAM Datun. Jadi, kami pun menunggu instruksi jaksa agung atas gugatan perdata tersebut, katanya kepada koran ini di Jakarta kemarin.
Iskamto menjelaskan bahwa Kejari Jaksel baru sebatas mengeluarkan SKPP seperti instruksi jaksa agung. Tetapi, jika nanti jaksa agung menginstruksikan Kejari Jaksel menyusun legal opinion, termasuk SKK gugatan perdata kasus Soeharto, tentu hal itu akan dilaksanakan.
Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh hingga kemarin petang belum bisa dihubungi. Sejumlah wartawan yang menunggu di teras gedung Kejagung harus gigit jari. Arman -sapaan Abdul Rahman Saleh- menolak ditemui. Bahkan, ketika hendak dicegat sepulang kerja, dia memilih menghindari kerumunan wartawan.
Pada bagian lain, Wakil Ketua II Yayasan Dharmais (yayasan yang diketuai Soeharto) Indra Kartasasmita menolak berkomentar mengenai gugatan perdata terhadap Soeharto. Termasuk, kemungkinan jeratan hukum terhadap pengurus yayasan jika tidak bersikap kooperatif terhadap langkah kejaksaan tersebut. Saya no comment dululah, jelas Indra ketika dihubungi kemarin. Yang pasti, lanjut Indra, pengurus yayasan tetap menjalankan aktivitas yayasan sesuai peruntukannya.
Salah seorang pengacara Soeharto yang menangani yayasan, Hotma Sitompul, mengatakan bahwa kejaksaan tidak punya dasar untuk menggugat secara perdata kliennya.
Menurut dia, gugatan perdata bisa dilakukan jika pengadilan sudah mengeluarkan putusan berkekuatan hukum tetap atas kasus korupsi Soeharto. Kenyataannya, kejaksaan mengeluarkan SKPP sehingga proses pidananya berhenti. Nah, sekarang apa yang menjadi dasar kejaksaan untuk menggugat perdata. Nggak mungkinlah, jelas Hotma yang dihubungi secara terpisah.
Selebihnya, Hotma menolak berandai-andai mengenai kemungkinan pengajuan gugatan perdata. Tim pengacara masih menunggu kepastian langkah hukum lain dari kejaksaan menyusul keluarnya SKPP kasus Soeharto.
Sementara itu, perkembangan lain, Kejari Jaksel kemarin menyerahkan SKPP kepada Soeharto di ruang perawatannya di RS Pusat Pertamina. Penyerahan dilakukan Kasi Pidsus Kejari Jaksel Silla Pulungan kepada Siti Tutut Hardiyanti Rukmana dan pengacara Juan Felix Tampubolon yang mewakili Soeharto.
Kajari Jaksel Iskamto mengatakan, Tutut dan Juan mengucapkan terima kasih atas penyerahan SKPP tersebut. Selebihnya, mereka bersikap kooperatif atas langkah hukum yang akan dilakukan kejaksaan, ujarnya. SKPP diserahkan kemarin pukul 15.00.
Pada bagian lain, PN Jaksel menegaskan tidak bisa membuka lagi sidang Soeharto menyusul telah dikeluarkannya SKPP atas perkara korupsi tujuh yayasan tersebut.
Ketua PN Jaksel Andi Samsan Nganro mengatakan, pengadilan tidak punya kewenangan proaktif agar kejaksaan melimpahkan lagi berkas Soeharto Ini karena kejaksaan telah mengeluarkan SKPP, jelas Andi setelah menerima aktivis PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia) di gedung PN Jaksel kemarin.
Menurut dia, institusinya hanya berfungsi menerima berkas perkara yang kemudian memeriksa sekaligus mengadili kasus tersebut. Pengadilan menerima berkas yang dilimpahkan oleh kejaksaan. Kami bersidang berdasar itu, kata Andi seraya menyatakan belum menerima tembusan SKPP dari Kejari Jaksel.
Sekadar mengingatkan, Kejagung beberapa waktu lalu menerbitkan SKPP kasus korupsi tujuh yayasan senilai Rp1,3 triliun dan USD 419 juta. Jaksa agung beralasan Soeharto tidak bisa dihadirkan di sidang karena mengalami gangguan kesehatan. Perkara korupsinya dinyatakan gugur demi hukum meski kelak bisa dibuka lagi jika Soeharto sembuh. Nah, dengan berakhirnya proses pidana, kejaksaan mungkin menjajaki peluang menggugat Soeharto secara perdata untuk mengembalikan kerugian negara yang bernilai triliunan rupiah tersebut.
Kondisi kesehatan mantan Presiden Soeharto tetap tidak stabil. Tadi malam, Tim Dokter Kepresidenan memberitahukan bahwa kondisi Soeharto tak kunjung membaik. Bahkan, hingga hari kedelapan, masa kritis belum terlewati. Semula, tim dokter memperkirakan masa kritis lima hingga tujuh hari.
Dihubungi Jawa Pos melalui telepon tadi malam, Ketua Tim Dokter Kepresidenan Mardjo Soebiandono mengungkapkan, Soeharto tidak bisa menerima asupan kalori, baik melalui infus maupun melalui selang makanan yang langsung dihubungkan ke usus besarnya.
Darah Pak Harto yang menggumpal menyulitkan masuknya cairan infus. Untuk melalui lambung, tidak ada pergerakan usus yang bisa mencerna makanan, ungkap Mardjo.
Bukan menambah kalori, makanan yang diberikan melalui usus justru membuat perut Soeharto membengkak sehingga makanan yang telanjur masuk harus dipompa keluar.
Meski terakhir dilaporkan sudah ada pergerakan usus, hal tersebut belum signifikan untuk menambah jumlah kalori pada mantan orang nomor satu di Indonesia itu. Orang normal rata-rata butuh 2.000 sampai 3.000 kalori setiap hari, namun untuk Pak Harto dalam kondisi sakit, kami targetkan 1.500 per hari. Itu pun sangat sulit dicapai, ungkapnya
Bukan hanya itu kendala yang dihadapi Soeharto. Yang lebih parah, saat ini tim dokter menghadapi dilema serius. Pada satu sisi Soeharto membutuhkan obat pengencer darah agar gumpalan darah yang mengancam timbulnya stroke bisa diencerkan. Namun, jika obat pengencer darah tersebut diberikan, hal itu justru memicu terjadinya pendarahan.
Pendarahan tersebut keluar dari bekas luka operasi atau tempat pemasangan selang makanan di lambung. Namun, jika tidak diberikan, itu akan memicu terjadinya vibrilasi atau denyut jantung yang tidak teratur. Keduanya sangat berbahaya bagi Soeharto. Ini seperti buah simalakama, ungkapnya.
Dia menambahkan, hal itu membuat tim dokter serbasalah. Tim dokter, lanjut dia, sedang berusaha menyeimbangkan pendarahan dan mengoptimalkan kerja usus untuk mencerna. Usia Soeharto yang lanjut dan riwayat kesehatan yang memburuk akhir-akhir ini membuat tim dokter harus ekstra hati-hati membuat keputusan.
Dapat dikatakan kondisi Bapak saat ini sangat kritis, ungkapnya. Fase kritis tersebut lebih panjang dari perkiraan dokter sebelumnya yang diperkirakan 5-7 hari.
Dalam konferensi pers di Auditorium RSPP pada pukul 09.30 tadi pagi, tim dokter melaporkan kondisi Hb Soeharto naik dari 9,7 gram persen menjadi 10,3 gram persen. Meski masih ada pendarahan di saluran cerna, tim dokter memilih berhati-hati melanjutkan transfusi darah untuk mencapai target Hb 11 gram persen.
Menurut Direktur RSPP Adji Suprajitno, tim dokter saat ini memilih mengganti transfusi darah karena mempertimbangkan faktor kelainan pada paru-paru Soeharto yang banyak mengandung cairan. Kalau terlalu banyak, takut mengintrusi paru-paru dan menambah cairan. Meski demikian, kami stand by darah. Kami sedang berusaha memasukkan kalori ungkapnya.
Dia menambahkan, tim dokter saat ini mendasarkan tindakan pada respons fisik Soeharto. Kondisi terakhir Soeharto sadar penuh, namun masih lemah dan sering mual-mual. Hal tersebut disebabkan saluran cerna yang belum berfungsi baik. Meski dapat berbicara, Pak Harto lebih banyak tertidur, ungkapnya.
Pada pukul 15.30 kemarin, Jawa Pos menerima informasi bahwa Suharto akan menjalani CT-scan. Bersama beberapa wartawan, Jawa Pos menunggu di selasar lantai satu. Ketika dikonfirmasi, Mardjo Soebiandono mengatakan, kondisi Soeharto tidak mungkin dilakukan tes CT-scan. Kondisi bapak sangat kritis, mungkin besok (hari ini, Red) baru bisa diputuskan, ujarnya.
Kepada Jawa Pos tadi malam, Mardjo mengungkapkan, CT-scan diperlukan untuk mengontrol perkembangan kesehatan, di samping untuk mengetahui secara lengkap kondisi Soeharto.
Soeharto kemarin terlihat dijenguk pengacaranya, Juan Felix Tampubolon, Camelia Malik, dan Ali Alatas yang datang bersama istrinya. Kepada wartawan, mantan menteri luar negeri itu mengungkapkan bahwa dirinya tidak sempat bertemu Soeharto dan hanya ditemui anak-anaknya. (agm/ein)
Sumber: Jawa Pos, 16 Mei 2006