Kecilnya Dana tidak Halangi Praktik Penyunatan [27/06/04]
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Pepatah itu rasanya cocok menggambarkan dunia pendidikan Indonesia. Kecilnya anggaran yang diterima ternyata tidak menghalangi praktik penyunatan dan penyelewengan dana.
Dalam amendemen UU 1945 disebutkan bahwa porsi minimal anggaran pendidikan adalah 20% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada praktiknya, persentase yang didapat jauh di bawah itu. Jika seharusnya sektor pendidikan mendapat sekitar Rp75 triliun dari total APBN Rp374,3 triliun, kenyataannya hanya Rp16,7 triliun. ''Sangat kecil, apalagi masih harus dibagi untuk beberapa direktorat,'' kata Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Departemen Pendidikan Nasional Indra Jati Sidi kepada Media di ruang kerjanya, Jumat (25/6).
Meski jumlah anggaran pendidikan jauh dari yang dirumuskan, ternyata tidak menghalangi berbagai praktik penyunatan dan penyelewengan dana. Itulah yang terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia. Paling tidak, praktik itu tercermin dari hasil audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2003.
Temuan BPK
Bila dihitung dari besarnya kebocoran, sektor pendidikan masuk dalam lima besar. Modusnya beraneka ragam, mulai dari penyajian laporan keuangan yang tidak wajar, penyaluran yang tidak sesuai atau menyalahi prosedur, sampai penggunaan dana yang tidak efisien.
Berdasarkan temuan BPK, penyelewengan itu antara lain terlihat pada program kompensasi pengurangan subsidi BBM (KPS-BBM) bidang pendidikan dasar dan menengah (dikdasmen) dalam proyek Jaring Pengaman Sosial (JPS) beasiswa dan Dana Bantuan Operasional (DBO).
Dari dana KPS-BBM tahun anggaran (TA) 2002 sebesar Rp652,165 miliar, diketahui baru terealisasi sebesar Rp651,856 miliar (per 31 Desember 2002). Dalam hal ini BPK menemukan penyimpangan Rp1,803 miliar (3,87%) dari total cakupan pemeriksaan Rp25,231 miliar. Adapun untuk TA 2003 sebesar Rp961,83 miliar dengan realisasi Rp143,974 miliar (per 31 Mei 2003). Ditemukan penyimpangan Rp1,757 miliar (13,44%) dari total cakupan sebesar Rp13,069 miliar.
Penyimpangan juga terjadi pada realisasi proyek Jaring Pengaman Sosial beasiswa dan DBO di Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Tangerang, Bogor, dan Bekasi. Untuk TA 2002 ditemukan 11 penyimpangan senilai Rp1,803 miliar. Dari angka tersebut sebanyak Rp800,58 juta dinyatakan sangat mengganggu kewajaran penyajian laporan keuangan (44,39%) dari anggaran yang diperiksa. Dana kategori terakhir seharusnya dialokasikan untuk Bantuan Khusus Murid (BKM) di wilayah Bekasi, yaitu 470 SD, 69 SLTP, 56 SLTA.
Selain itu juga terdapat penyimpangan terhadap aturan senilai Rp129,13 juta (7,16%), mengganggu asas kehematan Rp247,08 juta (13,70%), mengganggu asas efisiensi Rp497,85 juta (27,60%) dan penyimpangan lain yang menyebabkan pencapaian program meleset Rp128,79 juta (7,14%).
Adapun untuk TA 2003 terdapat delapan temuan penyelewengan senilai Rp1,757 miliar (1,22%) dari cakupan pemeriksaan. Di antaranya adalah penyimpangan kewajaran penyajian laporan keuangan Rp730,83 juta (0,50%), menyimpang dari peraturan/kriteria Rp571,65 juta (0,39%), menyimpang asas kehematan Rp279,45 juta (0,19%), tidak efisien sekitar Rp96,40 juta (0,06%) dan menyebabkan program meleset Rp79,05 juta (0,05%).
Laporan Tidak Jelas
Khusus untuk penyimpangan kewajaran penyajian laporan keuangan sebesar Rp730,83 juta, menurut BPK, menyebabkan pihaknya sulit mengidentifikasikan apakah program sudah berjalan atau belum. Padahal, kejelasan aturan penyajian laporan sudah demikian jelas. Petunjuk pelaksanaan (juklak) PPDSE bidang pendidikan Ditjen Dikdasmen 2001 menyebutkan bahwa komite sekolah wajib menerbitkan SK penerima BKM dan mengirimkan paling lambat tiga hari.
Ketidakjelasan laporan keuangan, menurut BPK, juga dilakukan sekolah-sekolah penerima BKM di wilayah Jakarta Pusat, Tangerang, Bogor, dan Bekasi. Selain tidak menerbitkan SK Komite Sekolah, mereka juga tidak membuat SK penetapan siswa penerima BKM dan SK pengganti siswa penerima BKM.
Dalam hasil audit, Dikdasmen juga dinilai tidak efisien alias menghambur-hamburkan kas negara dalam penyelenggaraan Workshop Sosialisasi Subsidi Energi (BBM) bidang pendidikan TA 2002 dan 2003, masing-masing senilai Rp247,08 juta dan Rp279,45 juta. Rute dan penyelenggaraan lokasi workshop dinilai terlalu berputar sehingga menghabiskan biaya perjalanan dinas senilai Rp526,54 juta. Penghamburan kas negara juga terjadi pada pemasangan iklan subsidi bidang pendidikan senilai Rp594,26 juta.
Pelaksanaan PKPS-BBM dan P2BKH di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi juga dinilai menyimpang. BPK menyebut ada 13 temuan penyimpangan senilai Rp832,23 juta (15,54%) dari cakupan pemeriksaan.
Lagi-lagi penyampaian laporan masih menjadi momok dalam realisasi program-program di Dikdasmen. Laporan proyek P2BKH senilai Rp229,994 miliar untuk 7.623 sekolah di 170 kabupaten di Indonesia ternyata tidak beres. Tercatat sedikitnya 3.473 TK/SD, 1.000 SLTP, 1.000 SMU, 800 SMK, 150 SLB, dan 1.200 sekolah pendidikan olahraga tidak melaporkan secara berjenjang sampai ke pusat.
Masih soal penyelewengan pada program BKM, ternyata modus yang dilakukan bukan hanya menyangkut ketidakjelasan laporan, tetapi juga langsung mengena pada siswa. Bantuan yang harusnya mereka terima bisa telat berbulan-bulan, andai cair pun jumlahnya tidak sesuai dengan yang ditetapkan.
Bahkan, terkadang dana yang turun sudah dipotong terlebih dahulu oleh pihak sekolah untuk menutup kebutuhan siswa tersebut. Sedangkan sisa dana yang harusnya diterima, sering kali tidak diberikan, entah mengendap di mana. Ada yang terindikasi di sekolah, tapi ada juga yang dibiarkan mangkrak di PT Pos Indonesia.
Selain itu, penyelewengan juga dilakukan dengan memberikan bantuan pada siswa yang tidak masuk daftar BKM alias siswa dari keluarga mampu. Untuk semua penyelewengan itu, BPK mencatat kebocoran sebesar Rp118,37 juta.
Wajar terjadi
Dimintai komentar tentang banyaknya penyelewengan anggaran pendidikan, Indra mengatakan, kekurangan yang terjadi selama ini adalah wajar. ''Maklum, kita masih dalam tahap belajar dan memperbaiki diri. Bagaimana pun, sistem block grant yang diterapkan sekarang jauh lebih baik ketimbang sistem proyek terpusat seperti yang diberlakukan sebelumnya. Jadi, biarkan semua berjalan dan belajar terlebih dahulu,'' katanya.
Lagi pula, tambah Indra, kalaupun ada penyimpangan, angkanya toh tidak terlalu besar hanya mencapai kisaran 5%. Dan itu pun sudah pasti ditindak atau diberi hukuman. Hasil studi Universitas Negeri Semarang juga menyebutkan bahwa sistem block grant jauh lebih efektif dibanding sistem terpusat. Efektivitasnya bahkan bisa mencapai 80%.
Indra menjamin, pelaksanaan konsep ini ke depannya akan jauh lebih baik. Apalagi sudah ada ketentuan joint account untuk pencairan dananya, yaitu rekening yang dimiliki bersama antara pihak sekolah dan komite sekolah.
Lebih baiknya konsep block grant juga dikemukakan anggota komisi VI DPR Ferdiansyah. Sistem baru ini, menurut dia, bisa memotong jalur KKN, yaitu birokrasi dan penghapusan tender.
Hanya saja, katanya, Depdiknas masih memiliki kelemahan, yaitu sistem data. Tidak adanya data yang lengkap sering kali menyebabkan alokasi dan realisasi dana meleset dan tumpang tindih. ''Selain itu, Depdiknas sampai sekarang masih kurang transparan dan komunikatif. Mereka tidak pernah mengomunikasikan segala sesuatunya kepada kami, kecuali kalau ditanya saat ada problem,'' tandasnya. (Rdn/M-2)
Sumber: Media Indonesia, 27 Juni 2004