Keberanian Probo Suburkan Mafia Peradilan

Orang mungkin mengira, setelah Probosutedjo berani membongkar praktik mafia peradilan yang menjadikan dirinya sebagai sapi perah, mulai pengadilan negeri sampai Mahkamah Agung (MA), di masa depan praktik mafia peradilan akan berkurang secara signifikan. Paling tidak, tidak akan separah sebagaimana yang selama ini berlangsung.

Namun, perkiraan itu utopia semata, ketika kenyataan menunjukkan Probosutedjo malah segera dirundung nestapa karena keberaniannya itu. Bukan berarti Probosutedjo tidak layak dihukum. Apabila memang terbukti telah mengorupsi dana reboisasi, Probosutedjo harus dan sah-sah saja dijatuhi hukuman.

Namun, begitu cepatnya jatuhnya putusan kasasi MA, yang dibuat majelis hakim agung yang baru sebulan dibentuk, sungguh merupakan suatu hal yang patut dikritisi.

Sudah menjadi penyakit kronis MA bahwa sebuah keputusan kasasi, baik perkara perdata maupun pidana, baru akan dijatuhkan setelah berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, setelah perkara itu masuk MA.

Salah satu alasan pengangkatan hakim agung nonkarir, antara lain, untuk segera membereskan tumpukan perkara kasasi yang menggunung di MA. Bahkan, dulu ada wacana, agar ada kriteria yang lebih ketat untuk perkara-perkara yang boleh diajukan kasasi. Karena itu, pasal-pasal dalam hukum acara yang mengatur upaya hukum kasasi harus dirombak untuk lebih diperketat.

Namun, wacana itu terbang bersama asap (fly with the flow). Alhasil, perkara-perkara yang diajukan ke tingkat kasasi terus menggunung. Dari seluruh pelosok Indonesia, perkara kasasi berjubel menyerbu MA. Waktu untuk menunggu jatuhnya putusan kasasi pun tetap berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
***

Tapi, perkara Probosutedjo? Ketika belum terkuak praktik penyuapan di MA, yang menyebabkan Ketua MA Bagir Manan dan dua hakim agung lain diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), entah sudah berapa bulan perkara tersebut ada di MA.

Setelah KPK menggeledah kantor ketua MA, yang kemudian mendorong dibentuknya majelis hakim baru untuk menyidangkan kasus Probosutedjo, tak lebih dari sebulan perkara itu pun diputus. Probosutedjo harus masuk penjara empat tahun dan mengganti kerugian negara Rp 100 miliar lebih, plus denda Rp 30 juta.

Moga-moga percepatan jatuhnya keputusan kasasi itu merupakan indikasi adanya perubahan sinergi kerja yang bagus di MA. Namun, kalau percepatan itu hanya dispesialkan untuk perkara Probosutedjo, sementara pemeriksaan perkara kasasi lain tetap membutuhkan waktu tahunan, tindakan itu sarat kesan sebagai pukulan balik atas keberanian Probo membongkar praktik suap di MA.

Kalau hal terakhir itu benar, tindakan tersebut malah akan menyuburkan iklim korup di dunia peradilan kita. Para terdakwa atau terpidana yang sudah telanjur menyuap para hakim atau jaksa yang menyidangkan perkaranya -baik dilakukan sendiri ataupun melalui oknum pengacaranya- tidak akan berani lagi menyuarakan ke publik soal penyuapan itu.

Sekalipun, dia tetap dijatuhi tuntutan dan vonis hukuman yang berat atau tak sesuai dengan yang dijanjikan para oknum penerima suap itu.

Para whistleblower (peniup peluit) itu akan jeri mengalami nasib seperti Probosutedjo. Alih-alih dilindungi KPK atau lembaga hukum lain, seperti Komisi Yudisial, malah hukuman yang lebih berat akan segera diterimanya.

Para oknum hakim dan jaksa yang pernah menerima suap dari para terdakwa, yang selama ini sempat merasa gerah dan jeri, kini bisa tenang-tenang kembali. Dijamin, para terdakwa pemberi suap itu akan duduk manis. Mereka menyerahkan nasibnya ke kebaikan hati dan nurani (?) para oknum itu, meski uangnya sudah diperas habis.
***

Dan, KPK? Lembaga ini sudah mendapatkan tangkapan kakap dari info Probosutedjo, yakni praktik suap di MA. Bahkan, berkat info itu, KPK telah membuat sejarah baru di negeri ini, yakni menggeledah ruang kerja ketua MA sekaligus memeriksa sang ketua. Belum pernah satu pun lembaga pemberantas korupsi di negeri ini, mulai Komisi Empat di zaman Orde Lama, yang memiliki prestasi seprestisius ini.

Komisi Yudisial pun mencetak sejarah besar berkat keberanian Probosutedjo berjibaku ini. Namun, dua lembaga tersebut tak berkutik untuk melindungi Probosutedjo.

KPK dan Komisi Yudisial memang tak memiliki kewenangan hukum untuk bisa mengintervensi hukuman yang sudah dijatuhkan MA atas diri Probosutedjo tersebut. Keputusan itu mutlak kewenangan majelis hakim yang dijamin independensinya. Apa pun motif di belakangnya.

Komisi Yudisial hanya bisa memeriksa ada tidaknya penyalahgunaan kekuasaan atau pelanggaran etika profesi di dalam penjatuhan putusan kasasi itu. Apabila ada, sanksi yang bisa dijatuhkan adalah mengusulkan ke pimpinan MA dan atau Mahkamah Konstitusi agar hakim-hakim tersebut dijatuhi sanksi administratif. Sementara itu, keputusan terhadap Probosutedjo sudah final. Kecuali, upaya hukum peninjauan kembali dikabulkan MA.

Sementara itu, KPK tak bisa berbuat apa-apa dengan nasib yang dialami Probosutedjo saat ini. Lembaga tersebut hanya berkewajiban untuk membongkar tuntas praktik suap yang telah memeras dana Probosutedjo. Kemudian, membawa para oknum penerima suap itu ke penjara. Seraya berharap mafia peradilan akan surut, bahkan tuntas di masa depan.
***

Pertanyaannya, adakah para terdakwa yang masih berani menjadi peniup peluit atas praktik suap yang dideritanya? Tampaknya, hikmah dari nasib yang kini diterima Probosutedjo sebagai sang peniup peluit itu adalah KPK harus mengendus sendiri praktik-praktek mafia peradilan bila ingin membongkarnya. Sanggupkah?

* Prija Djatmika, dosen Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 5 Desember 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan