Kegamangan Komisi Yudisial

Pendaftaran untuk menjadi anggota Komisi Yudisial berakhir 4 Maret 2005 ini setelah dibuka sejak 3 Februari lalu. Pendaftaran itu akan menyeleksi 14 (empat belas) personel dan menetapkan 7 (tujuh) di antara mereka sebagai anggota Komisi Yudisial.

Mereka nanti menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR untuk kemudian diajukan ke presiden (vide pasal 28 ayat 5) UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Kesemua prosedur itu adalah dalam rangka memenuhi amanat undang-undang tesebut yang mengharuskan terbentuknya Komisi Yudisial 10 (sepuluh) bulan sejak 13 Agustus 2004. Artinya, paling lambat Juni mendatang, lembaga ini sudah harus terbentuk dan mulai bekerja.

Dalam perspektif yuridis, lembaga itu dibentuk untuk memenuhi amanat konstitusi dalam kerangka menciptakan lembaga yidikatif yang bersih (clean yudicative) melalui pendekatan individual, yaitu para hakim yang menangani perkara di pengadilan. Dari hakim yang bersih, pada hilirnya, diidealkan akan diperoleh sebuah putusan lembaga peradilan yang mencerminkan nilai keadilan masyarakat yang berpihak kepada keadilan universal.

Satu di antara komponen yang bisa mewujudkan hal itu adalah performance hakim yang bersifat netral, termasuk tidak ada orientasi (khususnya materi) dalam putusan yang dijatuhkan. Sudah menjadi wacana umum bahwa pada konteks tertentu, sebuah putusan lahir setelah melalui negosiasi dengan motif uang.

Aspek Represivitas
Aspek yang lebih menonjol dari keberadaan komisi itu adalah sifat represif. Hal ini terbaca dari tugas utamanya, yaitu mengawasi perilaku para hakim yang dikemas dalam sebuah tema filosofis: menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.

Selain aspek administratif, yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR untuk diproses lebih lanjut berdasarkan ketentuan yang berlaku, adanya kekhawatiran tumpang tindihnya kinerja Komisi Yudisial dengan MA yang selama ini punya otoritas mengawasi para hakim (setelah sebelumnya ada di Departemen Kehakiman) secara teoretis ditepis dengan deskripsi kinerja komisi ini, bahwa tugasnya senantiasa berkoordinasi dengan MA. Sementara yang akan menindak hakim nakal tetap pada MA (vide pasal 21 dan 23 UU No 22/2004).

Dapat dinyatakan bahwa kelahiran Komisi Konstitusi hasil amandemen keempat UUD 1945 itu sebagai produk reformasi yang begitu bersemangat melakukan perubahan dan penataan kembali terhadap berbagai lembaga negara setelah sekian lama terkungkung di dalam status quo, rutinitas, bahkan kemandekan.

Pada waktu itu, begitu juga dalam perkembangan selanjutnya, lahir berbagai lembaga di bawah nama yang serem-seremeng, tetapi dalam perjalanannya secara ekstrem seperti pepatah: bak kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau.

Simak, begitu banyak komisi atau sejenis komisi yang ada hingga sekarang yang dibentuk dengan begitu menggebu, tapi output-nya relatif kecil, bahkan tidak jelas. Ada Ombudsman Nasional, ada Komnas HAM, ada Komisi Hukum Nasional, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran Indonesia, KPK, Komisi Pengawas Kepolisian, dan banyak komisi lain. Kalau mau diurai satu per satu, berbagai komisi itu tidak ada yang luput dari kendala operasional yang sulit ditilik dari mana sumbernya.

Inti kendala itu adalah pada paradigma berpikir pembentuk undang-undang bahwa berbagai keruwetan dapat diselesaikan dengan membentuk lembaga baru yang bertugas mengatasi penyimpangan. Ibarat memberantas nyamuk, orientasinya senantiasa dibuat obat nyamuk, bukannya pada pembersihan sarang nyamuk.

Komisi Yudisial juga akan kesulitan menghadapi institusi yang begitu besar, yaitu lembaga peradilan yang sudah sekian lama terbentuk, dan sekian lama pula berkembang dinamis dalam konteks penegakan hukum. Sementara itu, komisi ini baru (akan) dibentuk dengan power yang kiranya belum diproteksi oleh kekuatan lain yang jelas ketika berhadapan dengan institusi peradilan yang memiliki power sangat besar dan mapan.

Kinerja Komisi Yudisial juga akan berhadapan dengan aspek sosiokultural masyarakat yang senyatanya begitu permisif dengan lembaga peradilan. Mampukah lembaga itu menghadapi keruwetan rimba praktik peradilan yang sudah begitu menggurita? Gejala yang terasakan ada dan terkatakan tiada adalah adanya mafia peradilan yang bersumber dari moralitas penegak hukum, khususnya hakim.

Secara institusional, ibarat penyakit, mafia peradilan yang sumbernya adalah moral para penegak hukum tesebut sudah amat parah. Lembaga baru yang dibentuk -kendati diproteksi UU- akan berhadapan dengan gurita yang sangat kompleks tersebut. Kuatkah lembaga itu menghadapi kondisi demikian, hanya waktu yang bisa membuktikan.

Secara normatif, kekuatan itu sekurangnya dapat dicermati dari pola rekrutmen anggota Komisi Yudisial yang mengisyaratkan profil yang bukan pegawai negeri dan berkecimpung dalam bidang hukum paling singkat 15 (lima belas) tahun. Artinya, yang akan menjadi anggota komisi itu adalah orang yang selama ini tahu seluk beluk hukum dan bukan mustahil (objektifnya) pernah melakukan penyimpangan hukum.

Mereka itulah yang bertugas mengawasi para hakim di Indonesia melalui kinerja yang mengandalkan pada laporan masyarakat atas perilaku hakim. Subjek hukum yang peduli terhadap perilaku hakim dan mau melaporkan tentunya adalah warga yang benar-benar merasa sakit atau merasa disakiti atas kinerja pengadilan dan siap menyertai proses panjang untuk mengatasinya bersama Komisi Yudisial. Berapa banyak orang yang peduli terhadap penyertaan ini?

Gambaran di atas memberikan kesan pesimistis terhadap kinerja Komisi Yudisial. Namun, kenyataan itulah yang akan dihadapi lembaga yang akan lahir dan berhadapan dengan rimba hukum di tanah air yang sedemikian kompleks ini.(Prof Dr Samsul Wahidin, direktur Pascasarjana Ilmu Hukum Unlam Banjarmasin)

tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 2 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan