Kejagung Periksa Dirut Merpati

Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines Sardjono Jhony Tjitrokusumo atas dugaan korupsi pengadaan pesawat Merpati MA 60.

Pemeriksaan ini sebagai bentuk responsif lembaga penegak hukum itu atas dugaan adanya mark up saat pengadaan pesawat Merpati MA 60. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Andhi Nirwanto menegaskan, pemeriksaan tersebut masih merupakan rangkaian penyelidikan sehingga penjelasan kasus tersebut menunggu hasil kesimpulan penyidik yang sudah mengumpulkan data dan keterangan.

“Memang benar telah dilakukan suatu kegiatan penyelidikan terhadap kasus Merpati MA 60. Jadi ini merupakan sikap responsif dari kejaksaan atas penegakan hukum terhadap masalah-masalah yang terjadi di masyarakat,” jelasnya. Andhi menuturkan, penyelidikan ini dilakukan kejaksaan berdasar pada pemberitaan media massa yang ada dan tanpa adanya delik aduan.

Dia menerangkan bahwa kasus ini masih dalam tahap pengumpulan data dan informasi dari sejumlah pihak. “Saya kira wartawan sudah memberitakan, jadi kita sifatnya baru mengumpulkan bahan keterangan maupun mengumpulkan data. Nanti tim penyelidik yang mengumpulkan data,”tuturnya.

Andhi menegaskan, saat ini belum ada pihak yang ditetapkan sebagai tersangka ataupun saksi dalam kasus ini. Dirinya juga mengaku belum bisa menyebutkan siapa saja yang akan diperiksa selain Dirut Merpati,termasuk melakukan pemanggilan pihak-pihak lain seperti Menteri Perdagangan, mantan Menteri BUMN untuk dimintai keterangan.

“Saya belum sampai ke sana. Nanti ya, kita lihat.Tergantung tim penyelidik yang kira-kira dapat dimintai keterangan maupun bahan informasi sebanyak banyaknya,” ujar mantan Sekretaris Jampidsus tersebut. Tidak hanya itu,Andhi juga tidak bersedia mengiyakan adanya proses tender dalam pembelian pesawat yang dibeli dari China tersebut.

Andhi memastikan akan berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas masalah dugaan korupsi pembelian pesawat tersebut. Begitu pula dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengetahui jumlah kerugian negara atas kasus Merpati.

Direktur Utama Merpati Sardjono Jhony Tjitrokusumo seusai menjalani pemeriksaan oleh penyidik Kejagung mengatakan, kedatangan dirinya di Kejagung untuk menjelaskan proses pengadaan pesawat jenis MA 60 buatan China.“Cuma ditanya saja tentang proses pengadaan,”ujar Jhony seusai pemeriksaan.

Jhony menjelaskan,dirinya ditanya soal kewenangannya selaku dirut atas pengadaan pesawat tersebut. Namun dia mengaku baru bergabung dengan pihak Merpati Airlines setelah proses pengadaan pesawat MA 60 tersebut selesai. Disinggung soal penolakan Jusuf Kalla terhadap pembelian pesawat jenis MA 60 ini, diakuinya penyidik Kejagung juga mempertanyakan hal itu.

Namun, kata dia, dalam dokumen milik manajemen Merpati yang baru tidak ada perihal penolakan tersebut. Seperti diketahui, pembelian pesawat Merpati tipe MA 60 dari China ini menuai kontroversi menyusul kecelakaan pesawat Merpati di Teluk Kaimana, Papua Barat,pada Sabtu (7/5). Banyak tudingan adanya hal yang tidak wajar dalam proses pembelian pesawat akhir tahun lalu itu. m purwadi
Sumber: Koran Sindo, 26 Mei 2011
---------
Kejaksaan Periksa Direktur Utama Merpati

Kejaksaan Agung kemarin memeriksa Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines Sardjono Jhony Tjitrokusumo berkaitan dengan proses pembelian pesawat MA-60 buatan Xi’an Aircraft Industry, Cina, yang terindikasi korupsi.

“Pertanyaannya lumayan banyak,” ujar Jhony di Gedung Bundar, selepas pemeriksaan yang berlangsung selama empat jam.

Jhony menuturkan, sejak ia menjabat direktur utama pada 27 Mei 2010, direksi Merpati tidak melakukan perubahan dalam klausul pengadaan pesawat. Saat pesawat tiba, sertifikat pesawat, pembiayaan, dan rencana bisnis untuk mengoperasikan MA-60 sudah tersedia.

“Jadi, kami tinggal melihat kelayakan terbangnya,” ujar mantan pilot Etihad ini. Dia pun menegaskan, harga satuan MA-60 wajar dan direksi Merpati tak pernah memanipulasi biaya pengadaan pesawat.

Berkat negosiasi direksi Merpati dengan pemerintah, kata dia, harga satuan pesawat malah turun dari harga awal yang sekitar US$ 15 juta per unit.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Andi Nirwanto belum bisa menyampaikan hasil penyelidikan pengadaan MA-60. “Apakah ditemukan unsur kesalahan atau tidak, tim penyidik yang akan menyimpulkan,” ujarnya.

Proses pengadaan MA-60 dimulai pada 2005 untuk menggantikan armada Merpati yang sudah tua. Pada 24 November 2005, Xi'an dan Merpati menyepakati perjanjian jual-beli 15 unit MA-60.

Pada 7 Juni 2006, kedua pihak meneken kontrak pembelian 15 unit pesawat senilai total US$ 232,44 juta, atau sekitar US$ 15,4 juta per unit.

Selanjutnya, pada 28 Agustus 2007 dilaksanakan penyerahan dua unit MA-60 dengan pola sewa operasional. Dari sini mulai berkembang polemik mengenai harga dan proses pengadaan pesawat. Cina sempat mengancam menyeret Merpati ke arbitrase internasional dan membatalkan pinjaman untuk proyek listrik 10 ribu megawatt.

Setelah amendemen pada 7 April 2010, harga pesawat ditambah buyer optional equipment turun menjadi US$ 12 juta per unit. Kasus ini mencuat ke publik setelah satu MA-60 yang baru setahun beroperasi jatuh di perairan Kaimana, Papua Barat, 7 Mei lalu. Sebanyak 25 orang awak dan penumpang tewas dalam kecelakaan itu. JAYADI SUPRIADIN | EFRI RITONGA
 
Sumber: Koran Tempo, 26 Mei 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan