Kejagung Istimewakan Nursalim; Enam Pemegang SKL Lain Belum Dapat SP3 [23/07/04]

Sjamsul Nursalim, tersangka megakorupsi bernilai Rp 10,5 triliun dalam kasus BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia), kini bisa bebas ke mana-mana. Dia tak perlu khawatir diburu-buru aparat penegak hukum. Sebab, Jaksa Agung MA Rachman memutuskan untuk menghentikan penyidikan perkara konglomerat yang kini berada di Singapura itu.

Menurut Rachman, SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara) tersebut diterbitkan karena pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) itu telah mengantongi SKL (surat keterangan lunas) dari pemerintah. Iya (memang benar). Kalau sudah ada SKL, ya kita terbitkan SP3, ujar Rachman setelah acara peringatan Hari Bhakti Adhyaksa ke-44 di Gedung Kejagung kemarin. SP3 tersebut diterbitkan pada 13 Juli 2004.

Penghentian penyidikan itu, kata Rachman, mengacu pada Inpres Nomor 8/2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasar Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Debitor yang kooperatif dengan membayar utang-utangnya dijamin mendapatkan SKL sehingga tuntutan pidananya tidak bisa dilanjutkan.

Selain Nursalim, lanjut Rachman, Kejagung sudah menerima SKL dari para debitor lain. Berdasar catatan yang diterima koran ini, selain Nursalim, ada enam debitor lain yang sudah mengangtongi SKL.

Pemberian SP3 buat Nursalim itu dapat dibilang istimewa. Sebab, di antara tujuh obligor yang sudah mengantongi SKL, hanya dia yang penyidikan perkaranya dihentikan. (lihat grafis).

Menanggapi keistimewaan yang diperoleh Nursalim tersebut, Kapuspenkum Kejagung Kemas Yahya Rahman mengatakan itu hanya kebetulan. Pemegang SKL yang lain (di luar Nursalim) sedang diproses SP3-nya, ujarnya.

Selain itu, dia membantah ada intervensi politik. Kami (Kejagung) hanya melaksanakan Inpres Nomor 8/2002 dan kesepakatan pemerintah-Komisi II DPR, katanya.

Yang jelas, tambah dia, dengan keluarnya SP3 untuk Nursalim, otomatis status cekalnya dicabut. Langkah Jaksa Agung yang hanya mengeluarkan SP3 untuk Nursalim itu, dipersoalkan oleh para obligor pemegang SKL lainnya. Mereka menganggap Kejagung inkonsistensi dalam menangani perkara korupsi BLBI.

Kalau kasus korupsi Nursalim dapat dihentikan setelah melunasi utang, tentunya, klien saya pun harus dibebaskan juga. Klien saya sanggup melunasi kewajibannya (utang), kata Denny Kailimang, pengacara terdakwa korupsi BLBI Bank Umum Nasional (BUN) Leonard Tanubrata dan Kaharuddin Ongko yang kasusnya hingga sekarang masih berada di tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA).

Namun, lanjut Denny, kenyataannya Kejagung selama ini bersikap berbeda dalam penanganan perkara kliennya. Jaksa justru melakukan upaya kasasi terhadap vonis bebas di tingkat banding di Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, dalam kasus korupsi BLBI BUN senilai Rp 495 miliar. Ini sungguh tidak adil. Kalau satu tersangka dibebaskan, masak yang lain juga dibebaskan, kata pengacara yang berkantor di kawasan Menteng Jakarta Pusat ini.

Lebih jauh lagi, penerbitan SP3 atas kasus korupsi BLBI potensial menimbulkan preseden buruk bagi penegakan hukum di tanah air. Karena membuka peluang bagi bebasnya para pelaku korupsi yang telah mengembalikan dana hasil korupsinya. Jangan heran jika di penjara nantinya tidak ada narapidana koruptor karena ramai-ramai bebas setelah mengembalikan duit korupsinya, kata Denny seraya mencontohkan, dua terpidana korupsi Bulog Rp 40 miliar Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang pun harus dibebaskan.

Hal yang sama juga dikemukakan LLM Samosir, pengacara terdakwa skandal BLBI Bank Servitia David Nusawijaya alias NG Tjuen Wie. Menurut Samosir, Kejagung seharusnya bersikap fair menyikapi pemberian status SP3 terhadap para pelaku korupsi BLBI, dengan menerapkan langkah serupa terhadap para terdakwa yang beriktikad baik mengembalikan kerugian negara. Tak terkecuali terhadap klien saya, kata Samosir. David Nusawijaya adalah terpidana skandal korupsi BLBI Bank Servitia senilai Rp 1,3 triliun, yang hingga sekarang belum dieksekusi.

Langkah Kejagung menerbitkan SP3 terhadap Nursalim, dikecam oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Kwik Kian Gie.

Kwik menilai, penghentian SP3 itu tidak sesuai dengan koridor hukum dan menyesatkan. Kwik juga mengatakan, Nursalim tidak pantas diberi SP3 karena masalah SKL-nya saja masih perlu dipertanyakan. Lagi-lagi kebijakan aneh dikeluarkan. Apa gunanya para pengutang kakap itu diberi pengampunan. Saya tahu, sebenarnya para debitor itu tidak mengalami kebangkrutan. Tapi, mereka sengaja melarikan dananya ke luar negeri, tutur Kwik kepada koran ini.

Apalagi, tutur mantan Ketua Litbang PDIP itu, para debitor hanya memenuhi 30 persen kewajibannya dengan menggunakan Sertifikat Bukti Hak (SBH). Sejatinya, imbuh dia, konglomerat hitam itu harus mengembalikan kewajibannya hingga 80 persen, bukan 30 persen.

Karena itu, Kwik menyarankan agar Kejaksaan Agung memeriksa mantan pejabat atau pejabat BPPN yang masih aktif terkait dengan pemberian SKL ini. Pasalnya, SKL justru diberikan kepada debitor hitam semacam Sjamsul Nursalim melalui surat khusus diluar perjanjian Master Settlemen Acquitition Agreement (MSAA).

Sedangkan Indonesian Coruption Watch (ICW) menganggap pemberian SP3 kepada Nursalim oleh Kejagung jelas sangat tidak rasional dan kontroversial. ICW meminta Kejaksaan Agung RI membatalkan SP3 Nursalim dan menghentikan pemberian SP3 kepada para debitur dan tersangka kasus korupsi lainnya meskipun telah menerima SKL dari BPPN.

Kami juga meminta Mahkamah Agung (MA) RI mengabulkan gugatan hak uji materiil (judicial review) yang diajukan oleh beberapa NGO dan tokoh masyarakat yang saat ini masih dalam proses pemeriksaan di MA dan menyatakan tidak sah atau cacat hukum serta membatalkan Inpres No. 8 Tahun 2002, kata Wakil Koordinator ICW, Luky Djani dalam releasnya.

ICW juga mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih kasus korupsi Nursalim dari Kejaksaaan.

Secara terpisah, wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tumpak Hatorongan Panggabean, menyatakan kebijakan penerbitan SP3 terhadap para tersangka kasus korupsi BLBI merupakan kebijakan pemerintah yang telah dipertimbangkan dengan masak-masak. Dengan demikian, sudah dihitung untung ruginya terhadap masa depan penegakan hukum, khususnya kasus korupsi.(agm/yun/dja/naz)

Sumber: Jawa Pos, 23 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan