Keajaiban Pengadilan Korupsi

Jaksa penuntut umum Hasan Nurodin Achmad gigit jari. Tuntutan lima tahun penjara dan denda Rp 500 juta yang diajukannya buat Ketua DPRD Cianjur Deden Zaini Dahlan kandas. Pengadilan Negeri Cianjur, Jawa Barat, pada 24 Juni 2004 memvonis bebas Deden dari dakwaan penyelewengan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah sebesar Rp 3,1 miliar.

Selain Deden, yang dimejahijaukan waktu itu adalah Sekretaris DPRD Nani Anggraeni, SH, dan Kepala Subkeuangan DPRD Tinoy Kustini Subli, SH. Keduanya masing-masing dituntut tiga tahun penjara dan denda Rp 300 juta. Jaksa mendakwa mereka menyalahi Peraturan Pemerintah Nomor 110/2000 tentang Anggaran Dewan. Ceritanya, dana APBD itu dipakai ibadah haji sejumlah anggota Dewan dan staf bagian sekretariat DPRD.

Ajaibnya, di mata majelis hakim yang dipimpin Irwan, SH, tindakan para terdakwa tidak menyalahi aturan, tapi hanya kesalahan administrasi. Hakim berpendapat dakwaan primer jaksa itu tidak berdasar hukum. Alasannya, PP 110/2000 sudah dibatalkan Mahkamah Agung setelah dilakukan uji materiil dan dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Jadi PP Nomor 110 Tahun 2000 tidak lagi punya kekuatan hukum, kata Irwan.

Kepala Kejaksaan Negeri Cianjur Memed Sumenda, SH, kecewa dengan putusan hakim, yang menurut dia, pukulan bagi kejaksaan dalam mengungkap kasus-kasus korupsi anggota DPRD. Memed menilai pertimbangan hakim sangat aneh, karena waktu penyelewengan terjadi, PP 110 masih berlaku.

Deden dan kawan-kawan hanyalah sebagian dari daftar panjang tersangka kasus korupsi yang dibebaskan pengadilan. Sampai tahun lalu, menurut data Indonesia Corruption Watch, tak kurang dari 56 tersangka korupsi bebas, termasuk Joko S. Tjandra, Syahril Sabirin, dan Rudy Ramly dalam kasus Bank Bali.

Desember lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Sebetulnya, kata Presiden, Indonesia tidak kekurangan aturan perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi. Hanya, korupsi telah merambah hampir semua sektor. Praktek-praktek korupsi telah merendahkan harkat dan martabat bangsa. Kita dijuluki bangsa korupsi, katanya.

Presiden berpendapat, selain merugikan keuangan negara, praktek korupsi merupakan pelanggaran atas hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi secara luas. Karena itu, korupsi patut dicap sebagai kejahatan yang pemberantasannya memerlukan cara-cara luar biasa. Seperti apakah?

Asumsi tentang keluarbiasaan korupsi itu sudah ada dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di bagian konsideran UU itu disebutkan tindak pidana korupsi yang selama ini meluas tak hanya merugikan keuangan negara, tapi juga merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.

Jika begitu, secara yuridis korupsi yang telah meresahkan masyarakat sejatinya bisa diidentikkan dengan kejahatan terhadap hak asasi manusia atau kejahatan kemanusiaan. Tapi sayang, keajaiban yang kerap terjadi di pengadilan korupsi adalah akrobat aparat penegak hukum demi memenuhi selera yang mencederai rasa keadilan masyarakat. yanto

Sumber: Koran Tempo, 23 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan