Kegentingan Selimuti Kantor KPK
Suasana genting, penuh tanda tanya, sempat menyelimuti kantor Komisi Pemberantasan Korupsi di kawasan Kuningan, Jakarta, sepanjang Rabu (15/7). Hal ini terkait informasi yang beredar sejak beberapa hari terakhir bahwa sejumlah pimpinan komisi itu akan diproses hukum.
Suasana ”tak nyaman” itu makin terasa karena ada informasi Rabu kemarin, Kejaksaan Agung dan Polri menggelar koordinasi untuk membahas sejumlah kasus yang diduga melibatkan pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selanjutnya, pukul 15.00, sejumlah pimpinan dan pejabat KPK akan menjadi tersangka untuk dua kasus. Pertama, dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen, yang antara lain menjadikan Ketua KPK nonaktif Antasari Azhar sebagai tersangka dan ditahan Polri.
Kedua, kasus dugaan suap dalam pengusutan korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan. Dalam kasus ini pejabat KPK dikabarkan menerima suap dari PT Masaro yang merupakan rekanan dalam proyek itu.
Secara terpisah, Jaksa Agung Hendarman Supandji, Rabu malam di Kejagung, Jakarta, mengakui memang ada rencana pertemuan dengan jajaran Polri. Namun, pertemuan itu tertunda.
Rabu, Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Inspektur Jenderal Hadiatmoko datang ke Kejagung. Kedatangannya itu diduga terkait berbagai kasus yang diduga melibatkan sejumlah pejabat KPK. Namun, Hendarman menyatakan, kedatangan Hadiatmoko dalam rangka koordinasi biasa terkait kasus di Batam, Kepulauan Riau.
Penggiat berdatangan
Suasana di kantor KPK, Rabu siang, bertambah hangat ketika sejumlah penggiat gerakan antikorupsi datang ke KPK. Mereka antara lain praktisi hukum Todung Mulya Lubis, Patra M Zen dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Teten Masduki (Transparansi Internasional Indonesia), Bivitri Susanti (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan), Emerson Yuntho dan Febri Diansyah dari Indonesia Corruption Watch (ICW).
Teten menyatakan, tiga wakil ketua KPK yang ditemuinya, yaitu Bibit Samad Rianto, Chandra M Hamzah, dan M Jasin, dengan tegas mengatakan tidak menerima suap dari PT Masaro seperti yang diisukan selama ini.
”Kami juga melihat tudingan yang selama ini ditujukan kepada pimpinan KPK tak memiliki bukti kuat. Jika mereka tetap diproses hukum, masyarakat dapat melihatnya sebagai upaya balas dendam karena KPK mencium adanya kasus korupsi yang diduga melibatkan petinggi Polri. Kepala Polri harus menjelaskan masalah ini,” kata Teten.
Teten juga melihat proses hukum terhadap pimpinan KPK sebagai upaya pelemahan dan pendelegitimasian komisi itu.
Todung menuturkan, KPK hanya dapat dibubarkan jika indeks persepsi korupsi di Indonesia sudah mencapai 5, seperti Malaysia. Saat ini indeks persepsi korupsi Indonesia baru 2,6.
Hingga Rabu pukul 15.00 belum ada pengumuman dari Kejagung. Ada juga informasi rapat koordinasi itu tak jadi diselenggarakan. Sejumlah penggiat gerakan antikorupsi dan wartawan pun mulai meninggalkan gedung KPK.
Namun, sekitar pukul 18.00, puluhan wartawan datang kembali ke KPK karena ada informasi, pukul 19.00 akan digelar jumpa pers di Kejagung tentang sejumlah kasus yang diduga melibatkan pejabat KPK. Informasi ini makin diyakini kebenarannya karena pimpinan KPK juga masih berada di kantornya. Mereka semua sulit dihubungi.
Namun, ketegangan itu lambat laun mulai berkurang ketika pada pukul 21.00 beredar informasi rakor di Kejagung memang dibatalkan. Pada saat yang hampir bersamaan, Chandra M Hamzah juga terlihat keluar dari gedung KPK. Namun, tidak ada pernyataan yang dikeluarkannya.
Khianati reformasi
Todung dan politisi Budiman Sudjatmiko secara terpisah, Rabu, menilai KPK adalah lembaga yang menjadi buah reformasi. Bila KPK dimandulkan atau dibubarkan, hal itu sama dengan mengkhianati reformasi. KPK harus mendapat advokasi dari masyarakat agar kepentingan politik dan ekonomi tidak memberangus komisi itu.
Todung mengakui, ia melihat suasana mendung di KPK. Saat ini KPK sedang dihantam kiri dan kanan dengan berbagai kepentingan yang bermain dan ditambah dengan rivalitas antarinstitusi penegak hukum.
”KPK merupakan anak kandung reformasi. Roh reformasi adalah pemberantasan korupsi. Sekarang kalau KPK dikerdilkan, reformasi berarti dikhianati. Saya prihatin dan cemas, KPK yang merupakan institusi yang punya kewenangan, tetapi sekarang semakin dipereteli. Saya berharap KPK tidak menyerah karena masyarakat berada di belakangnya,” papar Todung.
Budiman mengatakan, KPK adalah lembaga yang harus mendapat advokasi dari masyarakat. Ia juga meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jangan menjadikan KPK sebagai alat politik yang ketika sudah tidak dibutuhkan kini dipojokkan.
”KPK adalah satu dari sedikit lembaga negara yang masih dipercaya masyarakat, kini ingin dilumpuhkan. Saya kira masyarakat harus melakukan advokasi kepada KPK saat ini,” katanya.
Teten mengakui, belakangan ini memang ada upaya sistematis untuk melemahkan pemberantasan korupsi di negeri ini. Selain membunuh aspirasi masyarakat, upaya itu juga pembunuhan terhadap cita-cita reformasi yang dikumandangkan 11 tahun lalu, yaitu terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Menurut Teten, usaha sistematis pelemahan pemberantasan korupsi itu antara lain dengan dikatung-katungkannya pembahasan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan RUU Tindak Pidana Korupsi. (nwo/jos/vin)
Sumber: Jawa Pos, 16 Juli 2009