Kecakapan Mendeteksi Korupsi, Penguasaan Hukum Pidana dan Keberanian

Kita belum bisa menilai kinerja KPK karena lembaga ini dibentuk baru saja dan pembentukannya mundur dari rencana semula. Praktis, KPK sekarang baru menyiapkan struktur, perkantoran serta administrasi pendukung dan program kerja.

Kehadiran KPK nampaknya `kurang disukai' oleh lembagalembaga yang sudah ada sebelumnya yang diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan perkara korupsi. Wewenang tersebut sebagian akan diambil alih oleh KPK ini. Lembaga-lembaga tersebut memiliki lobi yang kuat untuk mempengaruhi kebijakan Pemerintah (Presiden) yang mengakibatkan tertundanya proses pembentukan KPK atau memang sengaja sebagai keputusan politik untuk menunda pembentukan KPK.

Tertundanya pembentukan KPK tersebut disinyalir dikehendaki banyak orang karena kalau lembaga `super body' ini besar-benar difungsikan dan diisi oleh orang-orang yang memikki keberanian dan kekuatan moral (bersih) maka bisa menjadi `mesin perontok' para petinggi Republik ini dan orang-orang yang secara pofitik dan ekonomi (pengusaha) berpengaruh dalam proses pengambilan putusan.

Pada mulanya banyak yang berharap kehadiran KPK bisa dijadikan senjata pamungkas untuk memberantas korupsi. Tetapi hingga sekarang masyarakat belum sama sekah merasakan manfaat lembaga ini karena praktis hingga sekarang belum bekerja. Adalah wajar jika muncul sikap pesimistis terhadap kinerja KPK dengan dalih apakah beram KPK melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap tersangka korupsi yang termasuk orang-orang kuat di Republik ini? Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa sebagian anggota KPK yang nota bene mantan pejabat atau mantan bawahan, sedangkan yang akan menjadi tersangka (disangka) kemungkinan adalah teman sejawatnya atau bekas atasannya.

'Air mengalir selalu ke bawah, tidak ada air yang mengalir dan bawah ke atas'' KPK diperkirakan akan berani atau `untuk gigi' terhadap tersangka korupsi golongan bawah saja atau posisi `powernya lemah dan kurang memiliki keberanian untuk melakukan penyelidikan terhadap perbuatan korupsi yang dilakukan pejabat golongan atas yang memiliki power' yang kuat. Kecuali KPK memiliki kekuatan (power) melebihi apa yang mereka punya atau adanya keajaiban pada lembaga ini. Masyarakat akan menunggu keajaiban tersebut.

KPK mempakan lembaga yang dipersipakan untuk masa yang akan datang. KPK sebaiknya untuk tahap-tahap pertama ini menyiapkan perangkat administrasi dan sarana penunjang lainnya yang solid, termasuk diantaranya menyiapkan sumber daya manusia dan pembekalan ilmu pengetahuan hukum pidananya.

Masalah sumber daya manusia ini sebaiknya menjadi prioritas karena senjata KPK untuk inemberantas korupsi adalah ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan hukum pidana, sehingga semua yang terlibat memiliki metode tafsir yang sama terhadap hukum pidana korupsi.

Selanjutnya, sebaiknya pada tahap awal ini KPK memprioritaskan rancang-bangun strategi pencegahan secara preventif kejahatan korupsi yang efektif dan efisien daripada melakukan penindakan hukum. Kegiatan penindakan baru menjadi prioritas apabila rancang-bangun administrasi (data) dan strategi pencegahan serta sumber daya manusia sudah memiliki standar minimum yang diperlukan. Berdasarkan pengamatan praktek penegakan hukum kasus korupsi, problem yang muncul bukan pada proses pembuktian adanya perbuatan korupsi, melainkan masalah penafsiran hukum terhadap perbuatan korupsi, yakni antara jaksa penuntut umum, hakim dan penasehat hukum terdakwa.

Masih persoalan penafsiran terhadap fakta-fakta dihubungkan dengan hukum pidana, KPK akan dihadapkan pada masalah hukum yakni perbuatan pidana mana yang termasuk kejahatan korupsi dan perbuatan pidana mana yang termasuk pelanggaran hukum pidana biasa (umum). Apabila kliru penggunaan hukum pidananya akan berkkhir bebasnya tersangka. Jangan terkecoh, suatu kasus pidana secara kasat mata masuk perbuatan korupsi, tetapi sesungguhnya bukan kejahatan korupsi. Sekah lagi, masalah ini bukan persoalan pembuktian, melainkan persoalan penafsiran hukum pidana terhadap fakta-fakta sosial (perbuatan) yang menjadi sasaran penegakan hukum pidana. Pada hal, wewenang KPK hanya persoalan korupsi, bukan pelanggaran hukum pidana umum, sedangkan pasal-pasal korupsi sebagaian besar termasuk hukum pidana umum (KUHP), hanya beberapa pasal yang merupakan kejahatan (delik) baru. Pemaksaan penggunaan pasal-pasal korupsi terhadap perbuatan yang bukan korupsi, akan berkahir dengan pembebasan. Jika terjadi demikian, kinerja KPK akan sama saja dengan lembaga-lembaga hukum yang ada dan keadaan ini akan merusak citra hukum dan penegakan hukum. Kemudian pada gilirannya masyarakat akan mencari jalan menurut caranya sendiri untuk memperoleh keadilan.

Pada akhimya, saya harus menggaris bawahi, bahwa senjata yang paling penting untuk KPK adalah kemampuan (skill) untuk mendeteksi perkara korupsi dengan berbagai modus operandinya dan penguasaan ilmu pengetahuan hukum pidana. Bekal dua senjata tersebut masih dilengkapi dengan satu lagi yang paling menentukan adalah `keberanian: Semoga!(Dr. Muzzakir.S.H., Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta)

Tulisan ini dimabil dari bulletin Antikorupsi edisi No. 4 - Mei 2004 yang diterbitkan oleh LP3 UMY dan Koalisi Umat Beragama untuk Antikorupsi Yogyakarta

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan