Kebijakan Antikorupsi Setengah Hati

Posisi Indonesia sebagai negara yang sangat korup di tahun 2007 sebagaimana hasil studi Transpareuncy International (TI) terhadap Indeks Persepsi Korupsi (IPK) menyadarkan kita bahwa ada yang tidak beres dari program pemberantasan korupsi yang telah dilancarkan.Dibandingkan dengan tahun sebelumnya,IPK 2007 justru mengalami penurunan,yakni dari 2,4 hanya menjadi 2,3.

Demikian halnya kecenderungan temuan penyimpangan dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) setiap semester tidak mengalami penurunan signifikan.Jika temuan penyimpangan semester I/2005 dari pemeriksaan umum yang dilakukan BPK mencapai Rp4,3 triliun,pada semester II naik menjadi Rp7,8 triliun.

Pada semester I/2006 nilai temuan penyimpangan menyentuh angka Rp7,9 triliun. Berlanjut ke semester II/2006,angka penyimpangan mengalami peningkatan pesat hingga menyentuh level Rp14,6 triliun.Baru pada semester I/2007,nilai temuan turun menjadi Rp8,8 triliun. Fluktuasi angka penyimpangan dan indikasi kerugian negara sejak 2005 hingga semester I/2007 menegaskan bahwa perilaku pengguna anggaran negara juga tidak banyak mengalami perubahan. Menyelewengkan anggaran negara nyatanya masih menjadi tindakan yang lumrah.Lantas,di mana program pemberantasan korupsi sebenarnya memberikan dampak? Mudah sebenarnya menjawab pertanyaan itu.Faktor utamanya adalah amburadulnya kebijakan antikorupsi yang dipraktikkan dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari.
Perlu diingat, kebijakan antikorupsi dimaksud tidak sekadar dinilai dari banyak sedikitnya produk peraturan perundang-undangan antikorupsi yang telah dibuat. Juga termasuk di dalamnya penerapan good governancedalam praktik penyelenggaraan pemerintahan,pernyataan resmi para pejabat publik yang memiliki pengaruh besar dalam mendorong atau meredam program pemberantasan korupsi serta tindakan-tindakan lainnya yang berdampak pada meningkatnya kemauan dalam memberantas korupsi atau sebaliknya,melemahkan agenda pemberantasan korupsi itu sendiri.

Paling kurang,kebijakan antikorupsi dapat dinilai dari empat parameter utama.Pertama,bagaimana rancangan regulasi,termasuk di dalamnya substansi kebijakan antikorupsi dan proses legislasinya dapat mendorong secara lebih efektif keberhasilan dalam memberantas korupsi.Kedua,bagaimana praktik good governancepara penyelenggara negara,khususnya dalam kerangka kepatuhan dalam melaksanakan tata aturan antikorupsi yang telah disusun.Ketiga,dukungan politik dari elite politik,baik kalangan eksekutif,legislatif,maupun yudikatif apakah cukup kuat atau lemah.Keempat, supremasi hukum,yakni apakah penyelesaian terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat publik dan terindikasi pidana diselesaikan melalui mekanisme hukum. Pada tulisan ini,yang disinggung adalah indikator pertama.Dalam kerangka hukum yang dapat membangun perlawanan terhadap korupsi secara lebih kuat,paling tidak terdapat beberapa undang-undang (UU) yang telah dimiliki Indonesia,yakni UU 28/1999,UU 31/1999 jo UU 20/2001,UU 30/2002,UU 15/2002 dan 25/2003 dan UU 13/2006.Di luar UU di atas,masih ada aturan yang memiliki peran mendukung praktik bagi institusi politik dan pemberi pelayanan publik untuk transparan dan akuntabel. Selain mendorong partisipasi masyarakat untuk lebih aktif dalam melakukan pengawasan atas jalannya penyelenggaraan negara,yakni RUU Kebebasan Informasi Publik (KIP).

Dalam catatan ICW selama kurun waktu 2007,terdapat dua aktivitas utama legislasi bidang antikorupsi atau sekurang- kurangnya yang dalam beberapa bagiannya terkait dengan isu tersebut- yakni proses amendemen terhadap beberapa UU yang ada,baik yang lahir karena konsekuensi ratifikasi UNCAC (UU Tipikor) maupun dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi (UU KPK, UU Pengadilan Tipikor) dan proses legislasi itu sendiri (RUU Partai Politik, RUU Pemilu,RUU KIP). Dari berbagai proses legislasi tersebut, terdapat sebuah kesimpulan bahwa semangat antikorupsi kalangan legislatif maupun eksekutif yang seharusnya dicerminkan dari kualitas perundang-undangan antikorupsi,tampaknya jauh panggang dari api.

Selain beberapa ide baru yang hendak dimasukkan sebagai pasal dalam RUU kualitasnya sangat buruk,munculnya kriminalisasi terhadap partisipasi masyarakat, ada keengganan yang luar biasa dari legislatif maupun eksekutif apabila aturan yang hendak dimunculkan tersebut memaksa mereka untuk lebih transparan dan akuntabel. Draf RUU Tipikor versi pemerintah jauh lebih melempem dibandingkan UU yang telah ada.Paling kurang terdapat dua hal yang sangat kontroversial, yakni isu yang berkaitan dengan sanksi pidana dan yang lain menyangkut ancaman bagi pelapor yang memberikan laporan palsu. Untuk yang pertama,usulan menyebutkan bahwa pidana korupsi tidak dibatasi hukuman minimalnya,dan hanya tujuh tahun penjara untuk batas maksimalnya. Substansi usulan ini tentu saja sangat menyesatkan.Seakan-akan perbuatan korupsi lebih ringan kandungan kejahatannya dibandingkan dengan mencuri ayam atau berjudi. Demikian halnya dalam RUU Partai Politik dan RUU Pemilu.

Salah satu isu krusialnya adalah bagaimana mendorong transparansi dan akuntabilitas terhadap pendanaan politik,baik bagi partai politik maupun kandidat.Namun, nyatanya RUU yang sudah disetujui DPR itu jauh lebih buruk pengaturannya dibanding UU yang lama.Dapat dibayangkan jika pada Pemilu 2009 akan semakin banyak peluang bagi partai politik dan kandidat untuk mendapatkan sumber-sumber dana ilegal tanpa ada kewajiban pertanggungjawaban penggunaannya sama sekali.

Hasil pengamatan umum proses legislasi bidang antikorupsi 2007 juga menunjukkan bahwa perumusan sebuah RUU akan menyita waktu yang sangat lama,berbelit-belit,tidak konsisten, dan penuh resistensi jika RUU tersebut terkait langsung dengan isu kepentingan publik.RUU KIP adalah contoh bagus untuk menjelaskan bahwa saat sebuah produk legislasi tidak ada kepentingannya sama sekali dengan pejabat berkuasa,bahkan dapat mengancam eksistensi mereka,kewajiban legislasi itu dapat diabaikan sedemikian rupa. Sudah hampir delapan tahun sejak pertama kali diusulkan,RUU KIP nasibnya terkatung-katung.

Bukan hanya karena proses penyusunannya yang sangat lamban, juga karena beberapa materi pasalnya dapat dianggap menyesatkan. Padahal,dengan lahirnya UU KIP,sebagian dari problem korupsi dapat diselesaikan. Karena itu,jika dalam proses legislasi saja kemauan untuk memberantas korupsi tidak tercermin,bukankah kita tidak perlu mengutuk jika Indonesia selalu berada pada peringkat negara paling korup sedunia? (*) ADNAN TOPAN HUSODO Anggota Badan Pekerja ICW

Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, Sabtu, 26/01/2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan