Kebal Korupsi
Saya merinding membayangkan jutaan orang ditangkap karena melakukan korupsi. Undang-Undang Antikorupsi merumuskan 30 jenis korupsi. Bila UU Nomor 31 Tahun 1999 konsisten ditegakkan, semua pegawai negeri sipil akan antre di depan penjara. Negara serta-merta berantakan bila lembaga penegak hukum menerapkan ke-30 jenis korupsi itu.
Simak saja pendapat penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi, Abdullah Hehamahua, Berdasarkan 30 jenis perbuatan korupsi yang ditetapkan dalam UU Nomor 31 Tahun 1999, harus ditangkap 3,7 juta PNS, semua anggota DPR, DPRD, presiden, wakil presiden, para menteri, gubernur, bupati, wali kota, direktur BUMN/BUMD, para rektor, dosen, guru, pemimpin pesantren, dan mahasiswa.
Karena itu, menyuap pegawai negeri sipil dan pegawai negeri menerima suap adalah korupsi. Menyuap hakim dan hakim menerima suap adalah korupsi. Penyelenggara negara atau pegawai negeri sipil yang memeras adalah pelaku korupsi. Pengawas proyek yang membiarkan perbuatan curang berarti melakukan korupsi. Dan masih ada perilaku lain yang masuk kategori korupsi.
Walhasil, perang melawan korupsi mestinya bukan cuma menangkapi koruptor. Sejarah mencatat, sejumlah upaya dibentuk guna menjebloskan koruptor ke penjara. Orde Baru kerap melahirkan lembaga pemberangus korupsi. Mulai Tim Pemberantasan Korupsi pada 1967, Komisi Empat pada 1970, Komisi Anti-Korupsi pada 1970, dan Opstib di 1977. Nyatanya, penangkapan koruptor tidak membuat jera yang lain. Koruptor junior terus bermunculan. Mati satu tumbuh seribu, kata pepatah.
Itulah kekeliruan upaya pemberantasan korupsi. Fokus yang sangat tertuju pada upaya menindak koruptor, sedangkan sedikit sekali perhatian pada usaha pencegahan korupsi. Beruntung, KPK, yang selain diserahi tugas penindakan, diberi tugas mencegah korupsi. Salah satunya pendidikan antikorupsi pada masyarakat, terutama pendidikan antikorupsi bagi siswa sekolah. Menyadari hal ini, tersembul gagasan memasukkan materi antikorupsi dalam kurikulum pendidikan tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas sebagai bentuk nyata pendidikan antikorupsi. Tujuan pendidikan antikorupsi adalah menanamkan pemahaman dan perilaku antikorupsi.
Mata ajaran
Pertanyaan muncul, haruskah pendidikan antikorupsi menjadi satu mata pelajaran tersendiri? Tidak, karena malah akan menyusahkan anak didik. Saat ini peserta didik sudah demikian sesak dengan melimpahnya mata pelajaran yang harus dipelajari dan diujikan. Dikhawatirkan, anak didik akan terjebak dalam kewajiban mempelajari materi kurikulum antikorupsi. Bisa jadi yang akan muncul adalah kebencian dan antipati pada mata pelajaran antikorupsi, bukannya pemahaman serta kesadaran antikorupsi.
Jauh hari pakar pendidikan Arief Rachman menyatakan tidak tepat bila pendidikan antikorupsi menjadi satu mata pelajaran khusus. Alasannya, siswa sekolah mulai tingkat SD, sekolah menengah pertama, hingga SMA, sudah terbebani sekian banyak mata pelajaran. Dari segi pemerintah, menurut Arief Rachman, akan berbuntut pada kesulitan-kesulitan, seperti pengadaan buku-buku antikorupsi dan repotnya mencari guru antikorupsi.
Menyikapi kesulitan tersebut, pendidikan antikorupsi lebih tepat dijadikan pokok bahasan dalam mata pelajaran tertentu. Materi pendidikan antikorupsi nantinya diselipkan dalam mata pelajaran pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan, matematika, bimbingan karier, bahasa, dan sebagainya. Pokok bahasan mencakup kejujuran, kedisiplinan, kesederhanaan, dan daya juang. Selain itu, nilai-nilai yang mengajarkan kebersamaan, menjunjung tinggi norma yang ada, dan kesadaran hukum yang tinggi.
Pendidikan nilai
Pendidikan antikorupsi bagi siswa SD, SMP, dan SMA akhirnya memang mengarah pada pendidikan nilai. Pendidikan antikorupsi itu yang menopang nilai-nilai kebaikan dan yang mendukung orientasi nilai. Pendidikan yang mendukung orientasi nilai, mengutip pakar etika Franz Magnis Suseno, adalah pendidikan yang membuat orang merasa malu apabila tergoda melakukan korupsi dan marah bila ia menyaksikannya.
Menurut Magnis, ada tiga sikap moral fundamental yang akan membikin orang menjadi kebal terhadap godaan korupsi: kejujuran, rasa keadilan, dan rasa tanggung jawab. Jujur berarti berani menyatakan keyakinan pribadi, menunjukkan siapa dirinya. Kejujuran adalah modal dasar dalam kehidupan bersama. Ketidakjujuran jelas akan menghancurkan komunitas bersama. Siswa perlu belajar bahwa berlaku tidak jujur adalah sesuatu yang amat buruk.
Adil berarti memenuhi hak orang lain dan mematuhi segala kewajiban yang mengikat diri sendiri. Magnis mengatakan bersikap baik tapi melanggar keadilan tidak pernah baik. Keadilan adalah tiket menuju kebaikan. Adapun tanggung jawab berarti teguh hingga terlaksananya tugas. Tekun melaksanakan kewajiban sampai tuntas. Misalnya, siswa diberi tanggung jawab mengelola dana kegiatan olahraga di sekolahnya. Rasa tanggung jawab siswa terlihat ketika dana dipakai seoptimal mungkin menyukseskan kegiatan olahraga. Menurut Magnis, pengembangan rasa tanggung jawab adalah bagian terpenting dalam pendidikan anak menuju kedewasaan, menjadi orang yang bermutu sebagai manusia.
Warung kejujuran
Materi antikorupsi memang bisa kita selipkan sebagai pokok bahasan dalam mata pelajaran tertentu. Tapi pertanyaan lain muncul, apakah pendidikan antikorupsi sekadar pemberian wawasan di ranah kognitif?
Pendidikan antikorupsi jelas bukan cuma berkutat pada pemberian wawasan dan pemahaman serta tidak sekadar menghafal. Pendidikan antikorupsi tidak berhenti pada penanaman nilai-nilai. Lebih dari itu, pendidikan antikorupsi menyentuh pula ranah afektif dan psikomotorik, yakni membentuk sikap dan perilaku antikorupsi pada siswa, menuju penghayatan dan pengamalan nilai-nilai antikorupsi.
Mencermati hal tersebut, KPK gencar mempromosikan dibentuknya warung kejujuran di setiap sekolah. Warung kejujuran adalah warung yang menjual makanan kecil dan minuman. Warung kejujuran tidak memiliki penjual dan tidak dijaga. Makanan atau minuman dipajang dalam warung. Dalam warung tersedia kotak uang, yang berguna menampung pembayaran dari siswa yang membeli makanan atau minuman. Bila ada kembalian, siswa mengambil dan menghitung sendiri uang kembalian dari dalam kotak tersebut.
Melalui warung kejujuran, siswa belajar berperilaku jujur. Siswa belajar bersikap taat dan patuh ketika tidak ada orang yang mengawasi. Belajar jujur kepada diri sendiri. Intinya, inilah sebuah pendidikan antikorupsi yang langsung menyentuh wilayah kesadaran dan sikap siswa.
Faisal Djabbar, FUNGSIONAL DEPUTI PENCEGAHAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 9 Agustus 2007