Kejagung Akui Salah; Penerapan Sistem Neraca Keuangan

Kejaksaan Agung (Kejagung) mengakui, laporan neraca keuangannya belum mengikuti ketentuan sistem akuntansi instansi (SAI) yang ditetapkan Departemen Keuangan (Depkeu). Lembaga yang dipimpin Hendarman Supandji itu, ternyata, masih menggunakan pencatatan single entry, yang menyalahi UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Jaksa Agung Muda (JAM) Pengawasan M. S. Rahardjo mengatakan, digunakannya sistem pencatatan yang berbeda itu mengakibatkan jumlah uang pengganti korupsi yang disetorkan kepada negara berbeda antara yang dimiliki kejaksaan dan Depkeu.

Karena itu, kami akan menyempurnakannya. Kami akan bertemu dengan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) untuk membicarakan permasalahan tersebut, jelas Rahardjo seusai mengikuti acara pisah sambut eselon II di gedung JAM Perdata dan Tata Usaha Negara kemarin (4/9).

Pertemuan antara kejaksaan dan BPKP dilaksanakan hari ini (5/9) di gedung Kejagung. Dalam pertemuan tersebut, akan dibahas mekanisme sistem penghitungan agar hasilnya sama.

Selain itu, lanjut dia, pertemuan tersebut membahas penilaian disclaimer (tidak menyatakan pendapat) oleh BPK terkait dengan laporan neraca keuangan kejaksaan. Itu juga akan dibicarakan, ujar Rahardjo. Dalam pertemuan dengan BPKP itu, dari kejaksaan akan hadir jajaran pengawasan, pembinaan, pidana khusus dan perdata, serta tata usaha negara.

Verifikasi dari BPK itu diperlukan karena dapat membantu membangun sistem pencatatan keuangan yang lebih baik. BPKP bersedia membantu kami untuk membangun sistem yang ada. Sekarang itu kan BPK pengawasan eksternal pemerintahan, sedangkan BPKP internal, jelas Rahardjo.

Ditanya apakah kejaksaan akan mengikuti sistem penghitungan double entry seperti yang ditetapkan Depkeu, Rahardjo mengatakan bergantung hasil pertemuan nanti. Yang jelas, dalam term of reference (TOR), akan disepakati standar pemeriksaan sehingga dapat diketahui validitas data yang selalu berubah. Sistem dan format yang disepakati nantinya digunakan BPKP untuk memverifikasi laporan keuangan kejaksaan, jelas mantan kepala Kejati Jawa Timur itu.

Rahardjo mengakui, kejaksaan punya data-data terkait uang pengganti tersebut dari seluruh kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri di Indonesia. Sebetulnya, kami itu mengaudit tiap tahun. Tapi, dengan masalah yang mencuat di media seperti itu, kami evaluasi lagi dan perbaiki, ujar Rahardjo.

Sebelumnya, dalam pertemuan kejaksaan, Depkeu, dan BPK di gedung BPK Senin (3/9), BPK menyatakan opini disclaimer atas neraca keuangan Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung dinilai masih belum mengikuti sistem akuntansi instansi (SAI) sehingga terjadi perbedaan besarnya uang pengganti dengan Depkeu.

Kejaksaan juga dianggap menggunakan mata anggaran penerimaan (MAP) yang keliru. Contohnya, setoran Rp 9,525 miliar yang masuk ke MAP 423473 (pendapatan atas denda administrasi BPHTB), padahal seharusnya masuk dalam MAP 424111 (pendapatan uang sitaan hasil korupsi yang telah ditetapkan pengadilan). Sementara itu, yang menampung hasil setoran uang pengganti adalah MAP 424114 (pendapatan uang pengganti tindak pidana korupsi yang ditetapkan pengadilan) dan MAP 424514 (pengembalian pendapatan uang pengganti tindak pidana korupsi yang ditetapkan pengadilan). (agm)

Sumber: Jawa Pos, 5 September 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan